Hak dan Kewajiban Warga Negara

Hak dan Kewajiban Warga Negara


Warga negara memiliki peran yang vital bagi keberlangsungan sebuah negara. Oleh karena itu, hubungan antara warga negara dan negara sebagai institusi yang menaunginya memiliki aturan atau hubungan yang diatur dengan peraturan yang berlaku di negara tersebut. Agar dapat memiliki status yang jelas sebagai warga negara, pemahaman akan pengertian, sistem kewarganegaraan serta hal-hal lain yang menyangkut warga negara hendaknya menjadi penting untuk diketahui. Dengan memiliki status sebagai warga negara, orang memiliki hubungan dengan negara. Hubungan ini nantinya tercermin dalam peran, hak dan kewajiban secara timbal balik antara warga negara dengan negaranya.
Dalam beberapa literatur, dikenal istilah warga negara, rakyat dan penduduk. Istilah warga negara secara umum mengandung arti peserta, anggota, atau warga dari suatu negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama (Tim ICCE UIN Jakarta). Istilah rakyat lebih merupakan konsep politis. Rakyat menunjuk pada orang-orang yang berada di bawah satu pemerintahan dan tunduk pada pemerintahan itu. Istilah rakyat umumnya dilawankan dengan penguasa. Sedangkan penduduk, menurut Soepomo dalam Hartono Hadisoeprapto (1999), adalah orang-orang yang dengan sah bertempat tinggal tetap dalam suatu negara. Sah artinya tidak bertentangan dengan dengan ketentuan-ketentuan mengenai masuk dan mengadakan tempat tinggal tetap dalam negara yang bersangkutan. Orang yang berada di suatu wilayah negara dapat dibedakan menjadi penduduk dan non penduduk. Adapun penduduk negara dapat dibedakan menjadi warga negara dan orang asing atau bukan warga negara.

Pengertian Warga Negara

Pengertian warga negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara itu.
Sementara itu, AS Hikam dalam Ghazalli (2004) mendefinisikan warga negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara seperti yang tertulis dalam UUD 1945 pasal 26 dimaksudkan: “Warga negara adalah Bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara”.
Selanjutnya dalam pasal 1 UU Nomor 22/1958, dan dinyatakan juga dalam UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, menekankan kepada peraturan yang menyatakan bahwa Warga Negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan atau perjanjian-perjanjian dan atau peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia.
Warga negara memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat penting bagi kemajuan dan bahkan kemunduran sebuah bangsa. Oleh karena itu, seseorang yang menjadi anggota atau warga suatu negara haruslah ditentukan oleh Undang-undang yang dibuat oleh negara tersebut. Sebelum negara menentukan siapa saja yang menjadi warga negaranya, terlebih dahulu negara harus mengakui bahwa setiap orang berhak memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meningggalkannya serta berhak kembali sebagaimana dinyatakan oleh pasal 28E ayat (1) UUD 1945. pernyataan ini mengandung makna bahwa orang-orang yang tinggal dalam wilayah negara dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Warga Negara Indonesia, adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan dengan undang-undang sebagai warga negara.
b. Penduduk, yaitu orang-orang asing yang tinggal dalam negara bersifat sementara sesuai dengan visa (surat izin untuk memasuki suatu negara dan tinggal sementara yang diberikan oleh pejabat suatu negara yang dituju) yang diberikan negara melalui kantor imigrasi.

Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Cina, peranakan Arab, dan lain-lain yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
Dari sudut hubungan antara negara dan warga negara, Koerniatmanto S. mendefinisikan warga negara dengan konsep anggota negara. Sebagai anggota negara, warga negara mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.

Sistem Kewarganegaraan

Sistem kewarganegaraan merupakan ketentuan/pedoman yang digunakan dalam menentukan kewarganegaraan seseorang. Pada dasarnya terdapat tiga sistem yang secara umum dipergunakan untuk menentukan kriteria siapa yang menjadi warga negara suatu negara, yaitu kriteria yang didasarkan atas kelahiran, perkawinan dan naturalisasi.

1. Sistem Kewarganegaraan Berdasarkan Kelahiran

Penentuan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran seseorang dikenal dengan dua asas kewarganegaraan yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman. Soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau daerah, dan sanguinis berasal dari kata sanguis yang berarti darah. Dengan demikian ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah kelahiran, sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan atau keibubapakan.
Sebagai contoh, jika sebuah negara menganut ius soli, maka seorang yang dilahirkan di negara tersebut mendapatkan hak sebagai warga negara. Begitu pula dengan asas ius sanguinis, jika sebuah negara menganut ius sanguinis, maka seseorang yang lahir dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan suatu negara tertentu, Indonesia misalnya, maka anak tersebut berhak mendapatkan status kewarganegaraan orang tuanya, yakni warga negara Indonesia.

A. Asas Ius Sanguinis

Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya kalau orang dilahirkan dari orang tua yang berwarganegara Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara Indonesia.
Asas Ius sanguinis atau Hukum Darah (law of the blood) atau asas genealogis (keturunan) atau asas keibubapakan, adalah asas yang menetapkan seseorang mempunyai kewarganegaraan menurut kewarganegaraan orang tuanya, tanpa melihat di mana ia dilahirkan. Asas ini dianut oleh negara yang tidak dibatasi oleh lautan, seperti Eropa Kontinental dan China. Asas ius sanguinis memiliki keuntungan, antara lain:
(1) Akan memperkecil jumlah orang keturunan asing sebagai warga negara;
(2) Tidak akan memutuskan hubungan antara negara dengan warga negara yang lahir;
(3) Semakin menumbuhkan semangat nasionalisme;
(4) Bagi negara daratan seperti China dan lain-lain, yang tidak menetap pada suatu negara tertentu tetapi keturunan tetap sebagai warga negaranya meskipun lahir di tempat lain (negara tetangga).

B. Asas Ius Soli

Pada awalnya, asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini hanya satu, yakni ius soli saja. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa karena seseorang lahir di suatu wilayah negara, maka otomatis dan logis ia menjadi warga negara tersebut.
Asas ius soli atau asas tempat kelahiran atau hukum tempat kelahiran (law of the soil) atau asas teritorial adalah asas yang menetapkan seseorang mempunyai kewarganegaraan menurut tempat di mana ia dilahirkan. Asas ini dianut oleh negara-negara imigrasi seprti USA, Australia, dan Kanada.
Tidak semua daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan. Misalnya, kalau orang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia. Terkecuali anggota-anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing yang masih dalam ikatan dinas. Di samping dan bersama-sama dengan prinsip ius sanguinis, prinsip ius soli ini juga berlaku di Amerika, Inggris, Perancis, dan juga Indonesia. Tetapi di Jepang, prinsip ius solis ini tidak berlaku. Karena seseorang yang tidak dapat membuktikan bahwa orang tuanya berkebangsaan Jepang, ia tidak dapat diakui sebagai warga negara Jepang.
Untuk sementara waktu asas ius soli menguntungkan, yaitu dengan lahirnya anak-anak dari para imigran di negara tersebut maka putuslah hubungan dengan negara asal. Akan tetapi dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan pada tempat kelahiran saja. Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain ini juga berdasarkan realitas empirik bahwa ada orang tua yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian orang tua tersebut melahirkan anak di tempat salah satu orang tuanya (misalnya di tempat ibunya). Jika tetap menganut asas ius soli, maka si anak hanya akan mendapatkan status kewarganegaraan ibunya saja, sementara ia tidak berhak atas status kewarganegaraan bapaknya. Atas dasar itulah, maka asas ius sanguinis dimunculkan, sehingga si anak dapat memiliki status kewarga-negaraan bapaknya.
Dalam perjalanan banyak negara yang meninggalkan asas ius soli, seperti Belanda, Belgia, dan lain-lain. Selain kedua asas tersebut, beberapa negara yang menggabungkan keduanya misalnya Inggris dan Indonesia.

2. Sistem Kewarganegaraan Berdasarkan Perkawinan

Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sistem perkawinan. Di dalam sistem perkawinan, terdapat dua buah asas, yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
A. Asas Kesatuan Hukum
Asas kesatuan hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak berpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, suami-istri ataupun ikatan keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-istri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitment menjalankan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan keluarga.
Menurut asas kesatuan hukum, sang istri akan mengikuti status suami baik pada waktu perkawinan dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawinan berjalan. Negara-negara yang masih mengikuti asas ini antara lain: Belanda, Belgia, Perancis, Yunani, Italia, Libanon, dan lainnya. Negara yang menganut asas ini menjamin kesejahteraan para mempelai. Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, melalui proses hemogenitas dan asimilasi bangsa. Proses ini akan dicapai apabila kewarganegaraan istri adalah sama dengan kewarganegaraan suami. Lebih-lebih istri memiliki tugas memelihara anak yang dilahirkan dari perkawinan, maka akan diragukan bahwa sang ibu akan dapat mendidik anak-anaknya menjadi warga negara yang baik apabila kewarganegaraannya berbeda dengan sang ayah anak-anak.

B. Asas Persamaan Derajat

Dalam asas persamaan derajat, suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak (suami atau istri). Baik suami ataupun istri tetap berkewarganegaraan asal, atau dengan kata lain sekalipun sudah menjadi suami-istri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum diikatkan menjadi suami istri. Negara-negara yang menggunakan asas ini antara lain: Australia, Canada, Denmark, Inggris, Jerman, Israel, Swedia, Birma dan lainnya.
Asas ini dapat menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Misalnya, seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan perempuan di negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang diinginkannya, maka selanjutnya ia menceraikan istrinya. Untuk menghindari penyelundupan hukum semacam ini, banyak negara yang menggunakan asas persamaan derajat dalam peraturan kewarganegaraannya.

3. Sistem Kewarganegaraan Berdasarkan Naturalisasi

Walaupun tidak dapat memenuhi status kewarganegaraan melalui sistem kelahiran maupun perkawinan, seseorang masih dapat mendapatkan status kewarganegaraan melalui proses pewarganegaraan atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur pewarganegaraan ini di berbagai negara sedikit-banyak dapat berlainan, menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-masing.
Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh sesuatu negara atau tidak mau diberi atau dijadikan warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut (Kartasapoetra. 1993: 216-7).
Perolehan Kewarganegaraan Indonesia
Untuk mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia, pemerintah mengatur dalam Undang-undang. Hal ini diatur sedemikian rupa, sehingga mampu mengantisipasi berbagai permasalahan baik sosial maupun permasalahan hukum yang terjadi. Karena permasalahan yang menyangkut status warga negara dapat terjadi pada wilayah dalam negeri maupun aktivitas yang berkaitan dengan interaksi antar negara. Sebagai contoh, kehadiran beberapa artis muda di Indonesia yang berasal dari negara lain, saat ini tengah berurusan dengan pihak imigrasi karena visa dan status kewarganegaraan mereka. Terkait dengan kejahatan, berbagai kasus penyebaran narkoba oleh warga negara kulit hitam di Indonesia melibatkan jaringan internasional. Dengan pengaturan status kewarganegaraan, pihak kepolisian memiliki bukti yang kuat untuk mencekal maupun menangkap dan mengembalikannya ke negara asalnya.

Dalam penjelasan umum Undang-undang No. 62/1958 bahwa terdapat 7 (tujuh) cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu :
1. Karena kelahiran;
2. Karena pengangkatan;
3. Karena dikabulkannya permohonan;
4. Karena pewarganegaraan;
5. Karena perkawinan;
6. Karena turut ayah dan atau ibu;
7. Karena pernyataan.

Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Negara

Seperti yang telah disampaikan di muka, bahwa warga negara merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Dengan demikian, warga negara memiliki hak dan kewajiban terhadap negaranya.
Dalam konteks Indonesia, hak warga negara terhadap negaranya telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan lainnya yang merupakan derivasi dari hak-hak umum yang digariskan dalam UUD 1945. Hak-hak dan kewajiban warga negara tercantum dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 UUD 1945. Beberapa hak dan kewajiban tersebut antara lain: Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal ini menunjukkan asas keadilan sosial dan kerakyatan Hak membela negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”
Selain itu, dalam Pasal 30 ayat (1) juga dinyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. Hak berpendapat, berserikat dan berkumpul, seperti yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Hak kebebasan beragama dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945, di Pasal 29 ayat (2) dinyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.” Hak untuk mendapatkan pengajaran, seperti yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan UUD 1945. Hak untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 32 UUD 1945 ayat (1), “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Hak ekonomi atau hak untuk mendapatkan kesejahteraan sosial. Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUD 1945 berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
(3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial. Dalam Pasal 34 UUD 1945 dijelaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Kewajiban warga negara terhadap negara Indonesia, antara lain: Kewajiban menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Kewajiban membela negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 yang telah ditulis sebelumnya. Kewajiban dalam upaya pertahanan negara, seperti yang sudah dituliskan di atas pada Pasal 30 ayat (1) UUD 1945.
Selanjutnya hak-hak warga negara yang tertuang dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara dinamakan hak konstitusional. Setiap warga negara memiliki hak-hak konstitusional sebagaimana yang ada dalam UUD 1945. Warga negara berhak menggugat bila ada pihak-pihak lain yang berupaya membatasi atau menghilangkan hak-hak konstitusionalnya.

Secara garis besar, hak dan kewajiban warga negara yang tertuang dalam UUD 1945 mencakup berbagai bidang. Bidang-bidang ini antara lain adalah bidang politik dan pemerintahan, sosial, keagamaan, pendidikan, ekonomi, dan pertahanan.
Selain adanya hak dan kewajiban warga negara di dalam UUD 1945, pada perubahan pertama telah dicantumkan pula hak asasi manusia. Hak asasi manusia perlu dibedakan dengan hak warga negara. Hak warga negara merupakan hak yang ditentukan dalam suatu konstitusi negara. Munculnya hak ini adalah karena adanya ketentuan undang-undang dan berlaku bagi orang yang berstatus sebagai warga negara. Bisa terjadi hak dan kewajiban warga negara Indonesia berbeda dengan hak warga negara Malaysia oleh karena ketentuan undang-undang yang berbeda. Adapun hak asasi manusia umumnya merupakan hak-hak yang sifatnya mendasar yang melekat dengan keberadaannya sebagai manusia. Hak asasi manusia tidak diberikan oleh negara, tetapi justru harus dijamin keberadaannya oleh negara. Di samping adanya hak dan kewajiban warga negara terhadap negara, dalam UUD 1945 adanya hak asasi manusia.
Ketentuan mengenai hak asasi manusia ini dalam UUD 1945 merupakan langkah maju dari bangsa Indonesia untuk menuju kehidupan konstitusional yang demokratis. Ketentuan mengenai hak asasi manusia tertuang pada Pasal 28 A sampai J UUD 1945. Dalam ketentuan tersebut juga dinyatakan adanya kewajiban dasar manusia. Hak dan kewajiban tersebut antara lain: Hak hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupan (Pasal 28A); Membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawainan yang sah (Pasal 28B ayat 1); Hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat 2); Hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia (Pasal 28C ayat 1);

Hak memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara (Pasal 28 C ayat 2); Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat 1); Hak untuk bekerja, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat 2); Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28D ayat 3); Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28D ayat 4); Hak bebas memeluk agama, beribadat menurut agama, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya dan kembali (Pasal 28E ayat 1); Hak bebas meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani (Pasal 28E ayat 2); Hak bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28E ayat 3); Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial, serta hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28F); Hak atas perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, dan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G ayat 1); Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan memperoleh suaka politik dari negara lain (Pasal 28G ayat 2); Hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1);
Hak memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28H ayat 2); Hak atas jaminan sosial (Pasal 28H ayat 3); Hak memiliki hak milik pribadi, dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun (Pasal 28H ayat 4); Hak terhadap identitas budaya dan masyarakat tradisional (Pasal 28I ayat 3); Kewajiban menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 28J ayat 1); Kewajiban tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28J ayat 2).

Ketentuan lebih lanjut mengenai berbagai hak dan kewajiban warga negara dalam hubungannya dengan negara tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran atas UUD 1945. Misalnya dengan undang-undang.
Sebagai contoh:
1. Hak dan kewajiban warga negara di bidang pendidikan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
2. Hak dan kewajiban warga negara di bidang pertahanan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
3. Hak dan kewajiban warga negara di bidang politik terdapat dalam: UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan lain-lain.
Prinsip utama dalam penentuan hak dan kewajiban warga negara adalah terlibatnya warga (langsung atau perwakilan) dalam setiap perumusan hak dan kewajiban tersebut sehingga warga sadar dan menganggap hak dan kewajiban tersebut sebagai bagian dari kesepakatan mereka yang dibuat sendiri.

Di samping itu, setiap penduduk yang menjadi warga negara Indonesia, diharapkan memiliki karakteristik yang bertanggung jawab dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Karakteristik adalah sejumlah sifat atau tabiat yang harus dimiliki oleh warga negara Indonesia, sehingga muncul suatu identitas yang mudah dikenali sebagai warga negara.

Sejumlah sifat dan karakter warga negara Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Memiliki rasa hormat dan tanggung jawab
Sifat ini adalah sikap dan perilaku sopan santun, ramah tamah, dan melaksanakan semua tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebagai negara yang dikenal murah senyum dan ramah, identitas tersebut sepatutnya dijaga dan dipelihara.
2. Bersikap kritis
Sifat ini adalah sikap dan perilaku yang berdasarkan data dan fakta yang valid (sah) serta argumentasi yang akurat. Sifat kritis ini diperlukan oleh setiap warga negara guna menyaring segala informasi dan aktivitas baik mengenai perorangan, pihak-pihak tertentu maupun aparat pemerintahan, sehingga dapat mencegah segala pelanggaran maupun eksploitasi yang mungkin terjadi.
3. Melakukan diskusi dan dialog
Sifat ini adalah sikap dan perilaku dalam menyelesaikan masalah (problem solving). Hendaknya dilakukan dengan pola diskusi dan dialog untuk mencari kesamaan pemikiran terhadap penyelesaian masalah yang dihadapi. Kemampuan mengeluarkan pendapat dari warga negara akan membantu pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
4. Bersikap terbuka
Sifat ini adalah sikap dan perilaku yang transparan serta terbuka, sejauh masalah tersebut tidak bersifat rahasia. Keterbukaan akan mencegah pelanggaran/penyimpangan dan mampu membangun sikap mental yang positif dan lebih profesional.
5. Rasional
Sifat ini adalah pola sikap dan perilaku yang berdasarkan rasio atau akal pikiran yang sehat. Sifat rasional ini identik dengan tingkat pendidikan warga negara. Semakin banyak warga yang berperilaku rasional, maka tingkat pendidikan warga negara juga meningkat.
6. Adil
Sifat ini adalah sikap dan perilaku menghormati persamaan derajat dan martabat kemanusiaan. Adil merupakan kata yang mudah diucapkan , namun pelaksanaannya menghadapi berbagai kendala. Perilaku adil harus dipupuk dan dilatih sejak dini kepada generasi muda, karena keadilan akan membawa kedamaian di kemudian hari.
7. Jujur
Sifat ini adalah sikap dan perilaku yang berdasarkan data dan fakta yang sah dan akurat. Kejahatan korupsi yang telah mengakar di Indonesia merupakan contoh ketidakjujuran yang sangat terlihat, dan telah banyak menyengsarakan rakyat banyak dan menyebabkan ketakutan investor dari negara lain masuk ke Indonesia. Kejujuran merupakan barang yang mahal saat ini. Warga negara yang jujur akan membawa negaranya menjadi bangsa yang besar.

Hak dan Kewajiban Negara atau Pemerintah

Sebagaimana seorang warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban, maka negara pun mempunyai hak dan kewajiban atas warga negaranya. Hak dan kewajiban negara terhadap warga negara pada dasarnya merupakan hak warga negara terhadap negara.

Hak negara atau pemerintah meliputi:
1. Menciptakan peraturan dan undang-undang yang dapat mewujudkan ketertiban dan keamanan bagi keseluruhan rakyat;
2. Melakukan monopoli terhadap sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak;
3. Memaksa setiap warga negara untuk taat pada hukum yang berlaku.
Kewajiban negara atau pemerintah sebagaimana yang tersebut dalam tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 dan kewajiban negara menurut undang-undang serta UUD meliputi:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial;
5. Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agama dan kepercayaannya;
6. Membiayai pendidikan, khususnya pendidikan dasar;
7. Mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional;
8. Memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran belanja negara dan belanja daerah;
9. Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia;
10. Memajukan kebudayaan manusia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dengan memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya;
11. Menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional;
12. Menguasai cabang-cabang produksi terpenting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak;
13. Menguasai bumi, air, dan kekayaan alam demi kemakmuran rakyat;
14. Memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar;
15. Mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;
16. Bertanggung jawab atas persediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Tulisan yang Lain Silakan Klik

Fungsi Self-Disclosure;>>>> Baca

Riset dalam Dunia Pendidikan;>>>> Baca

Permasalahan Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak;>>>> Baca

Pengertian Akuntansi, Prinsip dan Persamaan Akuntansi;>>>>>>>>> Baca

Model Pendekatan Layanan Bimbingan bagi Anak Usia Dini;>>>> Baca

Suap dan Korupsi dalam Birokrasi

Suap dan Korupsi dalam Birokrasi

Pada umumnya masyarakat menganggap Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau birokrat sebagai pekerja yang digaji rendah oleh Negara (kecuali para pejabatnya yang mendapat tambahan pendapatan dari tunjangan jabatan yang dimiliki), memiliki etos kerja yang rendah, sistem perekrutan pegawai dilandasai dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), bidang pekerjaannya terkadang tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki, minta dilayani masyarakat dan bukannya melayani masyarakat, atau tidak bekerja penuh waktu karena pekerjaannya terlampau sedikit.

Hakekat Suap dan Korupsi

Tidak ada yang tahu persis kapan istilah suap digunakan sebagai hal yang berkaitan dengan korupsi. Jika ditilik dari kamus bahasa Indonesia, maka suap dapat berarti memasukkan sesuatu yang dilakukan seseorang ke dalam mulut orang lain. Jadi tidak ada istilah suap yang digunakan untuk diri sendiri. Contohnya, seorang ibu menyuapi anaknya dengan bubur kacang hijau. Tidak ada kalimat seperti,” saya menyuapi mulut saya dengan nasi, dengan menggunakan tangan saya sendiri”. Selain arti suap di atas ada lagi arti suap yang lain yang sama artinya dengan sogok. Kata sogok juga sebenarnya dapat berarti melakukan sesuatu kegiatan dengan menggunakan alat (misalnya kayu) untuk meraih, menjatuhkan, atau menggeser suatu benda. Contohnya, seorang anak kecil menyogok sebuah layang-layang dengan sebilah bambu yang terkait di ranting sebuah pohon agar layang-layang tersebut dapat jatuh dan diambil. Namun dalam perkembangannya ke dua istilah tersebut digunakan dalam hubungannya dengan seseorang yang melakukan tindak korupsi.

Istilah suap yang berasal dari bahasa Inggris ”to bribe” yang berarti menyuap atau menyogok. Suap-menyuap bersama-sama dengan penggelapan dana-dana public (embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi.

Korupsi sendiri berasal dari kata “to corrupt” yang berarti membusukkan, merusakkan atau membinasakan, atau dijelaskan sebagai suatu perusakan integritas, kebajikan atau asas-asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles).

Tindakan korupsi termasuk suap menyuap dianggap sebagai tindakan kriminal, sebagai suatu kejahatan yang tidak lagi dipandang sebagai kejahatan biasa atau konvensional tapi sudah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Korupsi mempunyai karakter yang sangat kriminogin yang dapat menjadi faktor pemicu munculnya kejahatan yang lain, atau bersifat viktimogin, yaitu secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan, terutama menyangkut kepentingan masyarakat umum.

Dampak yang diakibatkan oleh tindak korupsi sangatlah besar dimana dalam jumlah besar secara siginifikan dapat menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, dapat merusak institusi serta nilai-nilai demokrai, nilai-nilai etika dan keadilan, diskriminatif serta mengganggu jalannya etika dan kompetisi kerja yang jujur, mencederai pembangunan serta merusak tegaknya sistem hukum.

Tindak pidana korupsi dalam skala besar jelas sangat memiliki potensi merugikan keuangan dan perekonomian Negara dalam jumlah yang besar pula yang pada akhirnya dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik suatu Negara. Tindakan korupsi skala besar bisa pula berarti bersifat multilateral dan transnasional, seperti tindakan penyuapan yang dilakukan oleh perusahaan asing yang beroperasi di suatu Negara kepada pejabat-pejabat Negara tersebut(commercial corruption).

Tidak saja dalam aspek perdagangan, tindak pidana korupsi juga merambah bidang yang lain sehingga menimbulkan bahaya terhadap keamanan umat manusia seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, hukum dan fungsi-fungsi pelayanan social lainnya. Tindakan korupsi jelas-jelas merusak mental aparatur Negara atau para birokrat. Untuk memperoleh kekayaan yang banyak, para aparatur Negara tidak malu-malu dan segan lagi melanggar sumpah jabatan serta kode etik pegawai negeri.

Dari beberapa hal tersebut di atas maka telah muncul dalam pandangan masyarakat bahwa elemen tindakan koruspi tidak perlu harus mengandung secara langsung unsur merugikan keuangan atau perekonomian Negara. Selain tindakan korupsi maka tindakan yang dianggap sejenis adalah tindakan suap-menyuap. Suap menyuap biasanya dilakukan agar tujuan yang diinginkan oleh si penyuap dapat terlaksana tanpa ada hambatan, baik hambatan waktu maupun prosedur. Dengan demikian mereka yang disuap adalah aparatur Negara yang mempunyai kewenangan dan kekuasaaan dalah hal perijinan. Agar ijin bisa diperoleh dengan cepat minimal sama dengan prosedur yang harus ditempuh, dan supaya tidak dipersulit oleh aparatur Negara yang mengeluarkan ijin maka dilakukanlah tindakan penyuapan tersebut. Kapan munculnya tindakan penyuapan? Siapa yang memulai? Untuk menjawab hal tersebut sama dengan pertanyaan lebih dulu ada, ayam atau telur. Dalam kasus penyuapan, maka biasanya pihak yang dianggap mau disuap akan menyanggah dengan argumentasi kalau tidak disuap maka tentu aparatur Negara tidak akan terggoda untuk menerima suap. Dalam hal ini dianggap pihak lain yang melakukan suap terlebih dahulu. Sebaliknya bagi si penyuap akan ada argumentasi, jika prosedur perijinan lancar maka tentu tidak tidak perlu dilakukan penyuapan. Dalam hal ini si penyuap menganggap adanya keterpaksaan dalam melakukan penyuapan.

Dalam tindakan suap menyuap maka berdampak pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, perlakukan pembedaan (diskriminatif) dengan cara memberikan penanganan secara khusus atau privilese atas dasar keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan, ketidakjujuran, perekayasaan laporan, bahaya terhadap hak asasi manusia dan lain sebagainya.

LANGKAH PENANGANAN

Seorang Presiden Bank Dunia pernah mengatakan mengenai masalah suap di Negara berkembang yang dikatakan sebagai “the cancer of developing countries” sehingga menyarankan agar dilakukan langkah penanganan untuk mengatasi dan menuntaskan permasalahan suap menyuap tersebut.

Bangsa Indonesia yang menyatakan diri sedang melakukan gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 tersebut berusaha mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN dengan melalui berbagai metode dan tindakan pada berbagai bidang yang terkait.

Dari sisi hukum maka berbagai substansi hukum telah dibuat untuk memberantas KKN serta menciptakan penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN seperti TAP MPR No. XI/MPR/1998 dan UU No. 28 Th 1999, UU. No. 31 Th. 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu untuk menunjukkan kesungguhannya dalam melawan korupsi, pemerintah Indonesia turut menandatangani UN Convention Against Corruption, Vienna, Th. 2003. Aspek yang menonjol dalam konvensi ini adalah:

(1) penekanan pada unsur pencegahan,
(2) kriminalitas yang lebih luas,
(3) kerjasama internasional, dan
(4) pengaturan lembaga asset recovery untuk mengembalikan asset yang dilarikan ke luar negeri.

Dari segi kebijakan Negara, telah dikeluarkan instruksi Presiden berupa delapan prioritas dalam upaya pemberantasan korupsi, serta berbagai upaya yang telah dilakukan Presiden dalam rangka mengakseleras pemberantasan tindak pidana korupsi. Upaya Presiden tersebut harus ditanggapi positif dan harus ditindaklanjuti oleh pejabat atau instansi yang berwenang. Memang tidak mudah untuk melaksanakan semua hal yang menyangkut upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, karena pihak yang akan terkena dampak atau yang nantinya akan ditindak karena keterlibatan dalam kasus korupsi akan berusaha untuk menggagalkan upaya Presiden tersebut.

Dilihat dari aspek hukum telah dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana atas dasar UU No. 30 Tahun 2002 dimungkinkan pula pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi yang bersifat khusus pengadilan ad hoc. Selain itu dibentuk pula komisi kepolisian, komisi kejaksaan, komisi yudisial untuk mengawasi perilaku penegak hukum.

Dari berbagai bentuk tindakan dan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut di atas yang telah dilakukan secara maksimal baik di bidang substansi maupun dari aspek hukumnya dimana apabila upaya tersebut masih di anggap gagal atau belum berhasil secara memuaskan maka persoalannya adalah cenderung berkaitan dengan budaya hukum serta kualitas moral sumberdaya manusianya, yang berupa pandangan, persepsi,sikap, perilaku, maupun falsafah dari para anggota masyarkat yang kontraproduktif. Terutama menyangkut budaya hukum dari mereka yang terlibat dalam penegakan hukum yang nampaknya belum sepenuhnya dapat menyesuaikan diri dengan semangat reformasi.

KESIMPULAN

Korupsi serta suap menyuap atau dalam aspek yang lebih luas dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) pada dasarnya dapat dicegah dan diberantas dengan cara-cara yang luar biasa. Yang paling pokok adalah adanya pemerintahan yang tegas, rekrutmen kepemimpinan dalam berbagai struktur dan bidang yang bersih, strategi pencegahan dan penanggulangan yang menyeluruh dan sistematis baik dari segi preventif, represif, dan detektif.
Dilain pihak perlu diberdayakan di bidang lembaga hukum, penegakan kode etik pegawai secara tegas baik di lingkungan negeri maupun swasta, serta adanya partisipasi aktif dari segala aspek masyarakat serta perlu dipertimbangkannya peningkatan kesejahteraan pegawai.
Perlu adanya pengawasan dan pengendalian yang ketat terhadap seseorang atau lembaga yang mempunyai kewenangan serta monopoli kekuasaan karena mereka dianggap sebagai sumber atau munculnya kesempatan untuk melakukan korupsi.

Tulisan Lain

Teory Biaya Produksi >>>>>>>>>> Baca

Disonansi Moral Anak Jaman Sekarang >>> Baca

Kekuatan Intelektual Lahirnya Teori Sosiologi >>> Baca

Produksi, Konsumsi, Distribusi, dan Ekonomi Kerakyatan >>> Baca

Pendekatan Konsep Ilmu, Teknologi dan Masyarakat

dalam Pembelajaran IPS di SD >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Baca

Perilaku dan Budaya Organisasi

Perilaku dan Budaya Organisasi

Perilaku pegawai tidak terlepas dengan budaya organisasi. Ada ahli yang mengatakan terdapat perbedaan antara budaya organisasi publik dan budaya organisasi perusahaan atau privat atau korporat. Bagaimana dengan istilah budaya korporat? Apakah ada perbedaan antara budaya korporat dengan budaya organisasi? Sebelum menjelaskan mengenai budaya korporat sebaiknya perlu diulang kembali pengertian budaya organisasi, dimana menurut Kotter dan Hesket, budaya organisasi merujuk pada nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu, bahkan meskipun anggota kelompok telah berubah. Selain pengertian tersebut, cukup banyak orang yang mendefinisikan budaya organisasi dengan berbagai macam pengertian.

Budaya korporat dapat dianggap sebagai perekat atau ikatan yang menahan suatu organisasi atau perusahaan agar bersatu. Budaya korporat menggabungkan nilai-nilai organisasi, norma-norma berperilaku, prosedur-prosedur serta kebijakan pada suatu perusahaan. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara budaya organisasi dan budaya korporat atau perusahaan, dimana budaya korporat lebih menekankan pada budaya yang terdapat pada suatu organisasi bisnis atau perusahaan. Lantas, faktor-faktor apa yang membentuk budaya korporat?

Pengaruh yang paling pokok pada budaya korporat sebenarnya adalah budaya nasional suatu negara dimana perusahaan itu berada. Namun selain hal tersebut, terdapat juga faktor lain yang turut membentuk budaya korporat misalnya pandangannya dan interaksinya dengan lingkungan atau dunia luar; struktur kepemilikan perusahaan juga berperan dalam membentuk budaya korporat (contohnya adalah budaya perusahaan keluarga kemungkinan akan berbeda dengan perusahaan bisnis lainnya); jenis atau tipe produksi yang dihasilkan perusahaan (misalnya perusahaan perangkat lunak komputer kemungkinan budayanya akan lebih informal dan berwirausaha jika dibandingkan dengan bank investasi); atau perusahaan jasa juga akan memiliki budaya yang berbeda dengan perusahaan pertambangan.

Walaupun hampir sama dengan komponen yang membentuk budaya , seperti bahasa, agama, dan humor, namun komponen budaya korporat lebih cenderung terkait dengan penerapan aspek-aspek kegiatan yang ada dalam suatu perusahaan. Masing-masing komponen tersebut secara terpisah atau secara sendiri-sendiri belum dapat menggambarkan nilai-nilai yang ada dalam suatu perusahaan. Namun demikian jika dilihat dari nilai-nilai atau sasaran perusahaan dalam membentuk budaya korporat, menurut Charles Mitchel dalam Budaya Bisnis Internasional, komponen-komponen dasar yang membentuk budaya korporat adalah sebagai berikut:

Sistem Imbal Jasa:
Contohnya adalah pegawai yang berperilaku yang bagaimana yang patut diberi penghargaan atau diberi imbalan?

Keputusan mempekerjakan:
Dalam merekrut serta mempekerjakan pegawai, apakah perusahaan dalam mencapai tujuannya lebih senang merekrut pegawai yang beragam latar belakangnya, atau agar aman, perusahaan mempekerjakan tenaga kerja yang homogen

Struktur Manajemen:
Dalam hal ini berarti bagaimana perusahaan itu dikelola, apakah dikelola oleh tim eksekutif atau didominasi oleh otoritas pimpinan perusahaan.

Strategi pengambilan resiko:
Sejauh mana perusahaan berani mengambil risiko. Apakah perusahaan senang dengan suatu tantangan pasar serta mencari peluang-peluang yang ada, ataukah telah puas dengan kondisi (baik produk atau pasar yang ada), demi amannya kegiatan perusahaannya.

Kondisi fisik:
Bagaimana kondisi ruangan kantor didesain. Apakah kantor lebih cenderung tersekat-sekat ruangannya, agar nampak kewibawaan perusahaan padahal kondisi tersebut mungkin tidak mendukung proses komunikasi yang diharapkan. Atau kantor dibuat terbuka, tanpa ada jarak yang nyata antara kantor manajemen dengan tempat kerja staf.

Mengenai pola perilaku organisasi dimana karyawan baru cenderung dan terdorong mengikuti perilaku seniornya maka untuk menambah kejelasan mengenai peran pegawai senior atau pimpinan dalam kaitannya dengan budaya kerja, maka disini akan dibahas mengenai langkah pemimpin dalam pelaksanaan program budaya kerja seperti yang ditulis oleh Triguno, dalam bukunya Budaya Kerja, yaitu:

Memberi fokus yang sama mengenai visi dan strategi perusahaan. Dengan adanya kesamaan fokus tersebut maka komitmen, sinergi dan semangat kerja organisasi dapat dilaksanakan dengan baik.

Melaksanakan penyempurnaan
Melakukan penyempurnaan adalah inti dari program budaya kerja karena dengan penyempurnaan maka perubahan-perubahan yang diinginkan akan dapat terlaksana, dimana organisasi akan mampu mempertahankan hidup dalam dunia persaingan.

Mengubah budaya
Dalam hal mengubah budaya maka pimpinan harus mampu mengubah dirinya terlebih dahulu. Pimpinan organisasi harus mau menerima tanggung jawab dalam rangka perubahan budaya . Perubahan budaya tidak mungkin dilakukan dalam sekejap waktu tetapi terjadi secara bertahap dan memerlukan waktu.

Pemimpin jangan membuat suatu kesalahan dalam tahapan pelaksanaan program budaya kerja, karena bila hal tersebut terjadi maka dapat melemahkan semangat dan menurunkan kepercayaan bawahan terhadap pimpinan.

Dalam budaya organisasi dan kinerja, menurut Susanto, dalam bukunya Budaya Perusahaan, untuk menjadikan budaya suatu perusahaan kuat, ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu:

Penyebaran nilai-nilai budaya
Tujuan dilakukannya penyebaran nilai-nilai budaya tersebut yaitu dengan maksud agar seluruh sumber daya yang terdapat dalam perusahaan itu mengetahui secara jelas tentang nilai-nilai yang terdapat didalam budaya perusahaan tersebut. Cara penyebaran nilai-nilai budaya tersebut dapat dilakuan dengan melalui orientasi tugas dan penghargaan terhadap prestasi kerja karyawan.

Tingkat komitmen anggota organisasi terhadap inti dari nilai-nilai yang ada (core values).

Komitmen karyawan terhadap nilai-nilai inti dari budaya perusahaan dapat berkembang bersamaan dengan penghargaan yang diberikan kepada karyawan. Penghargaan oleh perusahaan tersebut dapat berupa peningkatan gaji, promosi atau jenis-jenis penghargaan lainnya.

Ada kesepakatan umum bahwa tidak mudah untuk menetapkan dalam hal yang bagaimana suatu budaya dapat dikatakan baik serta dapat berfungsi baik didalam keseluruhan organisasi dimanapun. Suatu budaya dapat dikatakan baik jika cocok dengan konteksnya baik berupa kondisi obyektif dari industrinya, segmen industri perusahaan, atau strategi bisnis itu sendiri. Dengan demikian semakin besar kecocokan budaya organisasi dengan konteksnya, akan semakin baik kinerjanya, dan semakin kurang kecocokannya maka akan semakin buruk kinerjanya.

Sebuah budaya yang tidak memiliki perilaku birokratis, namun cepat dalam pengambilan suatu keputusan, akan meningkatkan kinerja dalam lingkungan yang kompetitif. Selain itu sebuah budaya yang mendukung pembuatan keputusan yang cepat, kemungkinan bermanfaat untuk perusahaan kecil tetapi sebaliknya mungkin kurang menguntungkan bagi perusahaan yang besar. Bagi budaya yang menghargai struktur hirarkis yang stabil dan tinggi, kemungkinan cocok dalam lingkungan perusahaan yang bergerak lamban, tapi akan tidak cocok dalam perusahaan industri yang bergerak secara cepat dan kompetitif. Disamping itu perusahaan kecil yang menggunakan teknologi canggih dan maju mungkin membutuhkan suatu budaya yang lain dibandingkan misalnya dengan budaya suatu perusahaan atau bank yang besar.

Bagaimana membedakan budaya yang adaptif dan tidak adaptif? Pada umumnya budaya yang tidak adaptif bersifat birokratis. Para pegawai perusahaan kurang kreatif, tidak berani mengambil risiko dan bersifat reaktif, tidak proaktif. Karena hambatan birokrasi maka informasi yang masuk tidak lancar dan mengalir dengan mudah dalam sendi-sendi organisasi. Motivasi dan inovasi tidak dapat dimaksimalkan karena adanya kontrol yang ketat dan luas. Sebaliknya, budaya yang adaptif cara pendekatan yang dilakukan adalah proaktif, mau menanggung risiko, penuh kepercayaan dan saling mendukung diantara anggota organisasi dalam memecahkan masalah, dan mau menerima terhadap perubahan dan inovasi dalam organisasi. Selain itu tipe budaya adaptif ini juga menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang membantu suatu perusahaan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah serta berusaha mencari peluang-peluang dan tantangan-tantangan baru.

Meskipun dari ketiga perspektif mengenai budaya dan kinerja perusahaan tidak ada satupun yang benar-benar memuaskan, namun mereka telah mengulas dengan cukup lengkap dan memberikan pemahaman kepada kita terhadap permasalahan mengapa suatu perusahaan lebih baik dibandingkan yang lainyya? Mungkin sebuah model yang menggabungkan ketiga perspektif tersebut lebih berpengaruh jika dibandingkan ketiganya masing-masing terpisah.

Sekarang kita beralih ke pada permasalahan, kondisi yang bagaimana yang dapat mengarah kepada budaya yang berkinerja rendah atau yang merusak kinerja ekonomi perusahaan? Terdapat 3 aspek yang nampaknya dapat berpengaruh terhadap perkembangan budaya yang tidak sehat tersebut yaitu:

1. Sifat angkuh dari seorang manajer atau pimpinan
Para manajer tidak terdorong untuk melihat dunia di luar perusahaannya dan menganggap mereka tidak perlu mencari gagasan-gagasan peluang-peluang bisnis yang baru. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh keberhasilan secara terus menerus selama bertahun-tahun dengan tingkat kegagalan perusahaan yang relatif rendah, sehingga kurang ada usaha. Kurangnya penghargaan terhadap pelanggan maupun dari manajer untuk bersikap rendah hati.

2. Pemegang saham.
Sifat yang cenderung meremehkan orang lain karena tekanan atau desakan eksternal yang kecil yang menurut mereka tekanan tersebut dapat diatasi dengan kemampuan mereka sendiri. Selain itu mereka juga cenderung tidak menghargai kritik dan menganggap mereka tidak berbeda dengan konstituensi perusahaan, yang membuat aturan-aturan dalam perusahaan.

3. Manajer kurang menghargai karyawan dan peran kepemimpinan pada berbagai level atau tingkat yang ada. Selain mereka cenderung menghambat kreatifitas dan inovasi, para manajer juga berperilaku dengan pola-pola yang sentralistis atau birokratis.
Kondisi seperti itu akan merusak kinerja ekonomi perusahaan karena para manajer tersebut tidak melakukan apa-apa dalam membantu organisasi perusahaan dalam beradaptasi dengan perubahan. Pada saat kinerja perusahaan menurun, karena tidak adanya kecocokan antara budaya dan lingkungannya, perubahan yang diharapkan tetap tidak muncul karena kombinasi dari keadaan kesombongan, kepicikan, serta kurangnya sifat kepemimpinan dari manajer.

Sebenarnya faktor utama apa yang membedakan perubahan budaya utama yang berhasil, dari perubahan yang tidak berhasil dalam suatu perusahaan? Kotter telah mengadakan studi terhadap 10 organisasi perusahaan besar diantaranya General Electric, British Airways, Nissan, ICI, SAS, Xerox, dll. Ternyata diperoleh kesimpulan bahwa kepemimpinan yang kompeten di tingkat pusat lah yang membedakan perubahan budaya utama yang berhasil dari perubahan yang tidak berhasil. Kemudian menarik untuk dilihat bagaimana latar belakang kepemimpinan pada perusahaan-perusahaan tersebut yang terkait dengan perubahan budaya ini. Latar belakang mereka dapat berasal dari dalam perusahaan atau dari luar perusahaan itu sendiri. Ada anggapan dimana peranan perspektif orang luar dalam perubahan budaya tersebut sangat penting. Keuntungan dari pemanfaatan orang luar adalah perspektif orang luar mempunyai pandangan yang lebih luas dan mampu melihat bahwa perusahaan tersebut membutuhkan perubahan yang drastis, mereka memiliki kekuatan untuk menentang aturan yang sudah mapan. Namun dalam perubahan budaya, ternyata pola yang terlihat dari studi tersebut adalah bahwa semakin besar organisasi perusahaannya, maka pemimpin baru memiliki latar belakang dari orang dalam, dengan kredibilitas, hubungan atau kemitraan, dan basis kemampuan kepemimpinan yang dimilikinya. Dari berbagai kajian dapat diasumsikan bahwa jarang suatu perusahaan mengembangkan pemimpin yang kuat atau seorang eksekutif yang berasal dari luar organisasi, dan kebanyakan organisasi menghasilkan beberapa individu yang berasal dari sumber daya orang dalam yang kuat dan kredibel.
Mengapa perubahan tersebut terjadi pada puncak kepemimpinan organisasi, dan prosesnya bukan dimulai dari tingkat yang lebih bawah, atau dengan inisiatif yang datang dari manajemen tingkat menengah atau tingkat lebih rendah.? Jawabannya adalah pertama dihubungkan dengan semata-mata faktor kesulitan untuk mengubah budaya terutama karena harus berhadapan dengan kekuatan di puncak pimpinan organisasi. Kedua, berhubungan dengan interdependensi atau saling ketergantungan di dalam organisasi dimana kondisi tersebut dapat mempersulit organisasi untuk melakukan perubahan-perubahan. Memang pada umumnya mereka yang berperan dalam melakukan perubahan organisasi adalah mereka yang berada di puncak pimpinan.

Baca Tulisan Lain

Pemerolehan Bhs Anak usia 4-6 Th >>> Baca

Ketrampilan Sosial >>>>>>>>> Baca

Birokrasi Pemerintahan >>>>>> Baca

Sejarah Filsafat Yunani >>> Baca

Evaluasi Jabatan >>>>> Baca

Klasifikasi Bank >>> Baca

Penyakit Dalam Birokrasi Pemerintahan

Penyakit Dalam Birokrasi Pemerintahan

Tuntutan untuk menciptakan sistem administrasi negara (aparatur pemerintahan) sering dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, serta menjunjung tinggi hukum dalam arti yang sebenarnya. Administrasi negara dapat diartikan sebagai apa yang dilakukan pemerintah atau oleh instansi, mulai dari perencanaan hingga tahap evaluasi, demikian seterusnya. Kegiatan administrasi negara ini juga termasuk kegiatan menyerap aspirasi masyarakat, mengolah data/informasi, dan menyampaikannya kepada policy makers, serta mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi pelaksanaan kebijaksanaan publik. Luasnya cakupan administasi negara dapat dilihat dari keterkaitan antara administrasi negara dengan disiplin ilmu lainnya seperti ilmu ekonomi, politik, sosiologi, hukum, psikologi, pelayanan sosial, enjinering, dan kesehatan (lihat Shafritz dan Russel, 1996).

Demikian pentingnya administrasi negara, sehingga muncul anggapan bahwa baik buruknya kinerja pemerintah atau suatu instansi pemerintah dapat dilihat pertama kali dengan melihat bagaimana pemerintah atau instansi pemerintah tersebut mengadministrasikan (dalam arti yang luas seperti mengelola sumber daya, dan bukan arti yang sempit yaitu pekerjaan kesekretariatan) kegiatan pemerintahan umum dan pembangunan yang diembannya. Pentingnya kegiatan administrasi ini mungkin secara mikro dapat digambarkan dengan kinerja NASA (National Aeronautic and Space Administration) Amerika Serikat, yang berhasil membawa kejayaan program ruang angkasa Amerika mengungguli program ruang angkasa Uni Sovyet atau sekarang Russia sejak tahun 1960an. Sebenarnya, kualitas ahli ruang angkasa Uni Sovyet tidak kalah dibandingkan dengan yang dimiliki Amerika, namun karena NASA melalukan pendayagunaan administrasinya (dalam arti yang luas) untuk mengorganisir dan mendayagunakan semua potensi ahli ruang angkasa dan sumber daya lainnya yang dimilikinya, maka akhirnya program ruang angkasa Amerika hingga saat ini mampu mengungguli program ruang angkasa Russia. “The American won because they had managers – public administrators – who were not necessarily more capable as individuals but decidedly more capable within their political, organizational, and cultural environment” (Shafritz dan Russel, 1996).

Bagaimana dengan sistem administrasi negara di negara-negara berkembang? Nampaknya sulit menemukan administrasi negara yang berkualitas di negara-negara berkembang, dalam arti kualitasnya tidak berbeda jauh dengan negara-negara yang sudah maju (Eropa Barat, Jepang dan Amerika Utara). Singapura, yang kualitas administrasi negaranya dinilai sama dengan negara-negara maju, bisa dianggap bukan lagi sebagai negara berkembang tetapi dapat dikategorikan sebagai negara industri baru atau bahkan negara maju. Menurut laporan Transparency International, lembaga independen Jerman di Berlin, tanggal 31 Juli 1997, tingkat korupsi di lingkungan aparatur pemerintah Singapura relatif sangat kecil, sehingga sistem administrasi negaranya menduduki peringkat ke-9 terbersih (clean) dari korupsi. Peringkat lainnya didominasi oleh negara-negara maju, seperti Denmark (1), Finlandia (2), Swedia (3), Belanda (6), Norwegia (7), Austria (8), dan Luxemburg (10). Sebaliknya, peringkat negara-negara yang memiliki tingkat korupsi yang parah didominasi oleh negara-negara berkembang, antara lain Nigeria, Bolivia, Columbia, Rusia, Pakistan, Mexico, dan Indonesia.

Laporan tersebut dapat saja diperdebatkan kebenarannya. Namun, terlepas setuju atau tidak, gambaran tingkat korupsi tersebut dapat dijadikan masukan atau tolok ukur untuk mengevaluasi kinerja sistem adminstrasi negara suatu negara, termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan, korupsi sangat terkait erat dengan lemahnya sistem administrasi negara, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Bahkan keterkaitan korupsi tidak hanya dengan berbagai elemen yang ada dalam sistem administrasi negara itu sendiri, tetapi juga terkait erat dengan sistem lain diluarnya, misalnya sistem politik, sistem hukum, dan sistem sosial masyarakat. Tingkat korupsi yang sudah sangat merisaukan mungkin juga dapat mencerminkan tingkat sakitnya sistem politik, sistem hukum, dan sistem sosial masyarakat.

Korupsi tidak saja dalam bentuk materi (finansial), tetapi juga kewenangan, tugas pokok dan fungsi, waktu kerja, dan sebagainya. Kritik yang dilontarkan kepada aparatur pemerintah tentang suatu kebijakan sering kurang diperhatikan, atau kalaupun diperhatikan cenderung tidak/enggan ditindaklanjuti. Anggapan diperhatikan ini sering dijadikan sebagai justifikasi bahwa aparatur pemerintah telah melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijaksanaan tertentu. Akibatnya, cepat atau lambat kebijaksanaan tersebut sering tidak mencapai sasarannya. Berbagai kebijaksanaan yang diputuskan sendiri tanpa atau dengan formalitas melibatkan masyarakat dapat dijumpai pada birokrasi pemerintahan kita. Hal seperti ini sama saja dengan menyimpan bom waktu yang pada suatu saat akan meledak. Ini terbukti dengan munculnya fenomena krisis kepercayaan masyarakat kepada aparatur pemerintah, mulai dari kelurahan/desa hingga departemen, dalam setahun terakhir ini yang ditandai dengan maraknya berbagai tuntutan masyarakat terhadap para birokrat atau pimpinan birokrasi pemerintahan. Bahkan ketidakpercayaan tersebut juga dimanifestasikan oleh masyarakat di berbagai daerah dalam bentuk tindakan main hakim sendiri misalnya terhadap sarana hiburan malam akibat tidak jelasnya kebijaksanaan aparatur pemerintah setempat tentang hal tersebut, terhadap beberapa perampok di Jakarta yang tertangkap, dan perusakan/pembakaran kapal pukat harimau oleh nelayan tradisional di Sumatra Utara beberapa waktu lalu.

Penyakit korupsi memang tidak hanya milik dan identik dengan negara-negara berkembang saja, tetapi juga dapat dijumpai di negara-negara maju. Hanya saja, tingkat korupsi di negara-negara maju baik dalam kualitas maupun kuantitasnya relatif kecil. Kuatnya sistem kontrol dari sistem-sistem lainnya (hukum atau yudikatif, legislatif, dan sosial masyarakat dengan berbagai kelembagaannya) terhadap perilaku birokrasi pemerintahan dan juga partai politik yang berkuasa (the ruling party) “memaksa” birokrasi pemerintahan dan partai yang berkuasa untuk berupaya memperbaiki kinerjanya. Tidak jarang kesalahan yang tampak kecil yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan, dapat menjadi isu sosial dan isu politik yang besar, misalnya masalah ketidakadilan dalam alokasi anggaran pendidikan atau masalah pelayanan sosial yang dianggap lambat, dan kasus suap yang dapat membawa ke pengadilan tidak saja pegawai yang menerima suap tetapi juga masyarakat yang memberikan suap tersebut.

Namun demikian, kelemahan-kelemahan tersebut akan dengan mudah diperbaiki oleh aparatur pemerintahannya. Kesadaran aparatur pemerintahan tentang peran dan fungsinya serta kesadaran untuk selalu mencari yang terbaik bagi sistem administrasi negaranya adalah merupakan salah satu faktor utama mengapa reorientasi, revitalisasi, atau reformasi birokrasi pemerintahan tampak demikian mudah dan cepatnya dilakukan oleh negara-negara maju. Misalnya, (a) penyempurnaan pelayanan umum di Inggris melalui program First Steps dan Next Steps masa Margareth Thatcher (sejak 1979) yang dilanjutkan dengan program Citizen’s Charter masa John Major dan Tony Blair; (b) pengenalan istilah dan isu good governance oleh pemerintahan Mitterand di Perancis; dan (c) gagasan reinventing government di Amerika untuk memperbaiki peran birokrasi pemerintahan pada tahun 1990-an. Beberapa negara maju lainnya juga melakukan berbagai penyempurnaan dalam sistem administrasi negaranya. Semua upaya tersebut dimaksudkan terutama untuk meningkatkan kinerja aparatur pemerintahannya agar lebih dapat memberikan kontribusi yang besar kepada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya secara umum, dan juga untuk memenangkan persaingan yang makin tajam dalam era globalisasi. Salah satu fenomena menarik dari birokrasi pemerintahan di negara-negara maju adalah keberadaannya yang tetap stabil dan tetap terorganisasikan dengan baik sehingga tetap mampu konsisten memberikan pelayanan kepada masyarakat walaupun sedang terjadi “perubahan atau konflik” politik yang tajam, misalnya kegiatan pemilu, dan turunnya atau pergantian Perdana Menteri (Ball, 1993). Dengan demikian, tampak kemandirian dan sifat profesionalisme dalam birokrasi pemerintah tersebut, dimana ia tetap konsisten melaksanakan perannya sebagai pelayan masyarakat, dan bukan pelayan atau perpanjangan kekuasaan dari partai yang berkuasa.

Berbeda dengan kondisi di negara-negara maju tersebut, di negara-negara berkembang pada umumnya birokrasi pemerintahannya cenderung sulit untuk berubah kearah yang lebih baik. Birokrasi pemerintahannya masih berada posisi yang kurang atau tidak stabil dan belum menemukan pola kerja yang baik. Perubahan pimpinan negara dan bahkan seorang kepala unit kerja dapat merubah sistem administrasi (negara) kearah yang lebih buruk, atau dengan kata lain ganti pimpinan ganti gaya administrasi mencerminkan posisi sistem administrasi negara di negara maju dan negara berkembang). Berbagai penyakit birokrasi (bureaupathology) termasuk korupsi cenderung sulit disembuhkan. Salah satu penyebabnya adalah karena birokrasi pemerintahan sering digunakan sebagai alat perpanjangan kekuasaan oleh para penguasa untuk mempertahankan kekuasaan secara tidak demokratis dan merugikan masyarakat umum. Akibatnya, peran aparatur pemerintah yang seharusnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, yang mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat umum, cepat atau lambat berubah menjadi pelayan partai atau kelompok yang berkuasa. Selanjutnya, birokrat cenderung berperan sebagai yang dilayani sedangkan masyarakat sebagai yang melayani (patron-client) dengan memberikan imbalan tertentu atas suatu jasa yang diberikan birokrat tersebut.

Kondisi tersebut tidak saja terjadi pada aparatur pemerintah tingkat pusat tetapi juga di daerah-daerah. Berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan sering mengindikasikan keadaan tersebut. Misalnya, kebijakan di bidang perdagangan dan industri serta proses tender proyek fisik disusun untuk menguntungkan kelompok tertentu baik yang ada dalam birokrasi pemerintahan maupun yang di luar tetapi punya kaitan erat dengan para pejabat birokrasi pemerintahan. Pendekatan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok atau partai yang berkuasa kepada birokrasi pemerintahan telah menularkan dan membentuk birokrasi pemerintahan untuk menggunakan pendekatan yang sama dalam berbagai kegiatannya baik di dalam kegiatan internal birokrasi dan terutama pada kegiatan yang melibatkan masyarakat. Demikian kuasanya birokrasi sehingga sikap aparatur pemerintah sering menjadi merasa paling tahu (yang lebih mengetahui diantara yang mengetahui), paling mampu/bisa, dan paling berkuasa. Ketiga sikap ini dapat dikatakan sudah menjadi “stempel atau nilai (values)“ para pegawai birokrasi pemerintahan, dan mencerminkan betapa pendekatan kekuasaan telah dipakai oleh birokrasi. Padahal pendekatan kekuasaan ini cenderung menghambat partisipasi masyarakat dan menghambat munculnya berbagai inisiatif dan alternatif pemecahan permasalahan pembangunan di berbagai sektor kehidupan. Selain itu, pendekatan kekuasaan membuat birokrasi pemerintah kebal terhadap kritikan dan aturan hukum. Sebagai contoh, di Indonesia cukup banyak keputusan peradilan tata usaha negara (PTUN) yang memenangkan tuntutan masyarakat, tetapi pada kenyataannya tidak diindahkan atau dilaksanakan oleh para pejabat birokrasi. Hal ini sesuai dengan anggapan bahwa kekuasaan yang berlebihan atau mutlak cenderung mengarah pada korupsi (absolute power tends to corrupt), tentunya bila kekuasaan tersebut tidak dikontrol atau dikendalikan.

Menurut Heady dan Wallis, sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan di negara-negara berkembang ditandai dengan beberapa kelemahan yang juga merupakan ciri utamanya (Kartasasmita, 1997). Kelemahan atau ciri-ciri tersebut nampaknya relevan dengan kondisi birokrasi pemerintahan kita selama ini.

Heady menyebutkan ada lima ciri:

Pertama, pola dasar (basic pattern) sistem administrasi negaranya merupakan tiruan atau jiplakan dari sistem administrasi kolonial yang dikembangkan negara penjajah khusus untuk negara yang dijajahnya. Biasanya, pola administrasi negara yang diterapkan negara penjajah di negara yang dijajah bersifat elitis, otoriter, cenderung terpisah (sebagai menara gading) dari masyarakat dan lingkungannya. Selain sifat-sifat di atas, dalam birokrasi kita juga dapat dijumpai nilai patron–client yang menempatkan aparatur sebagai pihak yang dilayani dan masyarakat sebagai pihak yang melayani.

Kedua, birokrasi pemerintahan kekurangan sumberdaya manusia yang berkualitas baik dari segi kepemimpinan, manajemen, kemampuan dan keterampilan teknis yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sebaliknya, kondisi yang sering dijumpai adalah banyaknya sumber daya manusia yang kurang berkualitas dengan pembagian tugas yang tidak jelas. Akibatnya, tidak saja terjadi inefsiensi dalam penggunaan sumberdaya manusia, tetapi juga terjadi penumpukkan pegawai dalam satu unit kerja atau instansi.

Ketiga, birokrasi cenderung mengutamakan atau berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok dari pada kepentingan masyarakat atau pencapaian sasaran yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Kelompok ini selain berada di lingkungan internal birokrasi juga yang berada di luar birokrasi dan diuntungkan oleh birokrasi.

Keempat, apa yang dinyatakan baik tertulis maupun lisan oleh birokrasi sering tidak sesuai dengan realitas. Misalnya dalam laporan resmi disebutkan kinerja instansi X dilaporkan secara resmi telah membaik, tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Contoh lain, peraturan tertentu dikeluarkan hanya untuk kebutuhan politis (membuat kesan bahwa pemerintah memperhatikan masalah tersebut), dan bukan untuk dilaksanakan dikarenakan kesulitan tertentu atau juga tidak/kurang adanya political will untuk melaksanakannya.

Kelima, birokrasi cenderung bersifat otonom dalam arti lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini erat kaitannya dengan ciri pertama di atas. Dalam hal ini, birokrasi seakan-akan menjadi menara gading yang tidak tersentuh. Ia bisa memutuskan apa saja tanpa merasa perlu memperhatikan dan mengajak pihak lain (stake holders) untuk merumuskannnya. Akibatnya, sikap peka, responsif dan proaktif terhadap permasalahan pembangunan yang seharusnya dimiliki aparatur pemerintahan menjadi tumpul, dan digantikan dengan sikap mengutamakan diri sendiri atau kelompoknya (selfish), reaktif, dan lamban. Pemanfaatan birokrasi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan partai yang berkuasa cenderung membentuk sikap merasa berkuasa dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat di kalangan birokrat. Salah satu akibatnya, masyarakat umum sering menjadi korban dari “kebijaksanaan” aparatur pemerintah. Kondisi ini cepat atau lambat menimbulkan rasa tidak puas dan bahkan tidak mustahil berkembang menjadi “dendam” dalam diri masyarakat yang suatu saat bisa saja meledak. Maraknya tuntutan mundur, yang seringkali diwarnai kekerasan, terhadap para pejabat pemerintah baik di tingkat pusat, daerah, dan bahkan desa (Kepala Desa) dapat dijadikan contoh fenomena di atas.

Dua ciri lainnya ditambahkan oleh Wallis.
Pertama, administrasi di banyak negara berkembang sangat lamban dan menjadi semakin birokratik. Kondisi ini erat kaitannya dengan kesejahteraan (gaji) mereka yang relatif kecil, sehingga mempengaruhi semangat pegawainya untuk bekerja secara baik. Bahkan, juga tanpa sadar mendorong mereka untuk menciptakan tambahan kesejahteraan antara lain melalui pelaksanaan kewenangan/tugasnya sebagai pegawai. Sebagai contoh, “menambah-nambah” persyaratan dan prosedur pelayanan dengan harapan mendapat atau meminta “imbalan” dari orang yang dilayaninya. Pola pelayanan dengan “imbalan” ini tidak hanya terjadi pada bidang pelayanan umum kepada masyarakat umum, tetapi juga pelayanan bagi atau antarsesama aparatur pemerintah, misalnya “imbalan” bagi pengurusan administrasi kenaikan pangkat pegawai instansi vertikal, dan sebagainya, atau urusan lainnya antarinstansi.

Kedua, aspek-aspek yang non-birokratik (administratif) sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya, hubungan keluarga, hubungan primordial (suku, agama, keturunan, dan sebagainya), golongan atau keterkaitan politik. Keadaan seperti ini cenderung mempersulit birokrasi pemerintahan untuk bertindak dan bekerja secara objektif dan rasional, serta menurut aturan hukum yang berlaku. Bahkan orientasi birokrasi yang seharusnya untuk kepentingan negara dan masyarakat, dapat diganti menjadi untuk kepentingan kelompoknya. Kegiatan-kegiatan yang mudah dijumpai dalam kaitannya dengan aspek-aspek di atas, antara lain dalam rekrutmen dan promosi pegawai dan kegiatan tender proyek. Birokrasi pemerintahan kita juga mengalami hal ini, baik pada masa sebelum tahun 1970an dimana kepentingan berbagai partai politik telah mengkotakkotakkan orientasi kerja para pejabat birokrasi. Sebaliknya, setelah tahun 1970an juga terlihat dominasi satu kelompok politik tertentu dalam birokrasi yang pada akhirnya membawa birokrasi tidak dapat melaksanakan perannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat serta menimbulkan krisis kepercayaan kepada aparatur pemerintahan. Kebiasan membawa “teman” pejabat yang pindah dari satu instansi ke instansi lain secara tidak rasional dengan tujuan “mengamankan” kerja pejabat yang bersangkutan juga cermin dari ciri di atas (mungkin ini lebih tepat dianggap sebagai kronisme yang tidak pada tempatnya). Contoh lain adalah kondisi birokrasi pemerintahan di sebagian besar negaranegara Afrika Sub Sahara yang banyak diwarnai dengan pertentangan kepentingan kelompok suku (ethnic groups).

Baca Tulisan Lain

Ekonomi Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi>>> Baca

Paradigma Pembangunan Berdimensi Manusia >>> Baca

Demokrasi dan Birokrasi Pemerintahan >>> Baca

Pengenalan Manajemen Setrategi>>> Baca

Lingkungan Sosial Budaya >>> Baca

Pengembangan Organisasi >>> Baca

Convention Againt Torture And other Cruel, In Human or Degrading Treatment or Punishment

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
Atas Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi,
atau Merendahkan Martabat Manusia

Penganiayaan berarti perbuatan apa pun yang dengannya sakit berat atau penderitaan, apakah fisik ataupun mental, dengan sengaja dibebankan pada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti memperoleh darinya atau orang ketiga informasi atau suatu pengakuan, menghukum dia karena suatu perbuatan yang dia atau orang ketiga telah melakukannya atau disangka telah melakukannya, atau mengintimidasi atau memaksa dia atau orang ketiga, atau karena alasan apa pun yang didasarkan pada diskriminasi macam apa pun, apabila sakit atau penderitaan tersebut dibebankan oleh atau atas anjuran atau dengan persetujuan atau persetujuan diam-diam seorang petugas pemerintah atau orang lain yang bertindak dalam suatu kedudukan resmi. Istilah tersebut tidak mencakup sakit atau penderitaan, yang timbul hanya dari hal-hal yang melekat atau insidental pada sanksi-sanksi yang sah.

Setiap Negara Peserta akan mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, pengadilan atau lainnya untuk mencegah perbuatan-perbuatan penganiayaan di dalam setiap wilayah yang berada di bawah yurisdiksinya.

Tidak ada keadaan-keadaan pengecualian apa pun, apakah suatu keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan politik internal atau keadaan darurat umum lain apa pun, dapat dijadikan sandaran sebagai pembenaran tindakan penganiayaan.

Sebuah perintah dari pejabat yang lebih tinggi atau wewenang umum tidak dapat dijadikan sandaran sebagai pembenaran tindakan penganiayaan.

Tidak satu pun Negara Peserta dapat mengeluarkan (“mengusir”) atau mengekstradisi seseorang ke Negara lainnya apabila ada alasan-alasan yang kuat untuk meyakini bahwa dia akan berada dalam keadaan bahaya karena dijadikan sasaran penganiayaan.

Untuk tujuan menentukan apakah ada alasan-alasan semacam itu, maka para penguasa yang berwenang harus memperhitungkan semua pertimbangan yang relevan termasuk, apabila berlaku, keberadaan di Negara yang bersangkutan suatu pola tetap pelanggaran hak-hak asasi manusia yang besar, mencolok atau massal.

Setiap Negara Peserta akan menjamin bahwa semua perbuatan penganiayaan adalah merupakan pelanggaran menurut hukum pidananya. Hal yang sama berlaku pada usaha untuk melakukan penganiayaan dan pada suatu perbuatan oleh orang apa pun yang merupakan keterlibatan atau keikutsertaan dalam penganiayaan.

Tulisan Lain

PERENCANAAN PROGRAM KOMUNIKASI >>>>>>> Baca

HAKEKAT IPS SEBAGAI PROGRAM STUDI >>> Baca

KONSEP DASAR ILMU SOSIAL >>>>>>>>>> Baca

LIBERTARIANISM, SISTEM KOMUNIS >>> Baca

KARL MARX Dan EMILE DURKHEIM>>> Lihat