Suap dan Korupsi dalam Birokrasi

Suap dan Korupsi dalam Birokrasi

Pada umumnya masyarakat menganggap Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau birokrat sebagai pekerja yang digaji rendah oleh Negara (kecuali para pejabatnya yang mendapat tambahan pendapatan dari tunjangan jabatan yang dimiliki), memiliki etos kerja yang rendah, sistem perekrutan pegawai dilandasai dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), bidang pekerjaannya terkadang tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki, minta dilayani masyarakat dan bukannya melayani masyarakat, atau tidak bekerja penuh waktu karena pekerjaannya terlampau sedikit.

Hakekat Suap dan Korupsi

Tidak ada yang tahu persis kapan istilah suap digunakan sebagai hal yang berkaitan dengan korupsi. Jika ditilik dari kamus bahasa Indonesia, maka suap dapat berarti memasukkan sesuatu yang dilakukan seseorang ke dalam mulut orang lain. Jadi tidak ada istilah suap yang digunakan untuk diri sendiri. Contohnya, seorang ibu menyuapi anaknya dengan bubur kacang hijau. Tidak ada kalimat seperti,” saya menyuapi mulut saya dengan nasi, dengan menggunakan tangan saya sendiri”. Selain arti suap di atas ada lagi arti suap yang lain yang sama artinya dengan sogok. Kata sogok juga sebenarnya dapat berarti melakukan sesuatu kegiatan dengan menggunakan alat (misalnya kayu) untuk meraih, menjatuhkan, atau menggeser suatu benda. Contohnya, seorang anak kecil menyogok sebuah layang-layang dengan sebilah bambu yang terkait di ranting sebuah pohon agar layang-layang tersebut dapat jatuh dan diambil. Namun dalam perkembangannya ke dua istilah tersebut digunakan dalam hubungannya dengan seseorang yang melakukan tindak korupsi.

Istilah suap yang berasal dari bahasa Inggris ”to bribe” yang berarti menyuap atau menyogok. Suap-menyuap bersama-sama dengan penggelapan dana-dana public (embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi.

Korupsi sendiri berasal dari kata “to corrupt” yang berarti membusukkan, merusakkan atau membinasakan, atau dijelaskan sebagai suatu perusakan integritas, kebajikan atau asas-asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles).

Tindakan korupsi termasuk suap menyuap dianggap sebagai tindakan kriminal, sebagai suatu kejahatan yang tidak lagi dipandang sebagai kejahatan biasa atau konvensional tapi sudah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Korupsi mempunyai karakter yang sangat kriminogin yang dapat menjadi faktor pemicu munculnya kejahatan yang lain, atau bersifat viktimogin, yaitu secara potensial dapat merugikan pelbagai dimensi kepentingan, terutama menyangkut kepentingan masyarakat umum.

Dampak yang diakibatkan oleh tindak korupsi sangatlah besar dimana dalam jumlah besar secara siginifikan dapat menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, dapat merusak institusi serta nilai-nilai demokrai, nilai-nilai etika dan keadilan, diskriminatif serta mengganggu jalannya etika dan kompetisi kerja yang jujur, mencederai pembangunan serta merusak tegaknya sistem hukum.

Tindak pidana korupsi dalam skala besar jelas sangat memiliki potensi merugikan keuangan dan perekonomian Negara dalam jumlah yang besar pula yang pada akhirnya dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik suatu Negara. Tindakan korupsi skala besar bisa pula berarti bersifat multilateral dan transnasional, seperti tindakan penyuapan yang dilakukan oleh perusahaan asing yang beroperasi di suatu Negara kepada pejabat-pejabat Negara tersebut(commercial corruption).

Tidak saja dalam aspek perdagangan, tindak pidana korupsi juga merambah bidang yang lain sehingga menimbulkan bahaya terhadap keamanan umat manusia seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, hukum dan fungsi-fungsi pelayanan social lainnya. Tindakan korupsi jelas-jelas merusak mental aparatur Negara atau para birokrat. Untuk memperoleh kekayaan yang banyak, para aparatur Negara tidak malu-malu dan segan lagi melanggar sumpah jabatan serta kode etik pegawai negeri.

Dari beberapa hal tersebut di atas maka telah muncul dalam pandangan masyarakat bahwa elemen tindakan koruspi tidak perlu harus mengandung secara langsung unsur merugikan keuangan atau perekonomian Negara. Selain tindakan korupsi maka tindakan yang dianggap sejenis adalah tindakan suap-menyuap. Suap menyuap biasanya dilakukan agar tujuan yang diinginkan oleh si penyuap dapat terlaksana tanpa ada hambatan, baik hambatan waktu maupun prosedur. Dengan demikian mereka yang disuap adalah aparatur Negara yang mempunyai kewenangan dan kekuasaaan dalah hal perijinan. Agar ijin bisa diperoleh dengan cepat minimal sama dengan prosedur yang harus ditempuh, dan supaya tidak dipersulit oleh aparatur Negara yang mengeluarkan ijin maka dilakukanlah tindakan penyuapan tersebut. Kapan munculnya tindakan penyuapan? Siapa yang memulai? Untuk menjawab hal tersebut sama dengan pertanyaan lebih dulu ada, ayam atau telur. Dalam kasus penyuapan, maka biasanya pihak yang dianggap mau disuap akan menyanggah dengan argumentasi kalau tidak disuap maka tentu aparatur Negara tidak akan terggoda untuk menerima suap. Dalam hal ini dianggap pihak lain yang melakukan suap terlebih dahulu. Sebaliknya bagi si penyuap akan ada argumentasi, jika prosedur perijinan lancar maka tentu tidak tidak perlu dilakukan penyuapan. Dalam hal ini si penyuap menganggap adanya keterpaksaan dalam melakukan penyuapan.

Dalam tindakan suap menyuap maka berdampak pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, perlakukan pembedaan (diskriminatif) dengan cara memberikan penanganan secara khusus atau privilese atas dasar keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan, ketidakjujuran, perekayasaan laporan, bahaya terhadap hak asasi manusia dan lain sebagainya.

LANGKAH PENANGANAN

Seorang Presiden Bank Dunia pernah mengatakan mengenai masalah suap di Negara berkembang yang dikatakan sebagai “the cancer of developing countries” sehingga menyarankan agar dilakukan langkah penanganan untuk mengatasi dan menuntaskan permasalahan suap menyuap tersebut.

Bangsa Indonesia yang menyatakan diri sedang melakukan gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 tersebut berusaha mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN dengan melalui berbagai metode dan tindakan pada berbagai bidang yang terkait.

Dari sisi hukum maka berbagai substansi hukum telah dibuat untuk memberantas KKN serta menciptakan penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN seperti TAP MPR No. XI/MPR/1998 dan UU No. 28 Th 1999, UU. No. 31 Th. 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu untuk menunjukkan kesungguhannya dalam melawan korupsi, pemerintah Indonesia turut menandatangani UN Convention Against Corruption, Vienna, Th. 2003. Aspek yang menonjol dalam konvensi ini adalah:

(1) penekanan pada unsur pencegahan,
(2) kriminalitas yang lebih luas,
(3) kerjasama internasional, dan
(4) pengaturan lembaga asset recovery untuk mengembalikan asset yang dilarikan ke luar negeri.

Dari segi kebijakan Negara, telah dikeluarkan instruksi Presiden berupa delapan prioritas dalam upaya pemberantasan korupsi, serta berbagai upaya yang telah dilakukan Presiden dalam rangka mengakseleras pemberantasan tindak pidana korupsi. Upaya Presiden tersebut harus ditanggapi positif dan harus ditindaklanjuti oleh pejabat atau instansi yang berwenang. Memang tidak mudah untuk melaksanakan semua hal yang menyangkut upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, karena pihak yang akan terkena dampak atau yang nantinya akan ditindak karena keterlibatan dalam kasus korupsi akan berusaha untuk menggagalkan upaya Presiden tersebut.

Dilihat dari aspek hukum telah dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana atas dasar UU No. 30 Tahun 2002 dimungkinkan pula pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi yang bersifat khusus pengadilan ad hoc. Selain itu dibentuk pula komisi kepolisian, komisi kejaksaan, komisi yudisial untuk mengawasi perilaku penegak hukum.

Dari berbagai bentuk tindakan dan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut di atas yang telah dilakukan secara maksimal baik di bidang substansi maupun dari aspek hukumnya dimana apabila upaya tersebut masih di anggap gagal atau belum berhasil secara memuaskan maka persoalannya adalah cenderung berkaitan dengan budaya hukum serta kualitas moral sumberdaya manusianya, yang berupa pandangan, persepsi,sikap, perilaku, maupun falsafah dari para anggota masyarkat yang kontraproduktif. Terutama menyangkut budaya hukum dari mereka yang terlibat dalam penegakan hukum yang nampaknya belum sepenuhnya dapat menyesuaikan diri dengan semangat reformasi.

KESIMPULAN

Korupsi serta suap menyuap atau dalam aspek yang lebih luas dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) pada dasarnya dapat dicegah dan diberantas dengan cara-cara yang luar biasa. Yang paling pokok adalah adanya pemerintahan yang tegas, rekrutmen kepemimpinan dalam berbagai struktur dan bidang yang bersih, strategi pencegahan dan penanggulangan yang menyeluruh dan sistematis baik dari segi preventif, represif, dan detektif.
Dilain pihak perlu diberdayakan di bidang lembaga hukum, penegakan kode etik pegawai secara tegas baik di lingkungan negeri maupun swasta, serta adanya partisipasi aktif dari segala aspek masyarakat serta perlu dipertimbangkannya peningkatan kesejahteraan pegawai.
Perlu adanya pengawasan dan pengendalian yang ketat terhadap seseorang atau lembaga yang mempunyai kewenangan serta monopoli kekuasaan karena mereka dianggap sebagai sumber atau munculnya kesempatan untuk melakukan korupsi.

Tulisan Lain

Teory Biaya Produksi >>>>>>>>>> Baca

Disonansi Moral Anak Jaman Sekarang >>> Baca

Kekuatan Intelektual Lahirnya Teori Sosiologi >>> Baca

Produksi, Konsumsi, Distribusi, dan Ekonomi Kerakyatan >>> Baca

Pendekatan Konsep Ilmu, Teknologi dan Masyarakat

dalam Pembelajaran IPS di SD >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Baca

Perilaku dan Budaya Organisasi

Perilaku dan Budaya Organisasi

Perilaku pegawai tidak terlepas dengan budaya organisasi. Ada ahli yang mengatakan terdapat perbedaan antara budaya organisasi publik dan budaya organisasi perusahaan atau privat atau korporat. Bagaimana dengan istilah budaya korporat? Apakah ada perbedaan antara budaya korporat dengan budaya organisasi? Sebelum menjelaskan mengenai budaya korporat sebaiknya perlu diulang kembali pengertian budaya organisasi, dimana menurut Kotter dan Hesket, budaya organisasi merujuk pada nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu, bahkan meskipun anggota kelompok telah berubah. Selain pengertian tersebut, cukup banyak orang yang mendefinisikan budaya organisasi dengan berbagai macam pengertian.

Budaya korporat dapat dianggap sebagai perekat atau ikatan yang menahan suatu organisasi atau perusahaan agar bersatu. Budaya korporat menggabungkan nilai-nilai organisasi, norma-norma berperilaku, prosedur-prosedur serta kebijakan pada suatu perusahaan. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara budaya organisasi dan budaya korporat atau perusahaan, dimana budaya korporat lebih menekankan pada budaya yang terdapat pada suatu organisasi bisnis atau perusahaan. Lantas, faktor-faktor apa yang membentuk budaya korporat?

Pengaruh yang paling pokok pada budaya korporat sebenarnya adalah budaya nasional suatu negara dimana perusahaan itu berada. Namun selain hal tersebut, terdapat juga faktor lain yang turut membentuk budaya korporat misalnya pandangannya dan interaksinya dengan lingkungan atau dunia luar; struktur kepemilikan perusahaan juga berperan dalam membentuk budaya korporat (contohnya adalah budaya perusahaan keluarga kemungkinan akan berbeda dengan perusahaan bisnis lainnya); jenis atau tipe produksi yang dihasilkan perusahaan (misalnya perusahaan perangkat lunak komputer kemungkinan budayanya akan lebih informal dan berwirausaha jika dibandingkan dengan bank investasi); atau perusahaan jasa juga akan memiliki budaya yang berbeda dengan perusahaan pertambangan.

Walaupun hampir sama dengan komponen yang membentuk budaya , seperti bahasa, agama, dan humor, namun komponen budaya korporat lebih cenderung terkait dengan penerapan aspek-aspek kegiatan yang ada dalam suatu perusahaan. Masing-masing komponen tersebut secara terpisah atau secara sendiri-sendiri belum dapat menggambarkan nilai-nilai yang ada dalam suatu perusahaan. Namun demikian jika dilihat dari nilai-nilai atau sasaran perusahaan dalam membentuk budaya korporat, menurut Charles Mitchel dalam Budaya Bisnis Internasional, komponen-komponen dasar yang membentuk budaya korporat adalah sebagai berikut:

Sistem Imbal Jasa:
Contohnya adalah pegawai yang berperilaku yang bagaimana yang patut diberi penghargaan atau diberi imbalan?

Keputusan mempekerjakan:
Dalam merekrut serta mempekerjakan pegawai, apakah perusahaan dalam mencapai tujuannya lebih senang merekrut pegawai yang beragam latar belakangnya, atau agar aman, perusahaan mempekerjakan tenaga kerja yang homogen

Struktur Manajemen:
Dalam hal ini berarti bagaimana perusahaan itu dikelola, apakah dikelola oleh tim eksekutif atau didominasi oleh otoritas pimpinan perusahaan.

Strategi pengambilan resiko:
Sejauh mana perusahaan berani mengambil risiko. Apakah perusahaan senang dengan suatu tantangan pasar serta mencari peluang-peluang yang ada, ataukah telah puas dengan kondisi (baik produk atau pasar yang ada), demi amannya kegiatan perusahaannya.

Kondisi fisik:
Bagaimana kondisi ruangan kantor didesain. Apakah kantor lebih cenderung tersekat-sekat ruangannya, agar nampak kewibawaan perusahaan padahal kondisi tersebut mungkin tidak mendukung proses komunikasi yang diharapkan. Atau kantor dibuat terbuka, tanpa ada jarak yang nyata antara kantor manajemen dengan tempat kerja staf.

Mengenai pola perilaku organisasi dimana karyawan baru cenderung dan terdorong mengikuti perilaku seniornya maka untuk menambah kejelasan mengenai peran pegawai senior atau pimpinan dalam kaitannya dengan budaya kerja, maka disini akan dibahas mengenai langkah pemimpin dalam pelaksanaan program budaya kerja seperti yang ditulis oleh Triguno, dalam bukunya Budaya Kerja, yaitu:

Memberi fokus yang sama mengenai visi dan strategi perusahaan. Dengan adanya kesamaan fokus tersebut maka komitmen, sinergi dan semangat kerja organisasi dapat dilaksanakan dengan baik.

Melaksanakan penyempurnaan
Melakukan penyempurnaan adalah inti dari program budaya kerja karena dengan penyempurnaan maka perubahan-perubahan yang diinginkan akan dapat terlaksana, dimana organisasi akan mampu mempertahankan hidup dalam dunia persaingan.

Mengubah budaya
Dalam hal mengubah budaya maka pimpinan harus mampu mengubah dirinya terlebih dahulu. Pimpinan organisasi harus mau menerima tanggung jawab dalam rangka perubahan budaya . Perubahan budaya tidak mungkin dilakukan dalam sekejap waktu tetapi terjadi secara bertahap dan memerlukan waktu.

Pemimpin jangan membuat suatu kesalahan dalam tahapan pelaksanaan program budaya kerja, karena bila hal tersebut terjadi maka dapat melemahkan semangat dan menurunkan kepercayaan bawahan terhadap pimpinan.

Dalam budaya organisasi dan kinerja, menurut Susanto, dalam bukunya Budaya Perusahaan, untuk menjadikan budaya suatu perusahaan kuat, ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu:

Penyebaran nilai-nilai budaya
Tujuan dilakukannya penyebaran nilai-nilai budaya tersebut yaitu dengan maksud agar seluruh sumber daya yang terdapat dalam perusahaan itu mengetahui secara jelas tentang nilai-nilai yang terdapat didalam budaya perusahaan tersebut. Cara penyebaran nilai-nilai budaya tersebut dapat dilakuan dengan melalui orientasi tugas dan penghargaan terhadap prestasi kerja karyawan.

Tingkat komitmen anggota organisasi terhadap inti dari nilai-nilai yang ada (core values).

Komitmen karyawan terhadap nilai-nilai inti dari budaya perusahaan dapat berkembang bersamaan dengan penghargaan yang diberikan kepada karyawan. Penghargaan oleh perusahaan tersebut dapat berupa peningkatan gaji, promosi atau jenis-jenis penghargaan lainnya.

Ada kesepakatan umum bahwa tidak mudah untuk menetapkan dalam hal yang bagaimana suatu budaya dapat dikatakan baik serta dapat berfungsi baik didalam keseluruhan organisasi dimanapun. Suatu budaya dapat dikatakan baik jika cocok dengan konteksnya baik berupa kondisi obyektif dari industrinya, segmen industri perusahaan, atau strategi bisnis itu sendiri. Dengan demikian semakin besar kecocokan budaya organisasi dengan konteksnya, akan semakin baik kinerjanya, dan semakin kurang kecocokannya maka akan semakin buruk kinerjanya.

Sebuah budaya yang tidak memiliki perilaku birokratis, namun cepat dalam pengambilan suatu keputusan, akan meningkatkan kinerja dalam lingkungan yang kompetitif. Selain itu sebuah budaya yang mendukung pembuatan keputusan yang cepat, kemungkinan bermanfaat untuk perusahaan kecil tetapi sebaliknya mungkin kurang menguntungkan bagi perusahaan yang besar. Bagi budaya yang menghargai struktur hirarkis yang stabil dan tinggi, kemungkinan cocok dalam lingkungan perusahaan yang bergerak lamban, tapi akan tidak cocok dalam perusahaan industri yang bergerak secara cepat dan kompetitif. Disamping itu perusahaan kecil yang menggunakan teknologi canggih dan maju mungkin membutuhkan suatu budaya yang lain dibandingkan misalnya dengan budaya suatu perusahaan atau bank yang besar.

Bagaimana membedakan budaya yang adaptif dan tidak adaptif? Pada umumnya budaya yang tidak adaptif bersifat birokratis. Para pegawai perusahaan kurang kreatif, tidak berani mengambil risiko dan bersifat reaktif, tidak proaktif. Karena hambatan birokrasi maka informasi yang masuk tidak lancar dan mengalir dengan mudah dalam sendi-sendi organisasi. Motivasi dan inovasi tidak dapat dimaksimalkan karena adanya kontrol yang ketat dan luas. Sebaliknya, budaya yang adaptif cara pendekatan yang dilakukan adalah proaktif, mau menanggung risiko, penuh kepercayaan dan saling mendukung diantara anggota organisasi dalam memecahkan masalah, dan mau menerima terhadap perubahan dan inovasi dalam organisasi. Selain itu tipe budaya adaptif ini juga menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang membantu suatu perusahaan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah serta berusaha mencari peluang-peluang dan tantangan-tantangan baru.

Meskipun dari ketiga perspektif mengenai budaya dan kinerja perusahaan tidak ada satupun yang benar-benar memuaskan, namun mereka telah mengulas dengan cukup lengkap dan memberikan pemahaman kepada kita terhadap permasalahan mengapa suatu perusahaan lebih baik dibandingkan yang lainyya? Mungkin sebuah model yang menggabungkan ketiga perspektif tersebut lebih berpengaruh jika dibandingkan ketiganya masing-masing terpisah.

Sekarang kita beralih ke pada permasalahan, kondisi yang bagaimana yang dapat mengarah kepada budaya yang berkinerja rendah atau yang merusak kinerja ekonomi perusahaan? Terdapat 3 aspek yang nampaknya dapat berpengaruh terhadap perkembangan budaya yang tidak sehat tersebut yaitu:

1. Sifat angkuh dari seorang manajer atau pimpinan
Para manajer tidak terdorong untuk melihat dunia di luar perusahaannya dan menganggap mereka tidak perlu mencari gagasan-gagasan peluang-peluang bisnis yang baru. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh keberhasilan secara terus menerus selama bertahun-tahun dengan tingkat kegagalan perusahaan yang relatif rendah, sehingga kurang ada usaha. Kurangnya penghargaan terhadap pelanggan maupun dari manajer untuk bersikap rendah hati.

2. Pemegang saham.
Sifat yang cenderung meremehkan orang lain karena tekanan atau desakan eksternal yang kecil yang menurut mereka tekanan tersebut dapat diatasi dengan kemampuan mereka sendiri. Selain itu mereka juga cenderung tidak menghargai kritik dan menganggap mereka tidak berbeda dengan konstituensi perusahaan, yang membuat aturan-aturan dalam perusahaan.

3. Manajer kurang menghargai karyawan dan peran kepemimpinan pada berbagai level atau tingkat yang ada. Selain mereka cenderung menghambat kreatifitas dan inovasi, para manajer juga berperilaku dengan pola-pola yang sentralistis atau birokratis.
Kondisi seperti itu akan merusak kinerja ekonomi perusahaan karena para manajer tersebut tidak melakukan apa-apa dalam membantu organisasi perusahaan dalam beradaptasi dengan perubahan. Pada saat kinerja perusahaan menurun, karena tidak adanya kecocokan antara budaya dan lingkungannya, perubahan yang diharapkan tetap tidak muncul karena kombinasi dari keadaan kesombongan, kepicikan, serta kurangnya sifat kepemimpinan dari manajer.

Sebenarnya faktor utama apa yang membedakan perubahan budaya utama yang berhasil, dari perubahan yang tidak berhasil dalam suatu perusahaan? Kotter telah mengadakan studi terhadap 10 organisasi perusahaan besar diantaranya General Electric, British Airways, Nissan, ICI, SAS, Xerox, dll. Ternyata diperoleh kesimpulan bahwa kepemimpinan yang kompeten di tingkat pusat lah yang membedakan perubahan budaya utama yang berhasil dari perubahan yang tidak berhasil. Kemudian menarik untuk dilihat bagaimana latar belakang kepemimpinan pada perusahaan-perusahaan tersebut yang terkait dengan perubahan budaya ini. Latar belakang mereka dapat berasal dari dalam perusahaan atau dari luar perusahaan itu sendiri. Ada anggapan dimana peranan perspektif orang luar dalam perubahan budaya tersebut sangat penting. Keuntungan dari pemanfaatan orang luar adalah perspektif orang luar mempunyai pandangan yang lebih luas dan mampu melihat bahwa perusahaan tersebut membutuhkan perubahan yang drastis, mereka memiliki kekuatan untuk menentang aturan yang sudah mapan. Namun dalam perubahan budaya, ternyata pola yang terlihat dari studi tersebut adalah bahwa semakin besar organisasi perusahaannya, maka pemimpin baru memiliki latar belakang dari orang dalam, dengan kredibilitas, hubungan atau kemitraan, dan basis kemampuan kepemimpinan yang dimilikinya. Dari berbagai kajian dapat diasumsikan bahwa jarang suatu perusahaan mengembangkan pemimpin yang kuat atau seorang eksekutif yang berasal dari luar organisasi, dan kebanyakan organisasi menghasilkan beberapa individu yang berasal dari sumber daya orang dalam yang kuat dan kredibel.
Mengapa perubahan tersebut terjadi pada puncak kepemimpinan organisasi, dan prosesnya bukan dimulai dari tingkat yang lebih bawah, atau dengan inisiatif yang datang dari manajemen tingkat menengah atau tingkat lebih rendah.? Jawabannya adalah pertama dihubungkan dengan semata-mata faktor kesulitan untuk mengubah budaya terutama karena harus berhadapan dengan kekuatan di puncak pimpinan organisasi. Kedua, berhubungan dengan interdependensi atau saling ketergantungan di dalam organisasi dimana kondisi tersebut dapat mempersulit organisasi untuk melakukan perubahan-perubahan. Memang pada umumnya mereka yang berperan dalam melakukan perubahan organisasi adalah mereka yang berada di puncak pimpinan.

Baca Tulisan Lain

Pemerolehan Bhs Anak usia 4-6 Th >>> Baca

Ketrampilan Sosial >>>>>>>>> Baca

Birokrasi Pemerintahan >>>>>> Baca

Sejarah Filsafat Yunani >>> Baca

Evaluasi Jabatan >>>>> Baca

Klasifikasi Bank >>> Baca

Unsur-Unsur dan Bentuk Organisasi

Unsur-Unsur dan Bentuk Organisasi

Secara sederhana organisasi memiliki tiga unsur, yaitu ada orang, ada kerjasama, dan ada tujuan bersama. Tiga unsur organisasi itu tidak berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi saling kait atau saling berhubungan sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. Adapun unsur-unsur organisasi secara terperinci adalah :
1. Man
Man (orang-orang), dalam kehidupan organisasi atau ketatalembagaan sering disebut dengan istilah pegawai atau personnel. Pegawai atau personnel terdiri dari semua anggota atau warga organisasi, yang menurut fungsi dan tingkatannya terdiri dari unsur pimpinan (administrator) sebagai unsur pimpinan tertinggi dalam organisasi, para manajer yang memimpin suatu unit satuan kerja sesuai dengan fungsinya masing-masing dan para pekerja (nonmanagement/workers). Semua itu secara bersama-sama merupakan kekuatan manusiawi (man power) organisasi.
2. Kerjasama
Kerjasama merupakan suatu perbuatan bantu-membantu akan suatu perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, semua anggota atau semua warga yang menurut tingkatan-tingkatannya dibedakan menjadi administrator, manajer, dan pekerja (workers), secara bersama-sama merupakan kekuatan manusiawi (man power) organisasi.
3. Tujuan Bersama
Tujuan merupakan arah atau sasaran yang dicapai. Tujuan menggambarkan tentang apa yang akan dicapai atau yang diharapkan. Tujuan merupakan titik akhir tentang apa yang harus dikerjakan. Tujuan juga menggambarkan tentang apa yang harus dicapai melalui prosedur, program, pola (network), kebijaksanaan (policy), strategi, anggaran (budgeting), dan peraturan-peraturan (regulation) yang telah ditetapkan.
4. Peralatan (Equipment)
Unsur yang keempat adalah peralatan atau equipment yang terdiri dari semua sarana, berupa materi, mesin-mesin, uang, dan barang modal lainnya (tanah, gedung/bangunan/kantor).
5. Lingkungan (Environment)
Faktor lingkungan misalnya keadaan sosial, budaya, ekonomi, dan teknologi. Termasuk dalam unsur lingkungan, antara lain :
a. Kondisi atau situasi yang secara langsung maupun secara tidak langsung berpengaruh terhadap daya gerak kehidupan organisasi, karena kondisi atau situasi akan selalu mengalami perubahan.
b Tempat atau lokasi, sangat erat hubungannya dengan masalah komunikasi dan transportasi yang harus dilakukan oleh organisasi.
c Wilayah operasi yang dijadikan sasaran kegiatan organisasi. Wilayah operasi dibedakan menjadi : a). Wilayah kegiatan, yang menyangkut jenis kegiatan atau macam kegiatan apa saja yang boleh dilakukan sesuai dengan tujuan organisasi b). Wilayah jangkauan, atau wilayah geografis atau wilayah teritorial, menyangkut wilayah atau daerah operasi organisasi. c). Wilayah personil, menyangkut semua pihak (orang-orang, badan-badan) yang mempunyai hubungan dan kepentingan dengan organisasi. d). Wilayah kewenangan atau kekuasaan, menyangkut semua urusan, persoalan, kewajiban, tugas, tanggung jawab dan kebijaksanaan yang harus dilakukan dalam batas-batas tertentu yang tidak boleh dilampaui sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Kekayaan Alam
Yang termasuk dalam kekayaan alam ini misalnya keadaan iklim, udara, air, cuaca (geografi, hidrografi, geologi, klimatologi), flora dan fauna.

Bentuk-Bentuk Organisasi
1. Ditinjau dari Jumlah Pucuk Pimpinan
a Bentuk organisasi tunggal adalah organisasi yang pucuk pimpinannya ada di tangan seorang. Sebutan jabatan untuk bentuk tunggal antara lain Presiden, Direktur, Kepala, Ketua; di dalam struktur organisasi pemerintahan dikenal sebutan jabatan Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Walikotamadya, Camat, Lurah; dalam struktur organisasi perguruan tinggi dikenal sebutan jabatan Rektor, Dekan.
b. Bentuk organisasi jamak adalah organisasi yang pucuk pimpinannya ada di tangan beberapa orang sebagai satu kesatuan. Sebutan jabatan yang digunakan antara lain Presidium, Direksi, Direktorium, Dewan, Majelis.
2. Ditinjau dari Saluran Wewenang
a). Bentuk organisasi jalur adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam semua bidang pekerjaan, baik pekerjaan pokok maupun pekerjaan bantuan.
b). Bentuk organisasi fungsional adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam bidang pekerjaan tertentu; pimpinan tiap bidang berhak memerintah kepada semua pelaksana yang ada sepanjang menyangkut bidang kerjanya.
c). Bentuk organisasi jalur dan staff adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam semua bidang pekerjaan baik pekerjaan pokok maupun pekerjaan bantuan; dan di bawah pucuk pimpinan atau pimpinan satuan organisasi yang memerlukan diangkat pejabat yang tidak memiliki wewenang komando tetapi hanya dapat memberikan nasehat tentang keahlian tertentu.
d). Bentuk organisasi fungsional dan staff adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam bidang pekerjaan tertentu, pimpinan tiap bidang kerja dapat memerintah semua pelaksana yang ada sepanjang menyangkut bidang kerjanya; dan di bawah pucuk pimpinan atau pimpinan satuan diangkat pejabat yang tidak memiliki wewenang komando tetapi hanya dapat memberikan nasehat tentang bidang keahlian tertentu.
e). Bentuk organisasi fungsional dan jalur adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam bidang pekerjaan tertentu, pimpinan tiap bidang kerja berhak memerintah kepada semua pelaksana yang ada sepanjang menyangkut bidang kerjanya; dan tiap-tiap satuan pelaksana ke bawah memiliki wewenang dalam semua bidang kerja.
f). Bentuk organisasi jalur, fungsional dan staff adalah organisasi yang wewenang dari pucuk pimpinan dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam bidang pekerjaan tertentu, pimpinan tiap bidang berhak memerintah kepada semua pelaksana yang ada sepanjang menyangkut bidang kerjanya; dan tiap-tiap satuan pelaksana ke bawah memiliki wewenang dalam semua bidang kerja; dan di bawah pucuk pimpinan atau pimpinan bidang diangkat pejabat yang tidak memiliki wewenang komando tetapi hanya dapat memberikan nasehat tentang bidang keahlian tertentu.

Baca  Tulisan Lain

Masalah Utang Luar Negeri >>> Baca

Membahas Privatisasi BUMN >>>>>>>>> Baca

Gambaran Umum Penganggaran Perusahaan >>> Baca

Pengetahuan Dasar dan Keterampilan Musik untuk TK>>> Baca

Perusahaan Transnasional dan Pembangunan Industri >>>>>>>> Baca

Kas, Piutang, Persediaan, Utang, Investasi, Saham dan Obligasi>>> Baca