Integrated Language Teaching; Theme Based Teaching

Integrated Language Teaching; Theme Based Teaching

I. Introduction
In day-to-day interaction people commonly use more than one modes or language skills. This nature of communication, for instance, takes place when the speaker talks to the listener, she/he should talk and listen to the listener’s response almost at the same time and on the other way round the listener must listen and respond to the speaker. In this example, we notice that in language communication two or more language skills are integrated. This is the natural process of human communication. In today language teaching, skills integration has become the ultimate goal of the instruction. This trend influences the Teaching English as a Foreign Language (TEFL) in our context. The question that should be raised here : What models of language teaching focusing on integration? What principles underlying the models? How should we design integrated language teaching? These three questions will be discussed in this paper.

II. Models of Integrated Language Teaching
There are at least two models of integrated language teaching, namely: Content- based Teaching and Theme-based Teaching. In the first model, language is simply serve as the medium to present informational content of interest and relevance to language learners. The examples of content based-teaching are : Immersion program for elementary school children. This program commonly applied in English Teaching as a Second Language (ESL program). English for Specific Purposes which is designed for university students.
The second model, theme-based or topic-based teaching which is regarded as the weak version of content-based teaching is organized around themes or topics. This model to a certain extent has already been applied in our 1994 English curriculum. The model will be addressed in this paper.

III. Principles of theme Based Teaching
Brown (1994:222) indicates that four major principles underlying theme-based teaching covering:
1. The automaticity principle that include the following points:
– subconscious process of language learning through meaningful use
– the emphasis is on the purposes of language use
– analyzing language structures is avoided.

2. Meaningful principle which implies that what students will learn should be related to what they know and experience. This requires the English teaching and learning processes capture students’ interests and needs.
3. Intrinsic motivation principle indicates that the practice of English teaching and learning should be intrinsically motivating for the students. The principle implies that teaching should at least meet the following:
– create and maintain student’s curiosity;
– provide a variety of activities and sensory stimulation;
– relate learning to students’ needs; and
– set goals for learning.

4. Communicative principle means that the English teaching should help students acquire and develop communicative competence. In practice, the competence is realized in the students’ ability to use the four language skills in their communication.

IV. The Desaign of Theme Based Teaching
The following are suggested for designing integrated language teaching using theme or topic-based teaching.
1. Set the objectives. Here, we consider students’ interests and needs. We have to make sure that students know the objectives. This will be intrinsically motivated for them.

2. Select and organize the materials based on the objectives. We have to negotiate with students in selecting topics by considering their interests and their prior knowledge related to the topics selected.

3. Use authentic materials, such as, brochure, leaflet, timetables or other texts from the existing situation including realia or real objects.

4. Present the materials using appropriate strategy. The suggested strategy in the existing English curriculum includes the following:
– Three-Stage Strategy like Pre-activity, While-activity and Post-activity.
– K-W-L strategy (Ogle, 1986) designed particularly for expository reading.
– K stands for What students Know
– W stands for What students Want to know
– L stands for What students Learned.

REFERENCES
1. Brown, Douglas H.(2001). Teaching by Principles; An Interactive Approach to Language Pedagogy. New York: Longman.

2. Nunan, David.(1990). Designing Tasks for Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.

3. Sundayana, Wachyu.(1997). Pengajaran Bahasa Berdasarkan Tema. Bandung: IBP Press.

You can download here The Sample of Instructional Planning for Integrated Language Teaching

Tulisan yang Lain Silakan Klik

Ruang Lingkup Ekonomi dan implementasinya;>>>> Baca

Perbedaan Inovasi dan Modernisasi;>>>> Baca

Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik;>>>> Baca

Sejarah Matematika dan Perkembangannya;>>>> Baca

Hakikat Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik bag 2;>>>> Baca

Hakikat Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik BAG 1 ;>>>>>>>>> Baca

Upaya Meningkatkan Mutu Pembelajaran Sastra pada Jenjang Pendidikan Dasar

Upaya Meningkatkan Mutu Pembelajaran Sastra pada Jenjang Pendidikan Dasar
Oleh: Nenden Lilis A.

Mengapa generasi muda bangsa ini begitu gemar tawuran? Mengapa banyak dari warga negeri ini begitu mudah menumpahkan darah dan melakukan kekerasan terhadap
sesamanya? Dalam kehidupan kita, peristiwa-peristiwa semacam itu menjadi konsumsi sehari-hari, baik dari berita-berita di media massa, maupun yang kita saksikan langsung.

Bahkan, media televisi telah menjadikan tayangan-tayangan berupa berita-berita kriminal, kekerasan, dan kejahatan ini sebagai komoditas yang merupakan bagian bisnis perindustrian mereka. Dengan pengemasan sedemikian rupa, lengkap dengan iklan-iklan yang menjadi sponsornya, tayangan-tayangan itu tak lagi kita rasakan sebagai persoalan moral yang mencemaskan. Malah sebaliknya, sebagai hiburan di sela-sela aktivitas dan
rutinitas hidup sehari-hari.

Itu hanya sebagian cermin dari tumpukan cermin-cermin retak yang memantulkan permasalahan bangsa kita tentang keringnya rasa kemanusiaan di dalam diri masyarakat kita. Lalu, apakah penyebabnya? Banyak pihak mensinyalir bahwa pendidikan
merupakan salah satu faktor yang ikut menyumbang pada munculnya sikap-sikap berupa kurangnya kepekaan humanisme tersebut. Berpuluh-puluh tahun dari mulai berdirinya bangsa ini, pendidikan kita yang mengedepankan sains dan teknologi, cenderung mengabaikan dan menggeser aspek-aspek humaniora. Bidang-bidang seperti budaya dan seni (termasuk di dalamnya sastra) merupakan bidang-bidang yang cenderung dianak
tirikan. Padahal, melalui bidang-bidang inilah kepribadian dan kemanusiaan kita: kepekaan sosial, religi, kehalusan rasa, pembangunan nilai, moral, budi pekerti, dan sejenisnya, terolah dan terasah.
***
Ceritanya akan lain jika sejak awal pendidikan tidak mengabaikan bidang-bidang humaniora, terkhusus lagi sastra. Bukti pengabaian ini misalnya bisa dilihat dari sedikitnya porsi pembelajaran sastra sejak jenjang Sekolah Dasar (SD). Sastra, seperti pada jenjang-jenjang pendidikan di atasnya, merupakan bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Akan tetapi, kenyataan di lapangan memperlihatkan mata pelajaran ini lebih didominasi oleh pelajaran tata bahasa. Penelitian A. Chaedar Alwasilah, misalnya,
membuktikan bahwa di sekolah-sekolah, sastra hanya diajarkan sebanyak 23,6% saja.
Dan, dalam pembelajaran yang hanya 23,6% tersebut, pembelajaran lebih ditekankanpada aspek pengetahuan (kognitif), bukan afektif.

Titik berat pembelajaran sastra pada aspek pengetahuan (hafalan) tersebut sudah dikeluhkan banyak pihak sejak tahun 1955-an. Dari mulai H.B Jassin dan Wildan Yatim (Prisma, 1979), Ajip Rosidi (1970), hingga para pengamat dan ahli sastra, serta para pengajar sastra hari ini. Dan, kondisinya belum banyak berubah meski kurikulum telah berkali-kali berganti dengan perumusan tujuan pembelajaran sastra yang lebih ideal.

Sastra pada dasarnya adalah ungkapan sastrawan hasil pengalaman dan penghayatannya terhadap kehidupan. Oleh karena itu, dalam sastra terkandung pandangan, penilaian, dan penafsiran sastrawan tentang kehidupan. Kehidupan itu sendiri
sangat luas, meliputi persoalan-persoalan kemanusiaan, baik yang sifatnya individual, maupun persoalan sosial, politik, dan budaya yang lebih luas dengan berbagai dimensi dan berbagai nilainya.Sastra, meminjam ungkapan Mathew Arnold, adalah criticsm of life, senantiasa kritis terhadap persoalan-persoalan kehidupan dan selalu berupaya memancarkan pandangan-pandangan untuk memperbaikinya. Dengan demikian, sastra
pada dasarnya membantu pembacanya untuk lebih memahami kehidupan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Tentu saja, pemahaman kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan melalui sastra tidak sama dengan pemahaman melalui sejarah, sosiologi, dan agama, sebab sastra disampaikan melalui unsur-unsur estetika.

Dengan karakteristik sastra tersebut, sudah sepatutnya pembelajaran sastra diarahkan untuk mereguk manfaat-manfaat sastra, yakni untuk lebih memahami dan memperkaya wawasan kehidupan, mempertajam watak dan kepribadian, memperhalus
budi pekerti, cipta, rasa, karsa, kepekaan sosial, budaya, religi, dan kepekaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Ini semua akan tumbuh jika pembelajaran sastra diarahkan pada apresiasi sastra dengan lebih banyak menyentuh segi afeksi. Dalam hal ini, siswa diajak untuk menikmati, memahami, dan menghayati karya sastra. Dengan kata lain, siswa diajak mengalami langsung proses apresiasi sastra.

Untuk lebih mengkonkretkan hal di atas, saya beri ilustrasi bagaimana apresiasi sastra dapat membentuk watak, sikap, kepribadian, dan mempertajam rasa dan nilai-nilai kemanusiaan siswa. Melalui cerita, misalnya, apakah cerita yang langsung dibaca oleh siswa, maupun dibacakan guru/orang tua, siswa secara tidak langsung menyerap nilai-nilai.
Siswa bertemu dengan tokoh-tokoh cerita dengan berbagi watak, peristiwa, dan konflik yang dihadapinya. Pertemuan ini, meminjam istilah Sugihastuti, menimbulkan kontak dan reaksi kejiwaan dalam diri siswa. Reaksi kejiwaan ini misalnya perasaan turut merasakan penderitaan orang lain, penilaian akan watak tokoh yang pantas dan tidak pantas diteladani, pemahaman yang lebih tajam dan dalam tentang berbagai sifat manusia, dan lain-lain. Hal-hal seperti ini pada tahap selanjutnya dapat memperdalam
pemahaman siswa tentang manusia sehingga dalam kehidupan sehari-harinya, siswa akan lebih tepo saliro, menghargai sesama, mengasihi sesama, jembar dalam berpandangan dan bersikap. Pendek kata, budi pekerti siswa akan terbentuk dan terasah lewat bacaanbacaan berupa karya sastra tersebut.

Pembentukan watak dan sikap seperti ini tentu saja harus dimulai sejak dini; sejak masa kanak-kanak. Dalam tahapan jenjang pendidikan, hal ini dapat dimulai sejak Sekolah Dasar sebab masa tersebut merupakan masa yang penting dan menentukan
perjalanan hidup seseorang. Kehidupan masa kanak-kanak biasanya berpengaruh kuat pada perkembangan saat dewasa. Perilaku yang tertanam di masa kanak-kanak, akan menentukan perilakunya di masa dewasa. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan Erikson bahwa masa kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia, tempat kebaikan dan sifat buruk tertentu dengan lambat namun jelas, berkembang dan mewujudkan dirinya. Oleh karena itu, penanaman nilai dan pembentukan sikap/tingkah laku ini harus dilakukan sejak masa anak-anak, antara lain melalui pembelajaran sastra seperti digambarkan di atas.

Sejarah membuktikan, individu-individu yang sejak kecil akrab dengan sastra, memiliki rasa humanisme yang lebih besar di masa dewasanya. Apakah ia menjadi dokter, politisi, negarawan, atau tokoh revolusi sekalipun, watak dan kepekaan humanisme yang terolah sejak kecil melalui bacaan-bacaan sastranya, akan mewarnai sikap, pandangan, prilaku, keputusan dan kebijakannya di masa kemudian. Seperti banyak diketahui, Che Guevara, tokoh revolusi sosial Kuba, telah menjadi pahlawan legendaris terbesar abad dua puluh di hati banyak orang. Dengan kedalaman rasa
kemanusiaannya, ia mendedikasikan hidupnya secara teguh untuk pemajuan revolusi melawan penindasan. Dan, yang penting dicatat, ia penyuka puisi sepanjang hidupnya.
Pemuja penyair Pablo Neruda ini telah terbiasa membaca puisi sejak kecil. Begitu pula Vaclav Havel, presiden pertama Ceko-Slovakia, yang menduduki jabatan tersebut bukan karena ambisinya, melainkan karena terangkat oleh sejarah. Ia telah menjadi nahkoda dalam suatu peralihan revolusioner yang gawat. Seperti pernah dicatat budayawan Y.B. Mangunwijaya, negarawan ini berhasil memimpin negara dan nasionnya melewati
rintangan–rintangan berat berkat kepercayaannya kepada segala yang bermoral dan yang benar dalam diri manusia. Modal utama sang nahkoda di tengah badai peralihan zaman itu bukan kekuasaan dan senjata, tapi kemanusiaan. Warna kemanusiaan yang melekat kuat ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh latar belakangnya sebagai budayawan, seniman: sastrawan.

Tentunya masih banyak contoh lainnya yang menjadi bukti tentang betapa berartinya pendidikan sastra sejak usia dini. Pentingnya menumbuhkan apresiasi sastra sejak usia SD ini juga akan menumbuhkan pembaca (konsumen) sastra di kemudian hari.
Jika kita lihat di negara-negara maju, buku-buku sastra bukan monopoli orang-orang yang berkecimpung dalam bidang sastra saja, tapi semua lapisan masyarakat. Tak mengherankan jika di negara-negara tersebut para penulis sastra bisa hidup makmur dari
profesinya sebagi penulis.
***

Gambaran di atas kiranya cukup menegaskan perlunya pengoptimalan pembelajaran sastra pada tingkat Sekolah Dasar. Demikian memang harapan yang diidealkan meskipun kita menyadari pelaksanaannya tidak seideal yang diinginkan.
Sejumlah kekurangan dan kendala yang muncul di lapangan memang bukan hal yang bisa dianggap sepele.

Selama ini, tatkala kita berbicara tentang kegagalan pembelajaran sastra pada umumnya, gurulah yang dijadikan lahan empuk sebagai pihak yang dipersalahkan.
Sementara, para guru sendiri mengeluhkan berbagai permasalahan yang mereka hadapi tatkala melaksanakan pembelajaran sastra yang menjadikan mereka tak dapat melaksanakan pembelajaran sastra seperti yang dicita-citakan. Keluhan para guru tersebut, seperti yang sering terlontar dalam berbagai seminar tentang pembelajaran sastra antara lain:

1) kebijakan pemerintah yang selalu berubah-ubah lewat pergantian kurikulum;
2) sistem ujian nasional yang berjenis soal objektif, memaksa guru mengambil jalan pintas melakukan pembelajaran dengan membahas soal-soal demi kelulusan siswanya;
3) adanya pembatasan lewat Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang membuat para guru lebih terfokus untuk mengajar SKL ini; dan
4) sarana dan prasarana yang tidak menunjang.

Dengan adanya keluhan-keluhan ini, persoalan pembelajaran sastra hendaknya tidak hanya menjadi beban para guru, tetapi harus dipecahkan dan mendapat bantuan serta perhatian dari berbagai pihak.
Mengenai perubahan kurikulum, perubahan kurikulum walau bagaimanapun adalah sebuah keniscayaan. Perkembangan zaman dan IPTEK, mau tidak mau menuntut perubahan tersebut. Kurikulum harus mampu menjawab tantangan dari perkembangan
yang terjadi.

Namun, kebijakan pemerintah dalam melakukan pergantian kurikulum hendaknya benar-benar didasarkan pada esensi bahwa perubahan itu betul-betul dibutuhkan, bukan sekedar kebijakan ganti menteri ganti kurikulum. Jika dasarnya seperti ini, yang akan
terjadi, perubahan itu akhirnya berputar-putar pada format. Munculnya istilah-istilah plesetan di kalangan guru-guru, seperti kurikulum baheula keneh (kurikulum masih seperti dulu) untuk Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mencerminkan hal itu.
Belum lagi uji coba dan sosialisasi setengah-setengah yang membuat konsep kurikulum tersebut tidak matang. Contoh pelaksanaan KBK (2004) yang kemudian sekarang diubah
lagi menjadi KTSP (2006) adalah bukti dari ketidakmatangan ini. Ujung-ujungnya para gurulah yang dibuat kebingungan.

Begitu pula dengan jenis soal ujian nasional yang tidak mempertimbangkan karakteristik mata pelajaran, dalam hal ini Bahasa dan Sastra Indonesia. Bagaimana keterampilan berbahasa dan apresiasi sastra bisa tumbuh jika ujian akhirnya kembali lagi
pada hafalan. Dampaknya, dalam pelaksanaan pembelajaran, guru tidak akan mengajarkan keterampilan berbahasa dan apresiasi, tapi akan mencekoki siswa dengan hafalan-hafalan seperti yang diujikan dalam soal-soal UN. Ini artinya, segala yang diidealkan dari pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia itu hanya bulshit, nonsens belaka.

Kebijakan yang menyangkut Standar Kompetensi Lulusan (SKL) juga hendaknya ditinjau ulang. Kasus mutakhir tentang ditemukannya kepala sekolah yang mencuri kunci jawaban Ujian Nasional (mata pelajaran Bahasa Indonesia lagi!) atau kasus di sejumlah daerah tentang guru-guru yang memberi tahu jawaban ujian kepada siswa, adalah dampak dari kebijakan penetapan SKL yang terlalu menyederhanakan persoalan dan menyamaratakan kondisi berbagai daerah. Ujian Nasional menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Kebijakan ini, pada akhirnya hanya menghargai siswa dari hasil akhir.
Adapun penilaian terhadap proses diabaikan sama sekali. Dengan demikian, kurikulum yang dalam perumusan tentang komponen dan sistem penilaian pembelajaran cukup ideal, mati kutu di hadapan sistem Ujian Nasional dan Standar Kompetensi Lulusan ini.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang pada tahun ajaran 2006/2007 ini diberlakukan, diharapkan memberi pencerahan dalam persoalan di atas. KTSP menganut prinsip antara lain sejalan dengan konsep desentralisasi pendidikan dan
manajemen berbasis sekolah (school-based, management), juga menganut asas beragam dan terpadu. Dalam kebijakan ini, sekolah diberi otonomi dalam penyusunan kurikulum dan engembangannya. Akan tetapi, di ujungnya tetap diberlakukan ujian nasional.
Dengan semangat desentralisasi dan keberagaman seperti diuraikan di atas, kriteria kelulusan hendaknya ditentukan oleh sekolah masing-masing dengan menggabungkan hasil UN dengan ujian sekolah masing-masing. Dengan cara ini, penetapan kriteria
kelulusan menjadi lebih bijak.
***
Selain pada persoalan di atas, munculnya pencerahan dari pemberlakuan KTSP juga diharapkan dapat terjadi dalam penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran.
Tanpa sarana dan prasarana yang menunjang dan memadai, konsep dan cita-cita KTSP akan sulit terwujud. Sarana dan prasarana ini memang tidak mengharuskan penyediaan
buku teks baru. Dan buku teks hendaknya tidak dijadikan sumber utama dalam pembelajaran. Oleh karena itu, berbagai potensi yang ada bisa diberdayakan untuk memenuhinya.

Selama ini, sumber-sumber pembelajaran sastra di tingkat Sekolah Dasar sangat minim. Umumnya, guru pun lebih berpegang pada buku teks. Padahal selain buku teks, banyak sumber-sumber lain yang perlu dipergunakan untuk melaksanakan pembelajaran
sastra yang optimal. Hendaknya, sekolah dan guru-guru diberi akses yang mudah untuk mendapatkan sumber-sumber ini.

Sarana dan sumber belajar yang dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra pada tingkat Sekolah Dasar, pertama-tama tentulah sastra anak, yakni karya tulis yang dibuat untuk menarik perhatian dan minat anak-anak pada dunia sastra. Karya sastra anak ini akan mudah dipahami dan digemari anak-anak karena isinya sesuai dengan dunia, tingkat psikologi, dan tingkat keterbacaan mereka. Jenisnya bermacam-macam: puisi lirik dan
epik, cerita pendek, novel, drama anak, dan bahkan sastra non-imajinatif seperti buku harian.

Sudah banyak karya sastra anak yang kita kenal karena merupakan canon sastra anak, seperti: cerita Kancil dan Buaya, Monyet jeung Kuya (Kera dan Kura-Kura), Bawang merah dan Bawang Putih, Cinderella, Puteri Tidur, Puteri Salju, dan lain-lain.
Di samping itu, meskipun tidak sebanyak sastra orang dewasa, banyak sastra anak, baik sudah diterbitkan dalam bentuk buku, maupun terpublikasi di media massa, yang ditulis para penulis kita, seperti Abdul Hadi W.M, Toha Muhtar, Mansur Samin, Titie Said,
Heroe Soekato, Adang Halim, Triwahyono, Nimas Heming, Dorothea Rosa Herliany, Arswendo Atmowiloto, Senny Alwasilah, Tetet Cahyati, dan lain-lain. Buku-buku terjemahan sastra anak pun, seperti karangan Enid Blyton, H.C. Anderson, atau bahkan
Oscar Wilde, sudah bisa didapatkan. Bahkan, sumber-sumber dari rubrik anak-anak di media massa seperti Republika, Pikiran Rakyat, Kompas, hadir setiap minggunya.
Khasanah yang kaya ini belum banyak dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra di sekolah-sekolah dasar kita, padahal sangat bermanfaat dalam merangsang dan memperkaya daya imajinasi anak, dan dalam menumbuhkan wawasan dan kepekaan emosional, sosial, intelektual, dan rasa humanisme. Kehadiran sastra anak ini perlu mendapat perhatian yang lebih serius lagi dari pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dengan penyediaan sarana pembelajaran.

Sumber lain yang juga tak kalah penting dalam pembelajaran sastra di SD adalah foklor. Sejumlah legenda, hikayat, mitos, fabel yang merupakan cerita rakyat ini begitu banyak bertebaran di berbagai daerah, yang oleh anak-anak generasi sekarang belum
tentu diketahui. Terkikisnya kebiasaan mendongeng dan merajalelanya media televisi tampaknya menjadi penyebabnya. Bahkan, di televisi, cerita-cerita rakyat tersebut seperti tampak dalam sinetron-sinetron (sinetron Malinkundang, sinetron tentang berbagai hikayat), sudah mengalami distorsi, termasuk distorsi terhadap nilai-nilai moral yang diusung cerita yang sebenarnya. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan prinsip desentralisasi dan manajemen berbasis sekolah sangat memungkinkan penyediaan sarana dan prasarana yang bersumber dari potensi lokal ini.

Selain mengenal dan menyerap nilai dari ragam sastra di atas, siswa SD pun hendaknya diperkenalkan dengan khasanah kesusastraan umum agar khasanah ini melekat di hati mereka sejak dini. Akan tetapi, bagaimanakah caranya? Apakah bukubuku
sastra tersebut tidak terlalu berat? Apa yang pernah diusulkan Ajip Rosidi untuk menyusun karya-karya berupa Edisi Mudah Sastra kiranya bisa menjadi solusi.
Edisi Mudah Sastra adalah bacaan yang dibuat berdasarkan karya sastra umum dengan pentransferan ke dalam bahasa yang lebih mudah dicerna anak-anak. Perlu dicatat, edisi mudah ini bukanlah ikhtisar, apalagi sinopsis, tapi merupakan penyederhanaan kadar bahasa dan pikiran yang termaktub di dalamnya yang bisa dicerna
pola pikir anak-anak, termasuk pemenggalan dan penyensoran terhadap bagian-bagian yang kurang sesuai dengan perkembangan psikologi anak. Karya sastra canon Indonesia,
seperti Siti Nurbaya, Para Priyayi, Tetralogi Bumi Manusia, dan banyak lagi, dengan demikian dapat diapresiasi anak-anak sejak dini. Dengan apresiasi ini, anak akan lebih tahu dan mengenal identitas, sejarah, dan budaya bangsanya sejak dini. Seperti kita
ketahui, di Rusia misalnya, anak-anak mengenal identitas bangsanya bukan dari penataran atau doktrin-doktrin, tapi dari karya sastra, salah satunya dari karya sastrawan besar mereka, Leo Tolstoy lewat buku Perang dan Damai, yang diwajibkan dibaca siswa pada tingkat pendidikan dasar.
Di Perancis, seperti dicatat Beni R.Budiman, terdapat buku Francais Facille, buku khusus anak-anak yang merupakan turunan dari karya-karya orang dewasa. Pada buku tersebut tercantum berapa jumlah kata yang digunakan dan untuk usia berapa buku-buku itu diperuntukkan. Buku tersebut mempunyai banyak tema dan cerita, mulai dari masalah politik, budaya, hingga pembangunan. Tak mengherankan jika di negeri tersebut,
banyak kelompok anak yang sudah memahami karya-karya dari khasanah kesusastraan mereka, seperti Balzac, Molliere, dan lain-lain.
Edisi mudah Sastra yang dibaca anak-anak sejak dini adalah upaya menumbuhkan bangsa yang apresiatif terhadap sastra di kemudian hari. Alangkah bijaknya apabila seiring pemberlakuan KTSP, upaya-upaya penyediaan sarana-prasarana tersebut
dilakukan.

Hal lain terkait dengan penyediaan sarana-prasarana ini, penyediaan tersebut hendaknya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan para pelaksana kurikulum. Hal ini membutuhkan pula peran dari para stakeholder pendidikan dan pihak-pihak lainnya, antara lain para ahli bahasa. Dalam mengatasi masalah pembelajaran sastra yang cenderung tergeser oleh tata bahasa (dikarenakan guru-gurunya kurang akrab dengan sastra), dan untuk mentradisikan sastra, alangkah bagus dan bijak jika dalam buku-buku kebahasaan yang mereka tulis, para pakar bahasa ini memasukkan serpihan-serpihan karya sastra, misalnya dalam contoh wacana atau kalimat (dengan tentu saja menyebutkan karya sastra yang dikutip dan pengarangnya). Hal ini bisa menginspirasi para guru untuk mengakrabkan sastra kepada siswa.

Begitulah, jika pembelajaran sastra ingin optimal dan mencapai harapan yang diidam-idamkan, perlu dilakukan secara bahu membahu antar berbagai pihak. Itu pula yang diharapkan untuk kemajuan pembelajaran sastra di Sekolah Dasar. Semoga.***

Tulisan yang Lain Silakan Klik

Download e-Book Kamus Ilmiah Nama Latin Tumbuhan;>>>> Baca

Video Perkalian Pecahan Campuran;>>>> Baca

Kronologi Pembaharuan Pendidikan;>>>> Baca

Menambah Pengetahuan Tentang Parasitologi;>>>> Baca

Video Tutorial Merakit Komputer;>>>> Baca

Taksonomi Vertebrata;>>>>>>>>> Baca

Pendekatan Pembelajaran Bhs Indonesia Masa Depan

Pendekatan Pembelajaran Bhs Indonesia Masa Depan

Saat ini, pembelajaran yang berorientasi pada potensi dan kebutuhan siswa menjadi perhatian utama ahli pendidikan Pendekatan pengajaran yang menempatkan guru sebagai sentral kegiatan belajar-mengajar sedikit-demi sedikit mulai ditinggalkan. Arah angin berpihak pada suatu sistem pendidikan yang menempatkan siswa pada posisi ‘diberdayakan’ secara maksimal yaitu mendidik mereka berdasarkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Filosofi itulah salah satunya yang mendasari pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-base curriculum).
Beberapa kecenderungan pemikiran dalam teori belajar yang mendasari filosofi pembelajaran berbasis kompetensi antara lain berikut ini.
1. Belajar tidak hanya sekedar menghapal, tetapi siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dan kemampuan di benak mereka sendiri.
2. Anak belajar dari mengalami, yaitu anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
3. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).
4. Pengetahuan tidak dapat dipisah-dipisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
5. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
6. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit.
7. Penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar, dan ‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
8. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
9. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
Dalam kelas KBK, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru Guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Filsafat belajar yang mendasari pemikiran itu adalah konstruktivisme. Begitulah peran guru di kelas yang berbasis konstruktivisme.
Pendekatan belajar yang berasaskan konstruktivisme antara lain
1. pendekatan kontekstual,
2. life-skills education,
3. pendekatan CBSA,
4. pendekatan inkuiri,
5. pendekatan pemecahan masalah
6. pendekatan proses,
7. pendekatan kuantum (Quantum Teaching and Learning),
8. authentic instruction,
9. pendekatan kooperatif, dan
10. work-based learing.
Ciri pembelajaran yang kontruktivistik telah antara lain berikut ini.
1. Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
2. Keterampilan dikembangan atas dasar pemahaman.
3. Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, berdasarkan motivasi intrinsik.
4. Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya.
5. Pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan komunikatif, yaitu siswa diajak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks nyata.
6. Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.
7. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangan oleh manusia itu sendiri, dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete)
8. Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi.
9. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber.
10. Pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting (Zahorik, 1995).
Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikn pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Menurut Johnson (2002:24), ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran yang ideal, seperti dalam rincian berikut.
1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections)
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).
2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work)
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
3. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning)
Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang sifatnya nyata.
4. Bekerja sama (collaborating)
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
5. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking)
Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual)
Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards):
Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”.
8. Menggunakan penilaian otentik (using authentic assessment)
Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa Inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau membuat penyajian perihal emosi manusia.
Sementara itu, The Northwest Regional Education Laboratory USA mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar dari pembelajaran yang ideal.
1. Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa di dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupannya di masa mendatang. Prinsip ini sejalan dengan pembelajaran bermakna (meaningful learning) yang diajukan oleh Ausuble.
2. Penerapan pengetahuan: adalah kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kehidupan dan fungsi di masa sekarang atau di masa depan.
3. Berpikir tingkat tinggi: siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan berpikir kreatifnya dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah.
4. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: Isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dunia kerja.
5. Responsif terhadap budaya: guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, teman, pendidik dan masyarakat tempat ia mendidik. Ragam individu dan budaya suatu kelompok serta hubungan antar budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar guru. Setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan di dalam pembelajaran kontekstual, yaitu individu siswa, kelompok siswa baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan sekolah dan besarnya tatanan komunitas kelas.
6. Penilaian autentik: penggunaan berbagai strategi penilaian (misalnya penilaian proyek/tugas terstruktur, kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, daftar cek, pedoman observasi, dan sebagainya) akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya.
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah diarahkan sebagai sarana pembinaan dan kesatuan bangsa, peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia siswa, sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan, dan sarana pengembangan penalaran. Tujuan ‘idealis’ itu selanjutnya diturunkan ke dalam tujuan umum: (1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara; (2) siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan; (3) siswa menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual (berpikir kreatif, menggunakan akal sehat, menerapkan pengetahuan yang berguna, dan memecahkan masalah), kematangan emosional dan sosial; dan (4) siswa mampu menikmati, memahami, dan memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
Pembelajaran sastra, secara umum akan menjadi sarana pendidikan moral. Kesadaran moral dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai sumber. Selain berdialog dengan orang-orang yang sudah teruji kebijaksanaannya, sumber-sumber tertulis seperti biografi, etika, dan karya sastra dapat menjadi bahan pemikiran dan perenungan tentang moral. Karya sastra yang bernilai tinggi di dalammnya terkandung pesan-pesan moral yang tinggi. Karya ini merekam semangat zaman pada suatu tempat dan waktu tertentu yang disajikan dengan gagasan yang berisi renungan falsafi. Sastra seperti ini dapat menjadi medium untuk menggerakkan dan mengangkat manusia pada harkat yang lebih tinggi. Karya sastra tersebut dapat berupa prosa fiksi, puisi, maupun drama.
Ke depan, pembelajaran sastra dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan ideal seperti itu. Melalui pembelajaran sastra, anak diharapkan menjadi warga yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang luhur.
Lalu, dalam konteks kecenderungan pemikiran seperti itu, bagaimanakah seharusnya pembelajaran bahasa Indonesia dikemas? Pendekatan pembelajaran yang bagaimanakah yang tepat untuk diterapkan?
Mengikuti pandangan di atas, pengajaran bahasa Indonesia seharusnya dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, dan mengapresiasi sastra yang sesungguhnya. Tugas guru adalah melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya. Artinya, guru harus menghindari pengajaran yang berisi pengetahuan tentang bahasa Indonesia (using the language, bukan talk about the language). Apa yang diajarkan seharusnya dekat dengan kebutuhan berbahasa Indonedia siswa.
Pengajaran bahasa Indonesia dijalankan melalui pendekatan komunikatif, pendekatan tematis, dan pendekatan terpadu. Pendekatan komunikatif mengisyaratkan agar pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah diorientasikan pada penguasaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi (bukan pembekalan pengetahuan kebahasaan saja). Pendekatan tematis menyarankan agar pembelajaran bahasa diikat oleh tema-tema yang dekat dengan kehidupan siswa, yang digunakan sebagai sarana berlatih membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Pendekatan terpadu menyarankan agar pengajaran bahasa Indonesia didasarkan pada wawasan Whole Language, yaitu wawasan belajar bahasa yang intinya menyarankan agar kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan terpadu antara membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Dengan konsep itu, dalam jangka panjang, target penguasaan kemahirwacanaan itu bisa tercapai.
Prinsip yang mendasari guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis. Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan. Sedangkan prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas bahasa tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai ‘pemicu’ kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari.
Bahasa, di sekolah, sebagai alat untuk mengajar dan belajar. Melalui penggunaan bahasa, guru mengomunikasikan apa yang diajarkan dan siswa mengekspresikan apa yang mereka pelajari (DeStefano, 1984:155). Untuk berhasil di dalam kelas, siswa harus belajar membaca, menulis, dan menghitung. Kemudian, keberhasilan di sekolah juga ditentukan oleh oleh keterampilan akademik dan interaksional. Ketepatan informasi harus disalurkan dengan menggunakan bahasa yang tepat pula. Jadi belajar membaca dan menulis diperlukan untuk menyelesaikan sebagian besar tugas bagi siswa (DeStefano, 1984:156-157). Pertumbuhan kognitif adalah sebuah fungsi literasi. Kemampuan menulis mendorong pertumbuhan kognitif dan sebaliknya kognisi tumbuh bersama kemampuan menulis.
Di dalam berkolaborasi dengan guru ketika merencanakan, mengerjakan, dan melaporkan proyek misalnya, siswa secara simultan belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Mereka belajar berbahasa dengan menggunakan bahasa melalui mendengar, membaca, berdiskusi, dan membuat suatu perencanaan (menulis). Mereka juga belajar melalui bahasa, yakni ketika mempelajari dunia perkebunan misalnya dari buku-buku atau bacaan. Peristiwa mengobservasi dan kemudian melaporkannya adalah contoh belajar melalui bahasa.
Dengan belajar melalui bahasa, isi pelajaran dan bahasa secara simultan dipelajari. Meringkas pengalaman juga contoh belajar melalui bahasa. Lebih lanjut, kegiatan merencanakan kebun misalnya, sekaligus mencakup tiga aspek belajar bahasa secara simultan tanpa pengajaran secara langsung (melalui mata pelajaran bahasa). Guru memberikan konteks sosial dan intelektual yang mendukung pembelajaran dan penggunaan bahasa. Dalam kaitan ini, sesungguhnya guru merencanakan peristiwa literasi (literacy event) yang membuat siswa akrab untuk berpartisipasi secara mandiri. Tegasnya, dalam berbagai kesempatan, formal atau informal, guru menciptakan situasi dan siswa diberi pengalaman belajar berbahasa. Mereka membangun pemahaman terhadap dunia mereka melalui menyimak dan membaca dan mempresentasikannya melalui berbicara dan menulis (Platt, 1989).
Khusus mengenai kegiatan menulis, ia mempunyai posisi tersendiri dalam kaitannya dengan upaya membantu siswa mengembangkan kegiatan berpikir dan pendalaman bahan ajar. Berdasarkan penyelidikannya terhadap guru, pembelajaran dan kegiatan menulis, menurut Raimes (1987), bertujuan (1) memberikan penguatan (reinforcement), (2) memberikan pelatihan (training), (3) membimbing siswa melakukan peniruan atau imitasi (imitation, (4) melatih siswa berkomunikasi (communication), (5) membuat siswa lebih lancar dalam berbahasa (fluency), dan (6) menjadikan siswa lebih giat belajar (learning). Keenam tujuan pedagogis menulis itu secara berurutan dijelaskan berikut ini.
Pertama, menulis untuk memberi penguatan hasil belajar bahasa (writing for reinforcement). Tujuan pedagogis yang pertama ini mengarah kepada penguatan pemahaman unsur dan kaidah bahasa oleh siswa melalui penggunaan bahasa secara tertulis.
Kedua, menulis untuk memberi pelatihan penggunaan bahasa (writing for training). Tujuan pemberian pelatihan melalui menulis ini tidak terbatas pada pelatihan penggunaan bahasa (retorika dan struktur gramatika) dengan berbagai variasinya, tetapi juga dalam mengemukakan gagasan.
Ketiga, menulis untuk melakukan peniruan (imitasi) penggunaan retorik dan sintaktik (writing for imitation). Tujuan pedagogis ketiga ini mengarah pada upaya untuk meng-akrabkan siswa dengan aspek retorik dan sintaktik dalam menulis. Gaya pengungkapan gagasan dari wacana yang dibaca juga dapat “ditiru” untuk belajar.
Keempat, menulis untuk berlatih berkomunikasi (writing for communication). Melalui menulis siswa akan belajar berkomunikasi secara tertulis dalam kegiatan yang nyata. Pengalaman ini diharapkan juga memberi sumbangan dalam pengembangan kemampuan berkomunikasi secara lisan.
Kelima, menulis untuk meningkatan kelancaran (writing for fluency). Kelancaran yang dimaksud mencakup kelancaran dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta kelancaran dalam mengemukakan gagasan.
Terakhir, menulis untuk belajar (writing for learning). Tujuan pedagogis terakhir inilah yang sangat erat kaitannya dengan upaya pengembangan budaya belajar secara mandiri melalui membaca-berpikir-menulis. Menulis untuk belajar mempunyai makna yang sangat dalam untuk membuat siswa belajar secara benar dalam arti yang seluas-luasnya.
Kegiatan menulis ternyata mempunyai peranan penting bagi siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir dan mendalami bahan ajar. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila menulis menjadi aktivitas penting dalam setiap pembelajaran di sekolah. Itu berarti, perlu dikembangkan kegiatan menulis lintas kurikulum, mengingat: (1) menulis, selain membaca dan mendengar, bermanfaat untuk belajar, (2) menulis dapat membantu siswa mempelajari informasi baru dalam mata pelajaran yang sedang dipelajari, (3) menulis memfasilitasi strategi-strategi pemecahan masalah siswa untuk mengorganisasi informasi lama dan baru, (4) menulis dapat mengajarkan siswa konvensi pragmatik dan kesadaran akan mitra (tutur/tulis) dan mengembangkan proses penting agar mampu berkomunikasi secara berhasil, (5) menulis dapat mengajarkan siswa mengevaluasi kekritisannya terhadap informasi yang mereka pelajari, dan (6) menulis dapat mengajarkan kepada siswa bagaimana mereka menerima atau menganalisis pengalaman-pengalaman personal mereka sendiri (Beach, 1984:183-184). Alasan-alasan tersebut sejalan dengan upaya mengembangkan strategi heuristik pada siswa. Dengan demikian menulis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk semua mata pelajaran mengingat melalui menulis siswa dapat belajar bagaimana belajar, yakni melalui bagaimana membuat generalisasi, definisi, dan menerapkan skematanya terhadap sesuatu yang sedang dipelajari. Menulis tidak hanya bergantung pada proses kognitif tetapi juga dapat memberi penguatan afektif terhadap proses membaca. Oleh karena itu, menulis sebagai alat belajar perlu mendapat perhatian serius di sekolah (Beach, 1984).
Guru dapat memberdayakan siswa menjadi berhasil dan independen dalam belajar dengan dua cara, (1) mendokumentasikan efektivitas pengajaran yang dilakukan guru untuk memperbaiki hasil belajar, dan (2) guru menjadi mitra (partner) siswa dalam belajar (Eanes, 1997:54). Dengan kata lain, siswa membaca dan menulis untuk tujuan mencari, belajar, dan menerapkan informasi (isi) pelajaran. Dalam waktu yang bersamaan siswa dapat mengembangkan keterampilan literasi, misalnya: mengembangkan strategi membaca efektif, kebiasaan belajar secara efisien, memanfaatkan kosakata secara maksimal, berpikir kritis, dan percaya diri dalam menulis. Sebagai hasilnya, melalui aktivitas literasi akan memberdayakan siswa untuk mengadakan eksplorasi, meneliti, dan menikmati isi pengetahuan menurut kebutuhan dan minat mereka sendiri sebagai pembelajar yang independen (Eanes, 1997:54).
Dengan demikian, menurut McKenna dan Robinson (1990), hal itu dapat memaksimalkan pemerolehan isi pelajaran. Meskipun isi pelajaran memungkinkan diajarkan secara berhasil melalui pengajaran lisan secara langsung, McKenna dan Robinson mengidentifikasi empat alasan penting mengapa aktivitas kemahirwacaaan perlu dikembangkan. Pertama, hasil dari aktivitas literasi sebagai komplemen bagi pengajaran lisan dan meluaskan perspektif siswa. Kedua, aktivitas literasi memberikan sebuah tindak lanjut alamiah terhadap pengajaran langsung mendorong guru untuk melayani kebutuhan dan minat individual siswa. Ketiga, metode-metode terkini mengenai pengajaran langsung mencakup fase praktik, dalam hal ini aktivitas literasi tampaknya sangat sesuai. Keempat, siswa akan mempunyai tantangan untuk mengembangkan literasi isi lebih luas dari pengetahuan yang diperoleh dari disiplin ilmu dengan keterbatasan ruang lingkup dan waktu pelajaran. Kelas-kelas mata pelajaran merupakan seting yang ideal untuk praktik pengembangan keterampilan literasi. Terakhir, aktivitas literasi memberikan fondasi penting bagi perkembangan literasi dan belajar sepanjang hayat (Eanes, 1997:55). Aktivitas literasi juga dapat menjadikan siswa sebagai pembaca yang efektif, penulis yang kompeten, pemikir yang kritis, dan pembelajar yang mandiri.
Guru yang memberi pengajaran dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri mengenai isi teks akan meningkatkan pembelajaran karena guru mendorong keaktifan siswa dengan melatih menyusun kembali teks dan membangun makna. Siswa yang dapat menjawab pertanyaannya sendiri akan dapat mengecek pemahamannya mengenai teks yang telah dibacanya (Palinscar, 2001). Melalui serangkaian proses pembelajaran yang kaya tersebut, diharapkan siswa akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir dan sekaligus mendalami bahan ajar berbagai mata pelajaran yang sedang diikuti. Kedua hal tersebut sangat penting bagi siswa untuk keberhasilan belajarnya di sekolah. Dengan demikian, kegiatan menulis sebagai bagian dari aktivitas inti literasi perlu terus dikembangkan di sekolah melalui pembelajaran setiap mata pelajaran.
Agar tujuan tercapai, disarankan agar tugas-tugas (task) dan latihan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dijalankan secara bervariasi, berselang-seling, dan diperkaya, baik materi maupun kegiatannya. Harus disadari benar oleh guru bahwa kegiatan berbahasa itu tak terbatas sifatnya. Membaca artikel, buku, iklan, brosur; mendengarkan pidato, laporan, komentar, berita; menulis surat, laporan, karya sastra, telegram, mengisi blangko; berbicara dalam forum, mewawancarai, dan sebagainya adalah contoh betapa luasnya pemakaian bahasa Indonesia itu.
Gambaran tujuan dan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia di atas sejauh ini masih jauh terapannya di kelas riil sekolah. Harapan bahwa dengan pembelajaran bahasa Indonesia anak-anak dapat membaca dengan baik, menulis dengan lancar, dan berbicara dengan sopan, baik, dan berani, masih ‘jauh panggang dari api’. Sebagian besar, guru masih berkutat pada penyampaian teori yang tak relevan dengan kebutuhan berkomunikasi. Permasalahan yang dihadapi pengajaran bahasa Indonesia masih kompleks dan perlu pembinaan terus-menerus. Masukan-masukan yang berupa laporan yang berasal dari keadaan nyata di sekolah akan sangat berarti bagi penentu kebijakan.
Saat ini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar siswa di Indonesia. Artinya, ketika masuk sekolah, siswa telah terpajani oleh lingkungan berbahasa Indonesia. Tugas guru adalah meningkatkan kemampuan itu melalui kegiatan berbahasa Indonesia nyata, bukan mengajarkan ilmu tentang bahasa Indonesia. Hanya, yang terjadi kemudian adalah (1) guru lebih banyak menerangkan tentang bahasa (form-focus), (2) tata bahasa sebagai bahan yang diajarkan, (3) keterampilan berbahasa nyata kurang diperhatkan, (4) membaca dan menulis sebagai sesuatu yang diajarkan, bukan sebagai media berkomunikasi dan berekspresi.
Penekanan pembelajaran bahasa Indonesia hanya pada tata bahasa, yang relevansinya dengan kebutuhan berbahasa kurang. Murid hanya menghafal jenis kata, pengertian kalimat, fungsi-fungsi awalan, dan beragam peribahasa usang. Lalu pertanyaannya, manakah kemampuan membaca dan menulis kreatif yang seharusnya dikuasai siswa melalui pengajaran bahasa Indonesia?
Sebaiknya, pengajaran bahasa Indonesia dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya. Misalnya, membaca berita, membaca cerpen, membaca iklan, menulis surat, menulis iklan baris, membuat laporan, mendengarkan berita, membacakan pengumuman, dan sejenisnya. Dengan demikian, PBI akan menjadi pelajaran yang menarik dan ‘berguna’. Jika tata bahasa harus diajarkan, sebenarnya hanya untuk menunjang kemampuan-kemampuan tersebut. Guru disarankan agar kembali berpegang pada sasaran tujuan pengajaran bahasa Indonesia, yaitu melatih siswa menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi berbahasa nyata. Materi-materi yang tingkat kebergunaannya rendah, seperti teori tata bahasa umum dan pengetahuan tentang tata bahasa sebaiknya dikurangi.
Cuplikan dari Buku Naskah Akademik Bhs Indonesia, Pusat Kurikulum Depdiknas Jika Ingin memiliki selengkapanya silakan klik DOWNLOAD DI SINI

Baca Tulisan Lain

Sumbangan Teori Belajar Kognitif Pada Pembelajaran Kooperatif;>> Baca

Lahirnya Bhs Indonesia;>>>>>> Baca

Birokrasi Pemerintahan >>>>>> Baca

Sejarah Filsafat Yunani >>> Baca

Metode Suku Kata, Metode Suku Kalimat dan Metode IKP

Metode Suku Kata, Metode Suku Kalimat dan Metode IKP

Metode suku kata ini juga sebagaimana Metode Abjad, Metode Bunyi adalah metode untuk belajar membaca permulaan. Prosedur yang ditempuh hampir sama dengan metode. Anak-anak harus menguasai suku kata lebih dulu untuk dapat membaca sebuah kata. Metode ini dikenal juga dengan nama Metode KRS (Kupas Rangka Suku kata). Metode ini cenderung menggabungkan antara suku kata dengan sukun kata lain dan pada tahap awal anak-anak masih terbiasa menggunakan tanda sambung untuk menggabungkan suku kata-suku kata tersebut. Bahasa Indoensia yang mempunyai sifat aglutinatif berbeda jelas dengan bahasa-bahasa lain terutama bahasa Inggris; bahasa yang disebut terakhir ini bersifat fleksi. Berhubung dengan itu untuk belajar membaca-menulis permulaan banyak pengajar berkecenderungan menggunakan Metode KRS di samping Metode Ejaan yang tampaknya sudah mendarah daging di mana-mana. Metode KRS disebut juga Metode SAS yang lain, singkatan dari Sibalik Analitik Sintetik. Metode KRS banyak digemari anak-anak karena bersifat lebih ritmis kalau dibaca. Sifat ini sangat sesuai dengan jiwa anak-anak yang suka pada hal-hal yang ritmis.
Segi baiknya :
1) Metode ini berprinsip unsur bahasa adalah suku kata bukan kalimat. Setiap suku kata, dapat dibaca dengan ritme tertentu dan dalam permainan dapat dipakai secara sambung bersambung sesuai dengan kegemaran anak bermain; seperti: ma- ta : ta – ni; ni – la; la -ma; ma – ka; ka – ki; ki – ta; dan seterusnya. Setiap suku kata bersifat hidup.
2) Metode KRS sesuai pula dengan karakteristik bahasa-bahasa Ostronesia; hal ini dapat mendukung posisi Metode KRS itu sendiri.
3) Sekali berucap telah tercakup paling banyak tiga bunyi; ini mengutamakan bagi pelajaran menulis.
4) Metode KRS meningkatkan daya imajinasi anak dalam hal mencari suku kata lain untuk membentuk sebuah kata baru yang berarti.
Segi Lemahnya

Ada kemungkinan tanda-tanda sambung jika ini diharuskan dipakai: akan terbiasa ditulis anak-anak pada tingkat lanjutan. Permainan baik yang bersifat lucu maupun yang serius merjpakan pelaksanaan teknik pengajaran yang paling tepat untuk menerapkan metode KRS.
Metode Kalimat
Metode ini disebut juga Metode Global karena yang mula-mula disajikan kepada pembelajar adalah kalimat-kalimat pendek bersifat global. Piusedm penguraian dari bentuk kalimat menjadi kata dari kata menjadi suku-suku kata akhirnya menjadi huruf. Tindak lanjut seperti ini pembelajar akhirnya mengenal huruf hasil dan penguraian sebuah kalimat. Catatan untuk metode ini bahwa huruf sebagai unsur bahasa tidak digabungkan lagi menjadi suku kata dan seterusnya, sehingga metode ini memiliid proses menganalisa saja

Segi baiknya
1. Proses penguraian cenderung seperti pada Metode SAS; jika metode SAS telah diperkenalkan baik pemgajar maupun pembelajar takkan mendapatkan kesulitan untuk mempelajarinya.
2. Baik Metode Kalimat maupun Metode SAS melatih anak-anak terbiasa menganalisa.
3. Metode kalimat dapat mudah diikuti anak-anak diperkotaan karena faktor-faktor lingkungan.
Segi lemahnya

a. Metode ini sangat sukar diterapkan pada pembelajar di pedesaan atau lokasi terpencil.
b. Untuk memilih kalimat-kalimat yang sesuai dengan minat dan jalan pikiran anak-anak dengan mempertimbangkan setiap kalimat pada mula-mula harus .terdiri dari tiga kata kemudian meningkat merupakan beban pengajar.
c. Pilihan kata dalam kalimat harus disesuaikan kata-kata yang sering dipakai anak-anak pergaulan sehari-hari.
Teknik pengajaran yang mengena ialah kegiatan dalam bentuk permainan anak-anak. Permainan macam apapun dapat dimanfaatkan untuk memperlancar pelaksanaan metode ini.

Metode IKP
Metode IKP hakikatnya adalah tiga metode yang dilaksanakan secara serentak. IKP mempunyai kepanjangan : Imitasi, Komprehensi dan Produksi. Prosedur metode ini ialah (a) Imitasi : anak disuruh menirukan.sebuah kalimat; (b) komprehensi : anak harus dapat menunjukkan dengan jalan apapun bahwa ia sebenarnya memahami maksud suatu kalimat dan (c) Produksi : proses produksi di sini bukan suatu kejadian yang spontan seperti pada teknik alamiah, melainkan merupakan proses produksi yang sangat terarah, . misalnya anak harus menyelesaikan suatu kalimat. Metode IKP ini disarankan oleh Desa Tombe dan ia membandingkan ketiga metode tersebut sebagai berikut:
a. 1 lebih baik daripada K dan K lebih baik daripada P. Ketiga metode ini berbeda dalam segi kuantitatif tetapi sama dalam segi kualitatif.
b. Jika I lebih baik daripada K anak-anak tentu dapat meneruskan kalimat-kalimat yang tidak dipahaminya dengan cara mudah dan lancar. Anak-anak yang kurang berminat pada bahasa K akan lebih baik daripada I. Dengan memberi tekanan pada K perlu juga diperhatikan segi semantisnya.
c. Jika menjadi tekanan adalah P maka perlu diperhatikan bahwa kalimat “pasif dan kalimat “majemuk” serta kalimat adalah yang paling sukar dihayalkan oleh anak-anak; sedangkan pada K sumber kesalahan tampak pada kalimat “ingkar”. Jadi pada hakekatnya metode IKP dapat diterapkan pada anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua dengan mempertimbangkan segi kemampuan dss. iesiapan anak-anak dalam situasi dan kondisi yang tidak sama.
Segi baiknya
1) Metode IKP dapat memahami kehendak anak-anak sesuai dengan cara memperoleh bahasa untuk mempelajari bahasa barunya.
2) Berhubung dengan metode IKP adalah gabungan tiga metode ini berarti bahwa anak anak sekaligus telah mampu diterapi tiga metode belajar bahasa sesuai dengan kesiapan mentalnya.
3) Metode IKP cenderung mengikuti segi sistem belajar “berpikir” Piaget.
Segi lemahnya
a. Oleh karena metode IKP adalah gabungan tiga metodel ini berarti pengajar dituntut mampu memenuhi prinsip-prinsip yang terdapat dalam ketiga metode tersebut
b. Anak-anak yang kurang mampn dan kurang berminat pada bidang bahasa metode IKP dapat menghambat lancarnya belajar Bahasa Indonesia.
. Metode ini dalam pelaksanannya dapat ditunjang teknik pengajaran berwujud latihan-latihan baik dengan rekaman maupun sebagai penggantinya, pengajar. Latihan-latihan dapat menitikberatkan unsur unsur yang dipandang penting sesuai dengan urutan yang diberikan.

Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik)

Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik)

Metode ini diprogramkan pemerintah RI mulai tahun 1974. Regu yang dipimpin oleh Dr. A.S. Broto pada waktu itu telah menghasilkan Metode SAS. Menurut A.S. Broto khususnya disediakan untuk belajar membaca dan menulis permulaan di kelas permulaan SD. Lebih luas lagi Metode SAS dapat dipergunakan dalam berbagai bidang pengajaran. Dalam proses operasionalnya metode SAS mempunyai langkah-langkah berlandaskan operasional dengan urutan : Struktural menampilkan keseluruhan; Analitik melakukan proses penguraian; Sintetik melakukan penggabungan kembali kepada bentuk Struktural semula. Landasan linguistiknya bahwa itu ucapan bukan tulisan, unsur bahasa dalam metode ini ialah kalimat; bahwa bahasa Indonesia mempunyai struktur tersendiri. Landasan pedagogiknya; (1) mengembangkan potensi dan pengalaman anak, (2) membimbing anak menemukan jawab suatu masalah. Landasan psikologisnya : bahwa pengamatan pertama bersifat global (totalitas) dan bahwa anak usia sekolah memiliki sifat melit (ingin tahu).
Prosedur penggunaan Metode SAS
1. Mula membaca permulaan dijadikan dua bagian
Bagian pertama Membaca permulaan tanpa buku
Bagian pertama Membaca permulaan buku
2. Merekam bahasa anak melalui pertanyaan-pertanyaan dari pengajar sebagai kontak permulaan.
3. Menampilkan gambar sambil bercerita. Setiap kali gambar diperlihatkan, muncullah kalimat anak-anak yang sesuai dengan gambar.
4. Membaca kahmat secara structural
5. Membaca permulaan dengan buku
6. Membaca lanjutan
7. Membaca dalam hati

Segi baiknya
a. Metode ini dapat sebagai landasan berpikir analisis.
b. Dengan langkah-langkah yang diatur sedemikian rupa membuat anak mudah mengikuti prosedur dan akan dapat cepat membaca pada kesempatan berikutnya
c. Berdasarkan landasan linguistik metode ini akan menolong anak. menguasai bacaan dengan lancar.

Segi lemahnya
.
1) Metode SAS mempunyai kesan bahwa pengajar harus kreatif dan terampil serta sabar

Tuntutan semacam ini dipandang sangat sukar untuk kondisi pengajar saat ini.

2) Banyak sarana yang harus dipersiapkan untuk pelaksanaan metode ini untuk sekolah sekolah tertentu dirasa sukar.
3) Metode SAS hanya untuk konsumen pembelajar di perkotaan dan tidak di pedesaan
4) Oleh karena agak sukar menganjarkan para pengajar metode SAS maka di sana-sini Metode ini tidak dilaksanakan.
Teknik pelaksanaan Metode SAS ialah keterampian memilih kata kartu kata dan kartu kalimat. Sementara anak-anak mencari huruf, suku kata, kata., pengajar dengan sebagian anak yang lain. Menempel-empelkan kata kata yang tersusun menjadi kalimat yang berarti. Begitu seterusnya sehingga semua anak mendapat giliran untuk menyusun kalimat, membacanya dan yang paling mengutpnya sebagai ketreampilan menulis. Media lain selain papan tulis, papan panel, papn tali, OHP (Over Head Projector) dapat juga digunakan.