Upaya Meningkatkan Mutu Pembelajaran Sastra pada Jenjang Pendidikan Dasar
Oleh: Nenden Lilis A.
Mengapa generasi muda bangsa ini begitu gemar tawuran? Mengapa banyak dari warga negeri ini begitu mudah menumpahkan darah dan melakukan kekerasan terhadap
sesamanya? Dalam kehidupan kita, peristiwa-peristiwa semacam itu menjadi konsumsi sehari-hari, baik dari berita-berita di media massa, maupun yang kita saksikan langsung.
Bahkan, media televisi telah menjadikan tayangan-tayangan berupa berita-berita kriminal, kekerasan, dan kejahatan ini sebagai komoditas yang merupakan bagian bisnis perindustrian mereka. Dengan pengemasan sedemikian rupa, lengkap dengan iklan-iklan yang menjadi sponsornya, tayangan-tayangan itu tak lagi kita rasakan sebagai persoalan moral yang mencemaskan. Malah sebaliknya, sebagai hiburan di sela-sela aktivitas dan
rutinitas hidup sehari-hari.
Itu hanya sebagian cermin dari tumpukan cermin-cermin retak yang memantulkan permasalahan bangsa kita tentang keringnya rasa kemanusiaan di dalam diri masyarakat kita. Lalu, apakah penyebabnya? Banyak pihak mensinyalir bahwa pendidikan
merupakan salah satu faktor yang ikut menyumbang pada munculnya sikap-sikap berupa kurangnya kepekaan humanisme tersebut. Berpuluh-puluh tahun dari mulai berdirinya bangsa ini, pendidikan kita yang mengedepankan sains dan teknologi, cenderung mengabaikan dan menggeser aspek-aspek humaniora. Bidang-bidang seperti budaya dan seni (termasuk di dalamnya sastra) merupakan bidang-bidang yang cenderung dianak
tirikan. Padahal, melalui bidang-bidang inilah kepribadian dan kemanusiaan kita: kepekaan sosial, religi, kehalusan rasa, pembangunan nilai, moral, budi pekerti, dan sejenisnya, terolah dan terasah.
***
Ceritanya akan lain jika sejak awal pendidikan tidak mengabaikan bidang-bidang humaniora, terkhusus lagi sastra. Bukti pengabaian ini misalnya bisa dilihat dari sedikitnya porsi pembelajaran sastra sejak jenjang Sekolah Dasar (SD). Sastra, seperti pada jenjang-jenjang pendidikan di atasnya, merupakan bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Akan tetapi, kenyataan di lapangan memperlihatkan mata pelajaran ini lebih didominasi oleh pelajaran tata bahasa. Penelitian A. Chaedar Alwasilah, misalnya,
membuktikan bahwa di sekolah-sekolah, sastra hanya diajarkan sebanyak 23,6% saja.
Dan, dalam pembelajaran yang hanya 23,6% tersebut, pembelajaran lebih ditekankanpada aspek pengetahuan (kognitif), bukan afektif.
Titik berat pembelajaran sastra pada aspek pengetahuan (hafalan) tersebut sudah dikeluhkan banyak pihak sejak tahun 1955-an. Dari mulai H.B Jassin dan Wildan Yatim (Prisma, 1979), Ajip Rosidi (1970), hingga para pengamat dan ahli sastra, serta para pengajar sastra hari ini. Dan, kondisinya belum banyak berubah meski kurikulum telah berkali-kali berganti dengan perumusan tujuan pembelajaran sastra yang lebih ideal.
Sastra pada dasarnya adalah ungkapan sastrawan hasil pengalaman dan penghayatannya terhadap kehidupan. Oleh karena itu, dalam sastra terkandung pandangan, penilaian, dan penafsiran sastrawan tentang kehidupan. Kehidupan itu sendiri
sangat luas, meliputi persoalan-persoalan kemanusiaan, baik yang sifatnya individual, maupun persoalan sosial, politik, dan budaya yang lebih luas dengan berbagai dimensi dan berbagai nilainya.Sastra, meminjam ungkapan Mathew Arnold, adalah criticsm of life, senantiasa kritis terhadap persoalan-persoalan kehidupan dan selalu berupaya memancarkan pandangan-pandangan untuk memperbaikinya. Dengan demikian, sastra
pada dasarnya membantu pembacanya untuk lebih memahami kehidupan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Tentu saja, pemahaman kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan melalui sastra tidak sama dengan pemahaman melalui sejarah, sosiologi, dan agama, sebab sastra disampaikan melalui unsur-unsur estetika.
Dengan karakteristik sastra tersebut, sudah sepatutnya pembelajaran sastra diarahkan untuk mereguk manfaat-manfaat sastra, yakni untuk lebih memahami dan memperkaya wawasan kehidupan, mempertajam watak dan kepribadian, memperhalus
budi pekerti, cipta, rasa, karsa, kepekaan sosial, budaya, religi, dan kepekaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Ini semua akan tumbuh jika pembelajaran sastra diarahkan pada apresiasi sastra dengan lebih banyak menyentuh segi afeksi. Dalam hal ini, siswa diajak untuk menikmati, memahami, dan menghayati karya sastra. Dengan kata lain, siswa diajak mengalami langsung proses apresiasi sastra.
Untuk lebih mengkonkretkan hal di atas, saya beri ilustrasi bagaimana apresiasi sastra dapat membentuk watak, sikap, kepribadian, dan mempertajam rasa dan nilai-nilai kemanusiaan siswa. Melalui cerita, misalnya, apakah cerita yang langsung dibaca oleh siswa, maupun dibacakan guru/orang tua, siswa secara tidak langsung menyerap nilai-nilai.
Siswa bertemu dengan tokoh-tokoh cerita dengan berbagi watak, peristiwa, dan konflik yang dihadapinya. Pertemuan ini, meminjam istilah Sugihastuti, menimbulkan kontak dan reaksi kejiwaan dalam diri siswa. Reaksi kejiwaan ini misalnya perasaan turut merasakan penderitaan orang lain, penilaian akan watak tokoh yang pantas dan tidak pantas diteladani, pemahaman yang lebih tajam dan dalam tentang berbagai sifat manusia, dan lain-lain. Hal-hal seperti ini pada tahap selanjutnya dapat memperdalam
pemahaman siswa tentang manusia sehingga dalam kehidupan sehari-harinya, siswa akan lebih tepo saliro, menghargai sesama, mengasihi sesama, jembar dalam berpandangan dan bersikap. Pendek kata, budi pekerti siswa akan terbentuk dan terasah lewat bacaanbacaan berupa karya sastra tersebut.
Pembentukan watak dan sikap seperti ini tentu saja harus dimulai sejak dini; sejak masa kanak-kanak. Dalam tahapan jenjang pendidikan, hal ini dapat dimulai sejak Sekolah Dasar sebab masa tersebut merupakan masa yang penting dan menentukan
perjalanan hidup seseorang. Kehidupan masa kanak-kanak biasanya berpengaruh kuat pada perkembangan saat dewasa. Perilaku yang tertanam di masa kanak-kanak, akan menentukan perilakunya di masa dewasa. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan Erikson bahwa masa kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia, tempat kebaikan dan sifat buruk tertentu dengan lambat namun jelas, berkembang dan mewujudkan dirinya. Oleh karena itu, penanaman nilai dan pembentukan sikap/tingkah laku ini harus dilakukan sejak masa anak-anak, antara lain melalui pembelajaran sastra seperti digambarkan di atas.
Sejarah membuktikan, individu-individu yang sejak kecil akrab dengan sastra, memiliki rasa humanisme yang lebih besar di masa dewasanya. Apakah ia menjadi dokter, politisi, negarawan, atau tokoh revolusi sekalipun, watak dan kepekaan humanisme yang terolah sejak kecil melalui bacaan-bacaan sastranya, akan mewarnai sikap, pandangan, prilaku, keputusan dan kebijakannya di masa kemudian. Seperti banyak diketahui, Che Guevara, tokoh revolusi sosial Kuba, telah menjadi pahlawan legendaris terbesar abad dua puluh di hati banyak orang. Dengan kedalaman rasa
kemanusiaannya, ia mendedikasikan hidupnya secara teguh untuk pemajuan revolusi melawan penindasan. Dan, yang penting dicatat, ia penyuka puisi sepanjang hidupnya.
Pemuja penyair Pablo Neruda ini telah terbiasa membaca puisi sejak kecil. Begitu pula Vaclav Havel, presiden pertama Ceko-Slovakia, yang menduduki jabatan tersebut bukan karena ambisinya, melainkan karena terangkat oleh sejarah. Ia telah menjadi nahkoda dalam suatu peralihan revolusioner yang gawat. Seperti pernah dicatat budayawan Y.B. Mangunwijaya, negarawan ini berhasil memimpin negara dan nasionnya melewati
rintangan–rintangan berat berkat kepercayaannya kepada segala yang bermoral dan yang benar dalam diri manusia. Modal utama sang nahkoda di tengah badai peralihan zaman itu bukan kekuasaan dan senjata, tapi kemanusiaan. Warna kemanusiaan yang melekat kuat ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh latar belakangnya sebagai budayawan, seniman: sastrawan.
Tentunya masih banyak contoh lainnya yang menjadi bukti tentang betapa berartinya pendidikan sastra sejak usia dini. Pentingnya menumbuhkan apresiasi sastra sejak usia SD ini juga akan menumbuhkan pembaca (konsumen) sastra di kemudian hari.
Jika kita lihat di negara-negara maju, buku-buku sastra bukan monopoli orang-orang yang berkecimpung dalam bidang sastra saja, tapi semua lapisan masyarakat. Tak mengherankan jika di negara-negara tersebut para penulis sastra bisa hidup makmur dari
profesinya sebagi penulis.
***
Gambaran di atas kiranya cukup menegaskan perlunya pengoptimalan pembelajaran sastra pada tingkat Sekolah Dasar. Demikian memang harapan yang diidealkan meskipun kita menyadari pelaksanaannya tidak seideal yang diinginkan.
Sejumlah kekurangan dan kendala yang muncul di lapangan memang bukan hal yang bisa dianggap sepele.
Selama ini, tatkala kita berbicara tentang kegagalan pembelajaran sastra pada umumnya, gurulah yang dijadikan lahan empuk sebagai pihak yang dipersalahkan.
Sementara, para guru sendiri mengeluhkan berbagai permasalahan yang mereka hadapi tatkala melaksanakan pembelajaran sastra yang menjadikan mereka tak dapat melaksanakan pembelajaran sastra seperti yang dicita-citakan. Keluhan para guru tersebut, seperti yang sering terlontar dalam berbagai seminar tentang pembelajaran sastra antara lain:
1) kebijakan pemerintah yang selalu berubah-ubah lewat pergantian kurikulum;
2) sistem ujian nasional yang berjenis soal objektif, memaksa guru mengambil jalan pintas melakukan pembelajaran dengan membahas soal-soal demi kelulusan siswanya;
3) adanya pembatasan lewat Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang membuat para guru lebih terfokus untuk mengajar SKL ini; dan
4) sarana dan prasarana yang tidak menunjang.
Dengan adanya keluhan-keluhan ini, persoalan pembelajaran sastra hendaknya tidak hanya menjadi beban para guru, tetapi harus dipecahkan dan mendapat bantuan serta perhatian dari berbagai pihak.
Mengenai perubahan kurikulum, perubahan kurikulum walau bagaimanapun adalah sebuah keniscayaan. Perkembangan zaman dan IPTEK, mau tidak mau menuntut perubahan tersebut. Kurikulum harus mampu menjawab tantangan dari perkembangan
yang terjadi.
Namun, kebijakan pemerintah dalam melakukan pergantian kurikulum hendaknya benar-benar didasarkan pada esensi bahwa perubahan itu betul-betul dibutuhkan, bukan sekedar kebijakan ganti menteri ganti kurikulum. Jika dasarnya seperti ini, yang akan
terjadi, perubahan itu akhirnya berputar-putar pada format. Munculnya istilah-istilah plesetan di kalangan guru-guru, seperti kurikulum baheula keneh (kurikulum masih seperti dulu) untuk Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mencerminkan hal itu.
Belum lagi uji coba dan sosialisasi setengah-setengah yang membuat konsep kurikulum tersebut tidak matang. Contoh pelaksanaan KBK (2004) yang kemudian sekarang diubah
lagi menjadi KTSP (2006) adalah bukti dari ketidakmatangan ini. Ujung-ujungnya para gurulah yang dibuat kebingungan.
Begitu pula dengan jenis soal ujian nasional yang tidak mempertimbangkan karakteristik mata pelajaran, dalam hal ini Bahasa dan Sastra Indonesia. Bagaimana keterampilan berbahasa dan apresiasi sastra bisa tumbuh jika ujian akhirnya kembali lagi
pada hafalan. Dampaknya, dalam pelaksanaan pembelajaran, guru tidak akan mengajarkan keterampilan berbahasa dan apresiasi, tapi akan mencekoki siswa dengan hafalan-hafalan seperti yang diujikan dalam soal-soal UN. Ini artinya, segala yang diidealkan dari pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia itu hanya bulshit, nonsens belaka.
Kebijakan yang menyangkut Standar Kompetensi Lulusan (SKL) juga hendaknya ditinjau ulang. Kasus mutakhir tentang ditemukannya kepala sekolah yang mencuri kunci jawaban Ujian Nasional (mata pelajaran Bahasa Indonesia lagi!) atau kasus di sejumlah daerah tentang guru-guru yang memberi tahu jawaban ujian kepada siswa, adalah dampak dari kebijakan penetapan SKL yang terlalu menyederhanakan persoalan dan menyamaratakan kondisi berbagai daerah. Ujian Nasional menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Kebijakan ini, pada akhirnya hanya menghargai siswa dari hasil akhir.
Adapun penilaian terhadap proses diabaikan sama sekali. Dengan demikian, kurikulum yang dalam perumusan tentang komponen dan sistem penilaian pembelajaran cukup ideal, mati kutu di hadapan sistem Ujian Nasional dan Standar Kompetensi Lulusan ini.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang pada tahun ajaran 2006/2007 ini diberlakukan, diharapkan memberi pencerahan dalam persoalan di atas. KTSP menganut prinsip antara lain sejalan dengan konsep desentralisasi pendidikan dan
manajemen berbasis sekolah (school-based, management), juga menganut asas beragam dan terpadu. Dalam kebijakan ini, sekolah diberi otonomi dalam penyusunan kurikulum dan engembangannya. Akan tetapi, di ujungnya tetap diberlakukan ujian nasional.
Dengan semangat desentralisasi dan keberagaman seperti diuraikan di atas, kriteria kelulusan hendaknya ditentukan oleh sekolah masing-masing dengan menggabungkan hasil UN dengan ujian sekolah masing-masing. Dengan cara ini, penetapan kriteria
kelulusan menjadi lebih bijak.
***
Selain pada persoalan di atas, munculnya pencerahan dari pemberlakuan KTSP juga diharapkan dapat terjadi dalam penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran.
Tanpa sarana dan prasarana yang menunjang dan memadai, konsep dan cita-cita KTSP akan sulit terwujud. Sarana dan prasarana ini memang tidak mengharuskan penyediaan
buku teks baru. Dan buku teks hendaknya tidak dijadikan sumber utama dalam pembelajaran. Oleh karena itu, berbagai potensi yang ada bisa diberdayakan untuk memenuhinya.
Selama ini, sumber-sumber pembelajaran sastra di tingkat Sekolah Dasar sangat minim. Umumnya, guru pun lebih berpegang pada buku teks. Padahal selain buku teks, banyak sumber-sumber lain yang perlu dipergunakan untuk melaksanakan pembelajaran
sastra yang optimal. Hendaknya, sekolah dan guru-guru diberi akses yang mudah untuk mendapatkan sumber-sumber ini.
Sarana dan sumber belajar yang dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra pada tingkat Sekolah Dasar, pertama-tama tentulah sastra anak, yakni karya tulis yang dibuat untuk menarik perhatian dan minat anak-anak pada dunia sastra. Karya sastra anak ini akan mudah dipahami dan digemari anak-anak karena isinya sesuai dengan dunia, tingkat psikologi, dan tingkat keterbacaan mereka. Jenisnya bermacam-macam: puisi lirik dan
epik, cerita pendek, novel, drama anak, dan bahkan sastra non-imajinatif seperti buku harian.
Sudah banyak karya sastra anak yang kita kenal karena merupakan canon sastra anak, seperti: cerita Kancil dan Buaya, Monyet jeung Kuya (Kera dan Kura-Kura), Bawang merah dan Bawang Putih, Cinderella, Puteri Tidur, Puteri Salju, dan lain-lain.
Di samping itu, meskipun tidak sebanyak sastra orang dewasa, banyak sastra anak, baik sudah diterbitkan dalam bentuk buku, maupun terpublikasi di media massa, yang ditulis para penulis kita, seperti Abdul Hadi W.M, Toha Muhtar, Mansur Samin, Titie Said,
Heroe Soekato, Adang Halim, Triwahyono, Nimas Heming, Dorothea Rosa Herliany, Arswendo Atmowiloto, Senny Alwasilah, Tetet Cahyati, dan lain-lain. Buku-buku terjemahan sastra anak pun, seperti karangan Enid Blyton, H.C. Anderson, atau bahkan
Oscar Wilde, sudah bisa didapatkan. Bahkan, sumber-sumber dari rubrik anak-anak di media massa seperti Republika, Pikiran Rakyat, Kompas, hadir setiap minggunya.
Khasanah yang kaya ini belum banyak dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra di sekolah-sekolah dasar kita, padahal sangat bermanfaat dalam merangsang dan memperkaya daya imajinasi anak, dan dalam menumbuhkan wawasan dan kepekaan emosional, sosial, intelektual, dan rasa humanisme. Kehadiran sastra anak ini perlu mendapat perhatian yang lebih serius lagi dari pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dengan penyediaan sarana pembelajaran.
Sumber lain yang juga tak kalah penting dalam pembelajaran sastra di SD adalah foklor. Sejumlah legenda, hikayat, mitos, fabel yang merupakan cerita rakyat ini begitu banyak bertebaran di berbagai daerah, yang oleh anak-anak generasi sekarang belum
tentu diketahui. Terkikisnya kebiasaan mendongeng dan merajalelanya media televisi tampaknya menjadi penyebabnya. Bahkan, di televisi, cerita-cerita rakyat tersebut seperti tampak dalam sinetron-sinetron (sinetron Malinkundang, sinetron tentang berbagai hikayat), sudah mengalami distorsi, termasuk distorsi terhadap nilai-nilai moral yang diusung cerita yang sebenarnya. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan prinsip desentralisasi dan manajemen berbasis sekolah sangat memungkinkan penyediaan sarana dan prasarana yang bersumber dari potensi lokal ini.
Selain mengenal dan menyerap nilai dari ragam sastra di atas, siswa SD pun hendaknya diperkenalkan dengan khasanah kesusastraan umum agar khasanah ini melekat di hati mereka sejak dini. Akan tetapi, bagaimanakah caranya? Apakah bukubuku
sastra tersebut tidak terlalu berat? Apa yang pernah diusulkan Ajip Rosidi untuk menyusun karya-karya berupa Edisi Mudah Sastra kiranya bisa menjadi solusi.
Edisi Mudah Sastra adalah bacaan yang dibuat berdasarkan karya sastra umum dengan pentransferan ke dalam bahasa yang lebih mudah dicerna anak-anak. Perlu dicatat, edisi mudah ini bukanlah ikhtisar, apalagi sinopsis, tapi merupakan penyederhanaan kadar bahasa dan pikiran yang termaktub di dalamnya yang bisa dicerna
pola pikir anak-anak, termasuk pemenggalan dan penyensoran terhadap bagian-bagian yang kurang sesuai dengan perkembangan psikologi anak. Karya sastra canon Indonesia,
seperti Siti Nurbaya, Para Priyayi, Tetralogi Bumi Manusia, dan banyak lagi, dengan demikian dapat diapresiasi anak-anak sejak dini. Dengan apresiasi ini, anak akan lebih tahu dan mengenal identitas, sejarah, dan budaya bangsanya sejak dini. Seperti kita
ketahui, di Rusia misalnya, anak-anak mengenal identitas bangsanya bukan dari penataran atau doktrin-doktrin, tapi dari karya sastra, salah satunya dari karya sastrawan besar mereka, Leo Tolstoy lewat buku Perang dan Damai, yang diwajibkan dibaca siswa pada tingkat pendidikan dasar.
Di Perancis, seperti dicatat Beni R.Budiman, terdapat buku Francais Facille, buku khusus anak-anak yang merupakan turunan dari karya-karya orang dewasa. Pada buku tersebut tercantum berapa jumlah kata yang digunakan dan untuk usia berapa buku-buku itu diperuntukkan. Buku tersebut mempunyai banyak tema dan cerita, mulai dari masalah politik, budaya, hingga pembangunan. Tak mengherankan jika di negeri tersebut,
banyak kelompok anak yang sudah memahami karya-karya dari khasanah kesusastraan mereka, seperti Balzac, Molliere, dan lain-lain.
Edisi mudah Sastra yang dibaca anak-anak sejak dini adalah upaya menumbuhkan bangsa yang apresiatif terhadap sastra di kemudian hari. Alangkah bijaknya apabila seiring pemberlakuan KTSP, upaya-upaya penyediaan sarana-prasarana tersebut
dilakukan.
Hal lain terkait dengan penyediaan sarana-prasarana ini, penyediaan tersebut hendaknya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan para pelaksana kurikulum. Hal ini membutuhkan pula peran dari para stakeholder pendidikan dan pihak-pihak lainnya, antara lain para ahli bahasa. Dalam mengatasi masalah pembelajaran sastra yang cenderung tergeser oleh tata bahasa (dikarenakan guru-gurunya kurang akrab dengan sastra), dan untuk mentradisikan sastra, alangkah bagus dan bijak jika dalam buku-buku kebahasaan yang mereka tulis, para pakar bahasa ini memasukkan serpihan-serpihan karya sastra, misalnya dalam contoh wacana atau kalimat (dengan tentu saja menyebutkan karya sastra yang dikutip dan pengarangnya). Hal ini bisa menginspirasi para guru untuk mengakrabkan sastra kepada siswa.
Begitulah, jika pembelajaran sastra ingin optimal dan mencapai harapan yang diidam-idamkan, perlu dilakukan secara bahu membahu antar berbagai pihak. Itu pula yang diharapkan untuk kemajuan pembelajaran sastra di Sekolah Dasar. Semoga.***