Suap dan Korupsi dalam Birokrasi
Pada umumnya masyarakat menganggap Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau birokrat sebagai pekerja yang digaji rendah oleh Negara (kecuali para pejabatnya yang mendapat tambahan pendapatan dari tunjangan jabatan yang dimiliki), memiliki etos kerja yang rendah, sistem perekrutan pegawai dilandasai dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), bidang pekerjaannya terkadang tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki, minta dilayani masyarakat dan bukannya melayani masyarakat, atau tidak bekerja penuh waktu karena pekerjaannya terlampau sedikit.
Hakekat Suap dan Korupsi
Tidak ada yang tahu persis kapan istilah suap digunakan sebagai hal yang berkaitan dengan korupsi. Jika ditilik dari kamus bahasa Indonesia, maka suap dapat berarti memasukkan sesuatu yang dilakukan seseorang ke dalam mulut orang lain. Jadi tidak ada istilah suap yang digunakan untuk diri sendiri. Contohnya, seorang ibu menyuapi anaknya dengan bubur kacang hijau. Tidak ada kalimat seperti,” saya menyuapi mulut saya dengan nasi, dengan menggunakan tangan saya sendiri”. Selain arti suap di atas ada lagi arti suap yang lain yang sama artinya dengan sogok. Kata sogok juga sebenarnya dapat berarti melakukan sesuatu kegiatan dengan menggunakan alat (misalnya kayu) untuk meraih, menjatuhkan, atau menggeser suatu benda. Contohnya, seorang anak kecil menyogok sebuah layang-layang dengan sebilah bambu yang terkait di ranting sebuah pohon agar layang-layang tersebut dapat jatuh dan diambil. Namun dalam perkembangannya ke dua istilah tersebut digunakan dalam hubungannya dengan seseorang yang melakukan tindak korupsi.
Istilah suap yang berasal dari bahasa Inggris ”to bribe” yang berarti menyuap atau menyogok. Suap-menyuap bersama-sama dengan penggelapan dana-dana public (embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi.
Korupsi sendiri berasal dari kata “to corrupt” yang berarti membusukkan, merusakkan atau membinasakan, atau dijelaskan sebagai suatu perusakan integritas, kebajikan atau asas-asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles).
Tindakan korupsi termasuk suap menyuap dianggap sebagai tindakan kriminal, sebagai suatu kejahatan yang tidak lagi dipandang sebagai kejahatan biasa atau konvensional tapi sudah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Korupsi mempunyai karakter yang sangat kriminogin yang dapat menjadi faktor pemicu munculnya kejahatan yang lain, atau bersifat viktimogin, yaitu secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan, terutama menyangkut kepentingan masyarakat umum.
Dampak yang diakibatkan oleh tindak korupsi sangatlah besar dimana dalam jumlah besar secara siginifikan dapat menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, dapat merusak institusi serta nilai-nilai demokrai, nilai-nilai etika dan keadilan, diskriminatif serta mengganggu jalannya etika dan kompetisi kerja yang jujur, mencederai pembangunan serta merusak tegaknya sistem hukum.
Tindak pidana korupsi dalam skala besar jelas sangat memiliki potensi merugikan keuangan dan perekonomian Negara dalam jumlah yang besar pula yang pada akhirnya dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik suatu Negara. Tindakan korupsi skala besar bisa pula berarti bersifat multilateral dan transnasional, seperti tindakan penyuapan yang dilakukan oleh perusahaan asing yang beroperasi di suatu Negara kepada pejabat-pejabat Negara tersebut(commercial corruption).
Tidak saja dalam aspek perdagangan, tindak pidana korupsi juga merambah bidang yang lain sehingga menimbulkan bahaya terhadap keamanan umat manusia seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, hukum dan fungsi-fungsi pelayanan social lainnya. Tindakan korupsi jelas-jelas merusak mental aparatur Negara atau para birokrat. Untuk memperoleh kekayaan yang banyak, para aparatur Negara tidak malu-malu dan segan lagi melanggar sumpah jabatan serta kode etik pegawai negeri.
Dari beberapa hal tersebut di atas maka telah muncul dalam pandangan masyarakat bahwa elemen tindakan koruspi tidak perlu harus mengandung secara langsung unsur merugikan keuangan atau perekonomian Negara. Selain tindakan korupsi maka tindakan yang dianggap sejenis adalah tindakan suap-menyuap. Suap menyuap biasanya dilakukan agar tujuan yang diinginkan oleh si penyuap dapat terlaksana tanpa ada hambatan, baik hambatan waktu maupun prosedur. Dengan demikian mereka yang disuap adalah aparatur Negara yang mempunyai kewenangan dan kekuasaaan dalah hal perijinan. Agar ijin bisa diperoleh dengan cepat minimal sama dengan prosedur yang harus ditempuh, dan supaya tidak dipersulit oleh aparatur Negara yang mengeluarkan ijin maka dilakukanlah tindakan penyuapan tersebut. Kapan munculnya tindakan penyuapan? Siapa yang memulai? Untuk menjawab hal tersebut sama dengan pertanyaan lebih dulu ada, ayam atau telur. Dalam kasus penyuapan, maka biasanya pihak yang dianggap mau disuap akan menyanggah dengan argumentasi kalau tidak disuap maka tentu aparatur Negara tidak akan terggoda untuk menerima suap. Dalam hal ini dianggap pihak lain yang melakukan suap terlebih dahulu. Sebaliknya bagi si penyuap akan ada argumentasi, jika prosedur perijinan lancar maka tentu tidak tidak perlu dilakukan penyuapan. Dalam hal ini si penyuap menganggap adanya keterpaksaan dalam melakukan penyuapan.
Dalam tindakan suap menyuap maka berdampak pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, perlakukan pembedaan (diskriminatif) dengan cara memberikan penanganan secara khusus atau privilese atas dasar keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan, ketidakjujuran, perekayasaan laporan, bahaya terhadap hak asasi manusia dan lain sebagainya.
LANGKAH PENANGANAN
Seorang Presiden Bank Dunia pernah mengatakan mengenai masalah suap di Negara berkembang yang dikatakan sebagai “the cancer of developing countries” sehingga menyarankan agar dilakukan langkah penanganan untuk mengatasi dan menuntaskan permasalahan suap menyuap tersebut.
Bangsa Indonesia yang menyatakan diri sedang melakukan gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 tersebut berusaha mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN dengan melalui berbagai metode dan tindakan pada berbagai bidang yang terkait.
Dari sisi hukum maka berbagai substansi hukum telah dibuat untuk memberantas KKN serta menciptakan penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN seperti TAP MPR No. XI/MPR/1998 dan UU No. 28 Th 1999, UU. No. 31 Th. 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu untuk menunjukkan kesungguhannya dalam melawan korupsi, pemerintah Indonesia turut menandatangani UN Convention Against Corruption, Vienna, Th. 2003. Aspek yang menonjol dalam konvensi ini adalah:
(1) penekanan pada unsur pencegahan,
(2) kriminalitas yang lebih luas,
(3) kerjasama internasional, dan
(4) pengaturan lembaga asset recovery untuk mengembalikan asset yang dilarikan ke luar negeri.
Dari segi kebijakan Negara, telah dikeluarkan instruksi Presiden berupa delapan prioritas dalam upaya pemberantasan korupsi, serta berbagai upaya yang telah dilakukan Presiden dalam rangka mengakseleras pemberantasan tindak pidana korupsi. Upaya Presiden tersebut harus ditanggapi positif dan harus ditindaklanjuti oleh pejabat atau instansi yang berwenang. Memang tidak mudah untuk melaksanakan semua hal yang menyangkut upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, karena pihak yang akan terkena dampak atau yang nantinya akan ditindak karena keterlibatan dalam kasus korupsi akan berusaha untuk menggagalkan upaya Presiden tersebut.
Dilihat dari aspek hukum telah dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana atas dasar UU No. 30 Tahun 2002 dimungkinkan pula pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi yang bersifat khusus pengadilan ad hoc. Selain itu dibentuk pula komisi kepolisian, komisi kejaksaan, komisi yudisial untuk mengawasi perilaku penegak hukum.
Dari berbagai bentuk tindakan dan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut di atas yang telah dilakukan secara maksimal baik di bidang substansi maupun dari aspek hukumnya dimana apabila upaya tersebut masih di anggap gagal atau belum berhasil secara memuaskan maka persoalannya adalah cenderung berkaitan dengan budaya hukum serta kualitas moral sumberdaya manusianya, yang berupa pandangan, persepsi,sikap, perilaku, maupun falsafah dari para anggota masyarkat yang kontraproduktif. Terutama menyangkut budaya hukum dari mereka yang terlibat dalam penegakan hukum yang nampaknya belum sepenuhnya dapat menyesuaikan diri dengan semangat reformasi.
KESIMPULAN
Korupsi serta suap menyuap atau dalam aspek yang lebih luas dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) pada dasarnya dapat dicegah dan diberantas dengan cara-cara yang luar biasa. Yang paling pokok adalah adanya pemerintahan yang tegas, rekrutmen kepemimpinan dalam berbagai struktur dan bidang yang bersih, strategi pencegahan dan penanggulangan yang menyeluruh dan sistematis baik dari segi preventif, represif, dan detektif.
Dilain pihak perlu diberdayakan di bidang lembaga hukum, penegakan kode etik pegawai secara tegas baik di lingkungan negeri maupun swasta, serta adanya partisipasi aktif dari segala aspek masyarakat serta perlu dipertimbangkannya peningkatan kesejahteraan pegawai.
Perlu adanya pengawasan dan pengendalian yang ketat terhadap seseorang atau lembaga yang mempunyai kewenangan serta monopoli kekuasaan karena mereka dianggap sebagai sumber atau munculnya kesempatan untuk melakukan korupsi.
Tulisan Lain
Teory Biaya Produksi >>>>>>>>>> Baca
Disonansi Moral Anak Jaman Sekarang >>> Baca
Kekuatan Intelektual Lahirnya Teori Sosiologi >>> Baca
Produksi, Konsumsi, Distribusi, dan Ekonomi Kerakyatan >>> Baca
Pendekatan Konsep Ilmu, Teknologi dan Masyarakat
dalam Pembelajaran IPS di SD >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Baca