PTK (CLASSROOM ACTION RESEARCH)

PTK (CLASSROOM ACTION RESEARCH)

Keberhasilan pengajaran dalam meningkatkan pemahaman materi-subjek yang utuh dan kritis berhubungan erat dengan upaya pengajar dan pembelajar untuk mengkonstruksi kerangkaberpikir bersama. Upaya mengkonsruksi tersebut diwujudkan melalui interaksi kognitif komponen-komponen materi-subjek, pengajar, dan pembelajar dalam bentuk kegiatan dialog dan argumentasi dari proses belajar– mengajar .

Istilah materi-subjek, pengajar, dan pembelajar, disatu pihak, dan mengkonstruksi dilain pihak, masing-masing adalah totalitas dan logika -internal dari PBM. Interaksi dari ketiga komponen totalitas tersebut berlangsung berdasarkan hubungan ketergantungan yang saling menguntungkan dengan melihat setiap komponen sebagai kewenangan wacana menurut posisinya masing-masing. Kewenangan pelajar adalah sebagai pengendali yang berkaitan dengan tugas menyelaraskan materi-subjek untuk meningkatkan interaksi kelas. Kewenangan pelajar adalah sebagai pemula yang berkaitan dengan tugas memahami nilai kebenaran dari materisubjek melalui interaksi kelas. Kewenangan materi-subjek adalah sebagai rujukan nilai
kebenaran bagi interaksi kelas karena peranannya sebagai wakil disiplin ilmu.

Beberapa dasar penting dari penelitian kelas perlu dikemukakan terlebih dahulu untuk membuka jalan kepada penelitian kelas untuk berkembang mandiri. Kemandirian ini dimungkinkan oleh domain, epistemology, dan metologi penelitian kelas yang khas dan terpisah dari penelitian standar. Kemandirian tersebut bersumber dari pandangan bahwa PBM adalah penomena wacana yang secara mendasar mempunyai system kemaknaan melebihi penomena alamiah yang membatasi diri pada kemaknaan pisik. Contohnya, dalam penelitian IPA penggunaan metapor (model visual) dianggap mengurangi ketetapan eksplanasi, sedangkan dalam wacana metapor merupakan instrument sosial untuk mengungkapkan makna kesehariharian yang lebih mendalam.

Penerapan penelitian standar dalam PBM dalam demikian perlu dihindari karma merupakan tindakan yang kurang hati-hati dan kurang menghargai hakekat kompleksitas masalah. Dalam penomena alam, tidak dilibatkan aspek kejiwaan sedangkan dalam wacana ini merupakan tugas mendasar yang perlu diungkapkan yang diterimakan sebagai motif (niat, keinginan, intuisi, keyakinan, dsb). Perbedaan ini secara epistemology menghendaki metodologi dan pada akhirnya system eksplanasi yang melibatkan dasar-dasar wacana untuk mengungkapkan motif tersebut. Penelitian standar yang mengabaikan aspek motif ini juga mengabaikan sipat dasar kewacanaan PBM.

A. Apakah Penelitian Tindakan Kelas Itu ?
Sejalan dengan umur penelitian kelas yang masih relatip muda, aspek metodologi juga menjadi isu penting, karma berkaitan erat dengan sejuah mana penelitian kelas dapat dipertahankan jika di ingat bahwa kehadirinnya merupakan reaksi terhadap tradisi penelitianstandar yang telah mapan. Pandangan lintas disiplin yang mendasari penelitian-kelas nampaknya masih harus menghadapi sekat-sekat disiplin keilmuan yang masih terlalu kuat dipertahankan. Cukup mengherankan, umpamanya, melihat bahwa Hand book of Research on Science Teaching and Learning (Gabel, 1994) tidak menyinggung penelitian-kelas. Dasar pandangannya yang memisahkan mengajar dari belajar kiranya masih dominant cukup menjadi hambatan bagi seseorang yang mendalami PBM.

Pandangan Pakar Eksakta

Tidak dilibatkannya penelitian kelas dalam Hand book of Research on Science Teachingand Learning menunjukan suatu ketidak-perdulian yang cukup serius terhadap realita permasalahan yang dihadapi pengajar dilapangan. Sebagai buku rujukan bagi penelitian pendidikan science, keadaan tersebut merupakan ketidak-perdulian profresional yang cukup mengkuatirkan. Kekurang-perdulian tersebut terlihat dari :

(1) Kurangnya penghargaan terhadap kompleksitas dari PBM sehingga tidak merasa perlu melibatkan penelitian lainnya yang secara metodologi tidak sejalan dengan pandangan penelitian standar. Penelitian pengajaran MIPA dianggap perlu sejalan dengan penelitian standar, karma kemiripan substansi dari penelitian, yaitu MIPA, yang kiranya suatu kekeliruan, karma PBM bukanlah penomena alamiah seperti halnya MIPA, melainkan penomena wacana.

(2) Lebih mendasar, kurangnya pandangan mengenai totalitas dan logika internal yang mengendalikan PBM, karma terlalu ketatnya hubungan antara kegiatan penelitian dengan kegiatan observasi. Inpomasi yang diperoleh adalah hasil observasi langsung dianggap sebagai data atau pakta untuk menunjang suatu klaim dilain pihak, penelitian sosial tidak dapat langsung menjadikan inpormasi hasil observasi menjadi data, melainka baru merupakan sumber data yang masih diperhalus menjadi data. Kompleksitas dari sumber data tidak memungkinkannya dapat langsung diambil menjadi data.

Mengingat telah membudayanya penelitian-standar secara meluas pertanyaan mengenai bagaimana membebaskan diri dari pandangannya merupakan pertanyaan yang mendasar bagi penelitiaan kelas. Tanpa disadari, dalam melaksanakan penelitian kelas, peneliti cenderung membaurkannya dengan penelitiaan standar. Sebagai contoh, konsep sample masih digunakan oleh sementara pakar penelitian-kelas (lihat, Hopkins, 1989; Garnett dan Treagust, 1992) karna masih kuatnya asosiasi pekerjaan meneliti dengan tugas membuat generalisasi. Keadaan ini perlu disayangkan karna asosiasi semacam ini kurang menghargai pandangan dasar penelitian-kelas.

Walaupun demikian, penelitian-kelas dibelakangan ini telah mulai memperlihatkan kontribusinya terhadap pemahaman PBM yang ilaksanakan secara actual didalam kelas (lihat contohnya, Geddis, Onslow, Beynon, dan Oesach, 1992;Valeras, 1996). Kontribusi tersebut terwujud melalui hasil temuan yang menggambarkan totalitas kehidupan kelas sebagai hubungan ketergantungan antara pengajar, pembelajar, dan materi subjek. Pengertian hasil temuan didalam penelitian ini kiranya sangat berbeda bagi seseorang yang melakukan penelitian dengan tradisi formalistic. Bagi penelitian naturalistic, hasil temuan berupa pemahaman dan pengukuhan yang mendalam mengenai kehidupan kelas dapat menjadi dasar untuk menjelaskan isu serupa, bukannya mengklaim bahwa hasil temuan berlaku bagi populasi tertentu.

Konstruksi Pengetahuan Sebagai Tugas Utama PBM

Studi mengenai kehidupan kelas pada akhirnya harus memperlihatkan logika-internal PBM yang dapat diungkapkan berdasarkan motif atau tema pokok yang mengendalikan hubungan ketergantungan komponen-komponen pengajar, pembelajaran, dan materi-subyek. Fungsi motif hanya dapat diungkapkan dengan melihat PBM sebagai fenomena wacana, karena totalitas kegiatan yang membentuk hubungan ketergantungan tersebut berlangsung menggunakan bahasa untuk berlangsungnya interaksi. Unit-unit tindakan yang membentuk kegiatan tersebut merupakan unit-unit wacana yang juga merupakan unit analisis bersama setiap komponen dalam hubungan antar-ketergantungan tersebut. Adanya unt analisis bersama ini merupakan fasilitas untuk mengungkapkan hubungan antar-ketergantungan dari komponenkomponen dalam PBM.

Untuk memahami lebih dekat bagaimana kiranya proses mengkonstruksi pengetahuan berlangsung, diperlukan metodologi tersendiri yang dikembangkan berdasarkan pemahaman terhadap permasalahan PBM. Metodologi ini pada dasarnya adalah suatu enkuari hasil pengembangan etnografi berdasarkan sifat dasar wacana dari totalitas PBM. Etnografi adalah suatu metoda antropologi untuk mengungkapkan suatu fenomena yang berada dalam situasi, tempat, dan kondisi suatu budaya tertentu. Sebagai suatu enkurasi, etnografi bukan hanya sekedar metoda untuk memperoleh dan merekam sumber data, melainkan suatu pendekatan yang perlu disesuikan dengan analisis wacana. Observasi sebagai instrumen utama perlu diperdalam dengan hasil interviu terhadap guru, hasil pekerjaan pembelajar, yang keseluruhannya perlu terlebih dahulu direkam untuk memungkinkan analisis berdasarkan satu sistim deskriptif dari totalitas PBM. Istilah penelitian-kelas digunakan sebagai istilah umum untuk merujuk berbagai metoda penelitian lapangan tersebut yang membentuk sistim deskriptif tersebut. Jika dapat diartikulasikan secara teoretis, pengetahuan dari hasil penelitian-kelas dapat menjadi sumber pengetahuan lapangan untuk melengkapi pengetahuan formal pengajar yang sudah ada. Usaha ini hanya dapat dilakukan melalui penelitian-kelas, karena dalam mengembangkan pengetahuan formalnya, peneliti perlu mengenal isu lapangan yang diminati dan perlu bersikap berhati-hati dalam menerapkan teori formal yang belum mengenal makna kesehari-harian dari pelaksanaan PBM.

Definisi Penelitian Tindakan Kelas

Deskripsi penelitian kelas pada bagian sebelumnya meletakkan dasar bagi definisi pendahuluan penelitian tindakan kelas; definisi yang lebih ketat dan formal sebenarnya masih terlalu sulit karena konsep mengenai penelitian kelas itu sendiri berkembang mengikuti pemahaman yang semakin mendalam. Diantaranya, menyangkut masih belum memadainya deskripsi metodologi karena masih perlu mempertimbangkan inti permasalahan PBM. Jadi, untuk sementara, definisi yang cukup memadai adalah bahwa; Penelitian tindakan kelas adalah suatu upaya untuk menjelaskan berbagai aspek dari hubungan antar-ketergantungan materi-subyek, pembelajar, dan pengajar sehubungan dengan isu totalitas dan logika-internal dari tugas social mengkonstruksi pengetahuan dari PBM. Upaya untuk memahami PBM diwujudkan melalui observasi langsung/tak-langsung, dan interviu menurut lingkungan alamiah PBM mengikuti kehati-hatian pandangan naturalistic dalam menjaga agar dampak intervensi dapat ditekan sampai sekecil mungkin. Agenda pengamatan seyogianya didasari oleh teori tertentu agar pengumpulan data dapat mengacu pada sistim deskriptif tertentu. Sistim ini merupakan perwujudan dari pandangan totalitas dalam menerapkan metodologi penelitian kelas.

B. Mengapa PenelitianTindakan Kelas?

Alasan utama beralihnya pandangan pakar pendidikan kepada penilitian tindakan kelas berawal dari keinginan untuk menyeimbangkan penilitian standar dengan penilitian lapangan nyata dari tugas mengajar. Temuan-temuan dalam penelitian standar hanya menghasilkan eksplanasi sepihak dan terbatas mengenai PBM; jadi, sebenarnya kurang memadai sebagai dasar untuk merencanakan untuk merencanakan dan merealisasikan proses PBM. Penelitian standar ini perlu dilengkapi dengan penelitian lapangan, diantaranya dengan fungsi konteks belajar-mengajar dalam kehidupan kelas sehari-hari.pengajar dilapangan sebenarnya mempunyai pengetahuanpraktis mengajar yang perlu dipadukan dengan pandangan teoritis PBM.

Sejarah mengenai penelitian pengajaran menurut isu keefektivan dan proses dan produk merupakan pelajaran berharga dari peneliti tidak mengulangi kekeliruan yang menimpa berbagai metoda belajar-mengajar berdasarkan isu tersebut. Di antaranya, kasus yang menimpa teknologi instruksional berupa pembelajaran berprogram adalah kekeliruan karena membatasi proses belajar pada prilaku nampak. Kasus yang menimpa pengajaran bahasa metoda audiolingualism
yang pada awalnya dihargai sebagai teori yang paling maju di dalam linguistic dan psikologi prilaku, berakhir dengan jalan buntu. Metoda audiolingualism adalah metoda yang dikembangkan berdasarkan teori yang cukup maju dari linguistic dan psikologi behaviorisme
(lihat Hambatan Metodologi, bab 2) yang walaupun cukup berhasil dalam latihan bahasa kemiliteran tetapi kurang berhasil dalam pengajaran kelas. Pembelajar cepat bosan oleh latihan berulang-ulang yang menjadi kegiatan utama, dan, lebih mengecewakan, pembelajar sebenarnya tidak memperoleh tambahan pengetahuan dari apa yang telah dikuasai (Allwright dan Bailey, 1991).

Dominasi penelitian-standar berdampak kurang menunjang keperdulian terhadap kesulitan dan hambatan nyata yang dihadapi oleh pengajar. Penelitian pendidikan standar umumnya dilaksanakan berdasarkan keperdulian pakar-luar berdasarkan isu keefektivan, dan proses dan produk. Isu ini tidak bersifat intrinsic terhadap permasalahan dalam totalitas dan logika internal PBM. Pakar tersebut, terutama kurang menghargai keutuhan masalah PBM terlihat dari upayanya yang terlalu memusatkan diri pada peranan pembelajar, peranan komponen pengajar dan komponen materi-subyek kurang dilibatkan. Orientasi penelitian-standar adalah untuk memenuhi keperluan institusi atau birokrat akan informasi untuk mendasari suatu kebijakan; bukan untuk memahami dan menolong pengajar memecahkan masalah nyata yang dihadapi di dalam kelas. Orientasi ini juga berhubungan dengan tujuan dasar, yaitu, mengukuhkan nilai empiric dari teori tertentu yang diwujudkan dalam bentuk antar-hubungan yang cukup terbatas dari variable-variabel penelitian. Variabel tersebut berkaitan erat dengan sifat populasi tertentu terlepas dari kekhasan anggota-anggota populasi. Validitas hasil-tamuan ditentukan oleh criteria seberapa jauh pengambilan sample mewakili populasi.

Kriteria dalam melaksanakan penilitian-standar tertuju pada kualitas desain, pengukuran variabel, pengolahan data secara statistic, dan tinjauan cermat atas data yang juga berfungs sebagai bukti. Hipotesis dirumuskan untuk menunjukkan bahwa kesahihan hasil-temuan dicapai jika mendapat dukungan statistic. Hipotesis yang dikukuhkan diasumsikan berlaku terhadap populasi atau kondisi yang sama dengan yang teliti. Keunggulan yang dicoba dikukuhkan adalah bahwa penelitian-standar ini mampu memanpankan bukti secara objektif dengan menghindari subjektifitas dan keputusan berdasarkan nilai tertentu. Dengan demikian konklusi yang sama akan diperoleh jika seseorang ingin melakukan replikasi dari penelitian tersebut.

Keadaan diatas berdampak hilangnya kekuatan intellektual dari penelitian pendidikan; peneliti kurang mempunyai keperdulian terhadap logika-internal yang sebenarnya merupakan sumber dari permasalahan. Kebanyakan penelitian dilaksanakan sebagai tugas admistratif untuk memperbaiki pengajaran terlepas dari masalah yang lebih mendasar yang dihadapi oleh pengajar.

Peneliti tidak berupaya untuk melihat lebih jauh permasalahan yang dihadapi melebihi daripada sekedar permasalahan teknis. Logika-internal dari PBM dari yang merupakan sumber dari problema dan sebenarnya yang perlu diteliti, umumnya lepas dari perhatian peneliti, keadaan ini dapat dipahami karena metodologi untuk mengungkapkannya praktis belum secara menyeluruh diupayakan.

Tujuan Dasar PenelitianTindakan Kelas

Penelitian tindakan kelas mencoba mewujudkan keingintahuan peneliti secara utuh mengenai apa sebenarnya yang terjadi di dalam kelas melalui observasi kegiatan PBM. Peneliti kelas mempunyai lahan tersendiri dan secara metodologi dan teoretis berbeda dari penelitian standar.

Terdapat dua tujuan yang ingin dicapai oleh penelitian kelas.
(1) Mencoba mengatasi kesulitan yang dialami oleh studi tindakan (action research) dengan menjaga pekerjaan tetap konsistensi terhadap dasar teori tertentu.

(2) Mengembangkan penelitian yang tidak terjangkau oleh penelitian standar; yaitu, kehidupan nyata didalam kelas sebagai dunia mikro pendidikan yang dicoba diungkapkan menggunakan metodologi tertentu dengan melihatnya sebagai upaya mengkonstruksi pengetahuan.

Tujuan pertama dapat dicapai dengan menggunakan studi etnografi sebagai dasar, karena pada awalnya sudah berpandangan konstruktivisme (Mahoon, 1977). Studi ini melihat bahwa kegiatan di dalam kelas merupakan dunia tertentu dari tugas mengkonstruksi pengetahuan oleh pengajar dan pembelajar. PBM dipelajari berdasarkan rumusan yang sudah mapan mengenai subyek / atau kejadian-kejadian pengajaran sehubungan dengan tuntutan pemahaman atas materisubyek.

Dunia tersebut perlu dipertahankan sebagai target esensial untuk memahami proses pendidikan. Hasil pemahaman yang cukup memadai dalam bentuk logika internal PBM merupakan dasar pemetaan dan pendalaman masalah disatu pihak dan juga saran penyelesaiannya dilain pihak. Tujuan kedua dicapai melalui pengungkapan totalitas PBM berupa upaya untuk menggali permasalahan nyata yang dihadapi oleh pengajar. Kriteria ini kurang diperdulikan dalam penelitian-standar maupun kajian tindakan.

Dari perbedaan diatas, dapat dilihat bahwa sebenarnya penelitian kelas dan penelitian standar mempunyai domain dan dasar teori yang berbeda. Domain penelitian kelas adalah dunia mikro sedangkan domain penelitian standar adalah dunia makro dari pendidikan. Dari aspek
pengembangan teori, penelitian kelas masih perlu membatasi diri pada tugas mendeskripsi PBM dan memanpankan pengetahuan praktis mengajar guru; penelitian standar dilain pihak lebih menekankan pada tugas membuat pengukuhan mengenai aspek-aspek terpisah dari PBM untuk kepentingan pengelolaan institusional atau birokrat.

Jadi, perbedaan penelitian kelas dan penelitian standar bukan perbedaan kualitas, dan bukan juga perbedaan jenis (genre). Perbedaan ini berarti, kedua pandangan ini tidak bisa dipadu (sintesa) menjadi satu pandangan walaupun ini tidak menutup kemungkinan penggabungannya di dalan satu studi. Tetapi lebih penting, metodologi yang mendasari penelitian-kelas tidak perlu dijelaskan dan didukung oleh metodologi penelitian standar. Kemandirian penelitian kelas merupakan kondisi yang perlu diyakini oleh peneliti, yaitu, secara domain, metodologi, dan teori terpisah dari dasar penelitian standar. Keyakinan ini diperlukan agar dalam mengembangkan diri calon peneliti tidak disusahkan oleh kekuatiran mengenai perbedaan ini.

Masing-masing penelitian tersebut mempunyai dasar yang berbeda dalam memperkirakan keabsahan hasil tamuan. Jika dalam penelitian standar keperdulian utama adalah perluasan klaim melalui pengukuhan probabilistic (stastistik), dalam penelitian kelas keperdulianya adalah pendalaman interpretasi terhadap fenomena berdasarkan keterpaduan (coherency) eksplanasi yang dikembangkan.

Mengembangkan Pengetahuan-praktis Pelajar

Dengan demikian pandangan naturalistic kiranya cukup memadai walaupun ini perlu dipertajam dengan pandangan sosial (khususnya analisis-wacana) sebagai dasar metodologi untuk mengembangkan kriteria totalitas, dan dasar teoretis untuk meletakkan dasar keabsahan dari proses mengkonstruksi pengetahuan dari PBM.

Dasar analisis-wacana memberikan kemudahan dalam mengembangkan mendeskripsi pendahuluan mengenai interaksi belajar-mengajar; dasar argumentatif wacana memberikan kemudahan untuk memperdalam dan menguji keterpaduan eksplanasi yang dirumuskan sebagai jawaban terhadap masalah. Keterpaduan eksplanasi dikembangkan berdasarkan model Argumentasi Toulmin (1958).Sejalan dengan tugas pengungkapan makna, model ini yang menggunakan aspek substantif sebagai dasar untuk mengembangkan eksplanasi. Model ini membuka jalan untuk mendeskripsikan variasi dalam mengkonstruksi pengetahuan materisubyek dalam kehidupan kelas sehubungan dengan criteria totalitas dari kegiatan belajarmengajar. Yang dimaksud dengan peranan teori dalam penelitian kelas adalah dalam konteks theorizing yang mendekati PBM dalam rangka merefleksikan secara sistematik dan kritis mengenai pelaksanaan mengajar.

Upaya untuk secara sistematik dan krisis melibatkan dasar filosofi, penggunaan bukti, dan rujukan terhadap teori. Tetapi tidak ada alasan bahwa pekerjaan tersebut akan berakhir dengan teori. Penelitian kelas berkenaan dengan menolong pengajar untuk berteori, yaitu, berpikir lebih sistematik, kritis, dan inteligen mengenai praktek mengajar

Walaupun pandangan dari definisi tersebut sudah mirip dengan penelitian kelas dalam buku ini, disayangkan bahwa pandangan mengenai fenomena PBM sebagai wacana untuk merumuskan totalitas dan logika internal belum menjadi perhatian. Dengan bekal diatas, tujuan pragmatis dari penelitian kelas untuk mendeskripsikan dunia yang dikonstruksi di dalam kehidupan kelas dapat diarahkan pada pendalaman pemahaman. Tugas mengajar dan bagaimana pengetahuan-praktis guru berkembang dapat dideskripsi lebih cermat daripada sekedar pengamatan. Seperti halnya dalam profesi kedokteran dimana studikasus merupakan sumber data bagi pengembangan ilmu, hal ini kiranya juga berlaku untuk profesi pendidikan. Pengetahuan-praktis pengajar yang dibangun dari pengalaman yang cukup lama dapat menjadi sumber pengetahuan untuk melengkapi pengetahuan formal para pakar pendidikan.

Untuk mewujudkan tujuan di atas, pengetahuan-praktis pengajar berpengalaman (‘the wisdom of practice; Shulman,1986) perlu didokumentasi untuk merumuskan bagaimana pengetahuan tersebut berkembang mulai dari pengajar pemula hingga hingga menjadi pengajar ahli. Selama ini, Pengetahuan-praktis pengajar kurang dikembangkan menjadi pengetahuan formal, karena belum dikodifikasi (tacit knowledge). Ini menyebabkan pengajar berpengalaman sukar mengungkapkan pengetahuannya kepada pengajar pemula. Jika ini dapat diatasi, jangka waktu untuk menjadi guru ahli yang berkisar 10 hingga 15 tahun dapat dipersingkat berdasarkan pengetahuan-praktis tersebut.

C. Apa Kendala dalam Penelitian Tindakan Kelas
Kompleksitas dari PBM merupakan beban mental yang cukup berat, yang membawa pengembangan penelitian kepada situasi yang sulit, terutama dalam aspek metodologi. Secara intutif, kecanggihan metodologi penelitian tindakan kelas perlu melebihi kerumitan masalahmasalah yang muncul dalam kehidupan kelas. Seyogianya, metodologi tersebut harus mampu mendeskripsikan tidak saja setiap komponen PBM tetapi juga, terutama, menjelaskan interaksi komponen-komponen tersebut yang masih beragam oleh peranan konteks, budaya, dan nilai lingkungan. Metodologi yang hanya mampu menganalisis salah satu aspek saja adalah metodologi yang ‘tumpul’ yang tidak memberikan gambaran utuh mengenai suatu permasalahan. Kerumitan masalah kiranyan perlu juga diimbangai dengan metodologi yang canggih yang mengenal kerumitan permasalahan.

Tiga kesukaran dalam metodologi penelitian tindakan kelas dapat dirumuskan sehubungan dengan kerumitan dari PBM.

(1) Perlunya suatu model empiric yang dapat memetakan PBM berdasarkan komponen pelaku, interaksi komponen, dan konteks dari proses.
(2) Norma dan nilai yang berubah-ubah menurut sekolah dan kelas perlu dipisahkan menurut langsung-tidaknya peranannya terhadap PBM. Pemisahan ini membantu dalam mendokumentasi hasil penelitian.
(3) Fungsi evaluatif dari penelitian, karena kehidupan kelas menyangkut nilai dan norma yang diaktualisasikan sebagai budaya kelas, perlu dilihat sebagai isu terpisah.

Dapat dimengerti mengapa banyak penelitian yang mencoba menghindari kesukaran di atas karena alasan bahwa norma dan nilai sukar diobservasi dan bahkan bersipat maya (elusif). Kondisi ini kurang sejalan dengan pandangan penelitian standar yang mensyaratkan bahwa obyek penelitian harus dapat diamati, dimanipulasi, dan diukur. Pandangan sederhana ini telah membawa upaya untuk memahami kehidupan kelas kurang berkembang.

Proses wacana dalam mengkonstruksi pengetahuan selalu melibatkan motif (Mathiesen, 1994), tetapi pandangan ini bersifat kontradiktif dengan criteria dalam penelitian standar. Karena: Penelitian tindakan kelas (oleh penelitian standar) tidak bertujuan, dan sebenarnya tidak mampu, memanpankan “fakta” dalam pengertian yang sederhana sekalipun, tidak juga “fakta” dapat langsung menjurus pada kebijakan atau pelaksanaan yang dapat memperbaiki nasib manusia (Biddle dan Anderson, 1986).

Kurang berhasilnya penelitian standar mengatasi ketidak-mampuan tersebut disebabkan oleh penggunaan metodologi yang kurang potensil menangani sifat elusive fakta yang selalu merupakan permasalahan. Walaupun demikian, peneliti perlu tetap mengusahakan pengungkapan masalah dalam kelas meningkatkan kemampuan metodologi untuk membuat perkiraan yang cukup beralasan. Peneliti perlu meyakini bahwa suatu penelitian yang walaupun belum sempurna tetapi berupaya memecahkan masalah nyata dapat meningkatkan citra profesional yang lebih baik daripada sikap ketidak-perdulian profesional.

Mendeskripsikan Pengetahuan, Nilai dan Norma

Sifat data dari PBM yang elusive merupakan sumber kesulitan dalam mengembangkan penelitian-kelas,; yaitu, pengamatan PBM tidak dapat menghasilkan perumusan langsung mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pengajar. Dengan hanya meminta pengajar untuk menyatakan apa yang diyakini dan diketahuinya tidak menjamin bahwa apa yang dilaporkan dapat mengungkapkan pandangannya yang lebih mendalam. Mengabaikan kemungkinan seseorang mencoba memberi ‘kesan’ pandai, menimbulkan kesukaran dalam memperkirakan apa yang dilaporkan. Jikapun tersedia cara tertentu untuk melaporkan proses mentalnya, ini masih dipersulit oleh peristilahan yang belum dikodifikasi untuk memungkinkan berlangsungnya suatu komunikasi.

Belum ada solusi teoretis yang cukup memadai untuk mengembangkan suatu metodologi yang mampu merumuskan hasil observasi sebagai fakta. Metodologi yang ada mungkin belum mampu mengungkapkan bagaimana pengajar memikirkan pekerjaan mereka. Sebaliknya, pengajar juga kurang mampu mengungkapkan keragaman pandangan yang digunakannya untuk berbagai konteks. Keadaan ini digambarkan oleh Schwab (1959) sebagai kesenjangan konseptualisasi: Konsep yang dikembangkan oleh pihak akademisi kurang lentur dalam mendeskripsikan pengetahuan-praktis pengajar.

Pendekatan terhadap Permasalahan

Kesulitan di atas juga berdampak pada upaya untuk menentukan pendekatan terhadap permasalahan. Keadaan ini masih dipersulit oleh keaneka-ragaman komponen dalam PBM, terutama, komponen pengajar yang dapat beragam menurut umur, jenis kelamin, pengalaman, kemampuan, dlsb, yang keseluruhannya menyebabkan keragaman dalam PBM. Tetapi asumsi bahwa PBM meruoakan fenomena wacana memudahkan perumusan pendakatan karena memungkinkan lapis-lapis permasalahan dirumuskan menjadi tema-tema berdasarkan sumber data transkrip dari PBM. Sumber ini adalah hasil pengalihan rekaman audio dari interksi verbal PBM menjadi rekaman tertulis berdasarkan analisis wacana. Sebagai sumber data, kelengkapan data dapat terpelihara; pengungkapan PBM dan keutuhan aspek-aspek social, budaya, dan pengetahuan yang mengendalikan proses tersebut tetap terpelihara kewajarannya. Dilengkapi dengan sumber data lain seperti hasil observasi, dan interview, tugas mengungkapkan kehidupan kelas dapat lebih rinci dalam mendeskripsikan totalitas dan lebih menggali informasi yang merupakan karakteristik dari logika-internal PBM.

Data Implikatif vs. Data Observasi

Kesulitan di atas membawa kepada pandangan terhadap sifat dasar data dalam penelitiankelas yang perlu dipahami oleh peneliti. Seperti telah dikemukakan, data dalam penelitian-kelas bukan hasil observasi langsung, melainkan hasil implikasi dari sumber data. Keragaman dalam norma, nilai dari materi-subyek dalam penelitian-kelas merupakan kondisi yang perlu disadari yang menuntut kehati-hatiannya terhadap data langsung hasil observasi. Disamping sifatnya yang elusif setiap jenis data merupakan aspek tertentudari kegiatan belajar-mengajar. Kesimpulan langsung berdasarkan salah satu aspek tidak menggambarkan totalitas permasalahan; kesimpulan ini masih perlu dilihat hubungannya dengan aspek lain.

D. Bagaimana Mengatasi Kendala dalam Penelitian Tindakan Kelas
Kerumitan masalah PBM seperti yang dikemukakan di bagian seblumnya menjelaskan mengapa penelitian-kelas kurang berkembang sebagai kegiatan penelitian yang mpan. Akan tetapi alas an kerumitan masalah kiranya kurang tetap sebagai dasar untuk menghindari penelitian-kelas. Alasan ini mengarah pada ketidak-perdulian profesional yang sebagaimana sudah menggejala dapat menyulitkan kewibawaan pengajar dan institusi pendidikan guru dalam membina kewenangan professional untuk menyelesaikan berbagai masalah pengajaran.

Sebagai upaya awal untuk mengatasi kendala di atas, para peneliti perlu menghargai dasar intelektualitas dari pekerjaan mengajar. Dari pihak pakar pengajaran, diperlukan suatu sikap yang menghargai pengetahuan-praktis pengajar dan keinginan untuk memahaminya. Dari pihak pengajar, diperlukan upaya yang cukup tekun untuk mengartikulasi pengetahuan-praktis mengajar yang sama kedudukannya dengan pengetahuan formal mengajar. Seperti halnya dalam profesi kedokteran, pengembangan ilmu kedokteran mendapat banyak masukan dari pekerjaan dokter-dokter di lapangan, demikian juga hendaknya dengan pengembangan ilmu pengajaran perlu didukung oleh pengetahuan praktis-mengajar

Metodologi Naturalistik

Belum tersedianya suatu prosedur penelitian yang menyeluruh dan praktis merupakan kendala yang cukup menyulitkan bagi calon peneliti dalam penelitian-kelas. Dilain pihak, prosedur yang dikemukakan dalam buku teks penelitian-standar masih sukar diterapkan, karena perbedaan pandangan mengenai fungsi dan jenis data. Penelitian kelas melibatkan wacana dan materi-subyek yang melibatkan data verbal yang tidak dapat langsung berfungsi sebagai data.

Analisis data verbal memerlukan interpretasi, subyektif, berupa interviu, mengenai peranan konteks dan kelokalan makna. Peranan ini perlu dikaitkan dengan tindakan guru atau pembelajar untuk memungkinkan pemahaman yang utuh dan mendalam mengenai PBM. Prosedur tersebut perlu terlebih dahulu diorganisasi ke dalam suatu rancangan penelitian naturalistic. Usaha ini dipermudah dengan mempelajari jenis-jenis penelitian tindakan kelas yang telah mapan dilaksanakan dalam lahan permasalahan PBM. Diantaranya yang telah dibuat sistematikannya adalah penelitian (mis) konsepsi, pemecahan masalah oleh pembelajar mengenai topik tertentu eksplanasi pengajar, pengajaran remedial.. Lahan-lahan penelitian ini menggunakan metodologi tertentu yang cukup mapan yang karena keabsahannya telah diterima dalam journal penelitian.

Penggunaan Metoda Ganda
Kerumitan pelaksanaan penelitian-kelas menuntut bahwa metodologi yang digunakan perlu melibatkan metoda-ganda yang dibahas tersendiri (bab 4). Metoda ini adalah presedur untuk menentukan dan merekam sumber data berdasarkan instrument yang berbeda tetapi keseluruhannya merujuk kepada suatu system deskriptif tertentu. Diantaranya metoda yang cukup mendasar adalah:

(1) Data tes tertulis
(2) Perekaman data verbal secara audio dan kalau memungkinkan audiovisual
(3) Interviu

ketiga sumber data tersebut bekerja saling melengkapi. Hasil tes digunakan untuk mengelompokkan subyek penelitian ke dalam kelompok atas, tengah dan bawah (elaborasi domain). Hasil rekaman setelah diubah menjadi transkipsi dan akhirnya menjadi struktur wacana digunakan sebagai data dasar untuk mendiskripsikan PBM. Deskripsi tersebut masih perlu dimapankan dengan sumber data interviu, untuk merinci struktur wacana (elaborasi substantif) maupun sintaktial (penalaran). Prosedur untuk memperkirakan keabsahan studi diwujudkan melalui triangulasi data dari setiap metoda yang digunakan.

Dasar Teori Pekerjaan Terdahulu

Penelitian-standar dengan pertanyaan yang tertentu, desain yang akurat, dan data yang absyah, menjurus pada permasalahan yang sempit dan kurang menunjang pengembangan teori yang utuh dan mendalam. Tugas dalam penelitian-kelas, dilain pihak, menuntut keutuhan latar belakang teori dan metodologi yang cukup mampu mengungkapkan permasalahan dan cukup mampu mengatasi kerumitan permasalahan. Banyaknya factor yang perlu dipertimbangkan dan bagaimana factor tersebut diorganisasi menjadi suatu metodologi yang menyatu kiranya merupakan pekerjaan yang cukup sulit dan menuntut upaya yang memadai.

Unuk mengatasi keadaan di atas, peneliti perlu terlebih dahulu mendalami pekerjaan terdahulu yang serupa yang telah mapan dalam meletakkan dasar teori maupun metodologi dalam area yang diminati. Disini, peneliti perlu meyakini bahwa penelitiannya dan pekerjaan yang terdahulu tersebut mempunyai kesamaan permasalahan; berarti juga mempunyai kesamaan dalam teori, metodologi, dan substansi penelitian. Tetapi, pekerjaan yang akan dilaksanakan perlu sedapat mungkin merupakan pendalaman (replikasi intensif) atau perluasan (replikasi ekstensif). Dengan penyelarasan seperti ini, peneliti dapat beban untuk intelektualisasi (arti penting teoretis, metodologis, dan substansi) permasalahan yang penanganannya membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Dasar teori dan metodologi dari pekerjaan yang dirujuk banyak menolong upaya peniliti dalam merancang suatu penelitian yang berpadu secara teori, metodologi, dan substansi.

E. Bagaimana Menyederhanakan Penelitian Tindakan Kelas

Khususnya, cara yang cukup mapan dan memadai yang ditempuh peneliti dengan memusatkan perhatian pada pekerjaan yang telah dilaporkan dalam jurnal penelitian internasional. Diantaranya yang dapat direkomendasi adalah Journal of Research in Science Education, Science education, Internasional Journal of Science Education. Untukbidang pengajaran social, kebahasaan, dan disiplin keilmuan lainnya, cara praktis ini dapat juga diberlakukan dengan membuat penyesuaian dalam keragaman wacana akademik yang mewarnai setiap jenis laporan dan tradisi keilmuan masing-masing (domain substansi). Jadi walaupun orientasi buku ini adalah disiplin MIPA, kemungkinan penerapannya ke disiplin lainnya cukup terbuka karena fungsi wacana keilmuan penelitiannya cukup sejalan.

Emulasi Penelitian

Istilah emulasi kiranya tepat untuk menggambarkan dan mewujudkan upaya memahami dan mengembangkan ketrampilan meneliti di samping untuk menyerderhanakan pekerjaan dalam penelitian-kelas. Istilah ini dapat berarti menyaingi yang mungkin berkonotasi ambisius, tetapi dilihat secara positif, istilah menyaingi dapat berarti meningkatkan pekerjaan tersebut. Peningkatan di sini merujuk pada upaya menambah kualitas pendalaman secara baik teori, metodologi, maupun kemaknaan masalah yang dihadapi menurut fungsi lokalitasnya.

Konotasi positif dari istilah emulasi juga karena mengasampingkan kesan meniru dari pekerjaan penyederhanaan, karena menuntut reflikasi intensif (pedalaman) dan elaborasi ekstensif (perluasan substantif). Penerapan emulasi di atas menunjukan perlunya kesesuaian antara dasar dan pendekatan yang diterapkan dalam laporan penelitian (jurnal) dengan pandangan yang dikemukakan dalam bukuini. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kesesuaian tersebut berhubungan erat dengan pendekatan analisis-wacana diperlukan untuk mengungkapkan aspek social dari tugas mengkonstruksi ilmu secara utuh. Di sini, pentingnya peneliti mengembangkan pekerjaannya berdasarkan laporan penelitian tertentu berhubungan erat dengan kemudahan metodologi yang diperankan oleh analisis wacana. Menggabungkan begitu banyak aspek menjadi suatu rancangan penelitian yang terpadu adalah pekerjaan yang terlalu sulit. Pekerjaan ini memerlukan waktu yang cukup lama, karena menuntut tugas membaca yang cukup banyak untuk membangun pemahaman yang menyeluruh dan mendalam mengenai permasalahan yang akan diteliti. Penelitian dengan topik yang walaupun sama tetapi dikerjakan secara terpisah oleh peneliti yang berbeda akan menghasilkan pekerjaan yang cukup berbeda.

Kemungkinan ini sejalan dengan variasi dalam penggabungan metoda, focus penelitian, konteks permasalahan dan latar belakang peneliti. Situasi ini menjelaskan pentingnya kemandirian peneliti dalam mengembangkan diri; walaupun aspek yang perlu dipadukan cukup banyak, peneliti dapat mengatasinya seperti yang dituntut dari seorang peneliti senior. Yaitu, dengan jalan mengemulasi pekerjaan peneliti senior tersebut.

Kondisi pengembangan di atas memberikan kesan bahwa penelitian-kelas bersipfat relative terhadap keahlian dan minat peneliti. Untuk mengatasi ini, focus permasalahan yang ingin diungkapkan perlu dibuat sejelas mungkin. Berdasarkan focus ini, peneliti dapat memilih jurnal penelitian tertentu untuk dijadikan rujukan utama. Jadi, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam meneliti yang cukup besar karena keterbatasan pandangan, dapat diatasi dengan memanfaatkan rujukan tertentu.

Totalitas dan Pendalaman Makna

Pendalaman makna sebagai tujuan utama penelitian-kelas perlu mempertimbangkan waktu yang terbatas, terutama jika pekerjaan meneliti berkaitan dengan tugas penyelesaian suatu studi. Pendalaman berupa replikasi perlu dirumuskan lebih operasional., ini tidak perlu mengarah pada penerapan yang sempit dan terbatas. Peneliti dapat mempertimbangkan saran pengembangan yang dibuat dalam laporan ke dalam aspek tertentu, termasuk melihatnya dalam konteks kelokalan masalah.

Pertimbangan tersebut, di antaranya, perlu terlebih dahulu menekankan upaya memperdalam permasalahan dengan melibatkan perbedaan lingkungan social-budaya. Pendalam makna juga perlu menyangkut pendalaman teoretis dan metodologi untuk memungkinkan pelibatan konteks social budaya tertentu dan, lebih penting, mengungkapkan makna lokalitas dari permasalahan.

F. Mengembangkan Fokus Penelitian

Kehidupan didalam kelas dapat dilihat sebagai wadah berpadunya pandangan pengajar dan pembelajar dalam rangka mengkonstruksi pengetahuan.tetapi sifat dasar PBM juga membawa permasalahan ikutan berupa pelibatan berbagai aspek yang secara tradisional keutuhannya kurang diperhatikan.salah satu langkah penting dalam penelitian kelas adalah menemukan focus permasalahan yang baru muncul setelah peneliti melebur diri dengan lingkungan penelitinya.tetapi ini juga perlu diiringi dengan pemahaman dasar teoretis,metodologis dan substantive permasalah.terutama jika diingat bahwa tugas penelitian kelas adalah memahami dan mendeskripsikan totalitas dan logika-internal PBM termasuk factor yang mempengaruhi pengungkapannya.

Tuntutan totalitas di atas mungkin dapat menimbulkan kesukaran dalam menentukan fokus tertentu penelitian-kelas; karena keragaman latar belakang peneliti.tetapi, pengembangan focus penelitian dapat mulai dari antar-aksi dari ketiga komponen PBM.setelah menentukan terlebih dahulu antaraksi dua komponen, komponen lainya dapat dibuat sebagai kondisi. perhatian peneliti dapat di fokuskan pada interaksi kedua komponen tersebut sedangkan komponen ketiga berfungsi sebagai kondisi bagi interaksi tersebut. Sebagai ilustrasi, jika peneliti tertarik pada hubungan antara komponen pengajar dan pembelajar, komponen materi-subyek dapat dibuat sebagai kondisi dengan hanya melibatkan topic tertentu. Komponen pengajar, dapat dibuat bervariasi menurut pengalaman mengajar berdasarkan kategori pengajar senior, madya, atau pemula; komponen pembelajar, dapat divariasi menurut kelompok atas, tengah, dan bawah. Jika focus ini masih terlalu besar, keseluruhan studi dapat dilihat sebagai studi induk dengan studi kecil didefinisikan menurut salah satu kategori.

Fokus di atas, berdasarkan keutuhan masalah belum lengkap, karena pengaruh konteks belum dilibatkan. Dengan membuat komponen materi-subyek tiadak bervariasi, pengaruh konteks dapat juga dikembangkan berdasarkan hasil pekerjaan yang sudah ada. Pengalaman makna dengan demikian berkaitan dengan peranan konteks tetapi ini dapat dibatasi pada interaksi social pengajar dan pembelajar. Jadi, dapat diperkirakan bahwa focus penelitian kelas terletak pada interaksi kognitif dari wacana mengkonstruksi ilmu.

Pemetaan Masalah

Ilustrasi pengembangan focus di atas menunjukan pentingnya suatu masalah dilihat secara totalitas menurur budaya-sosial dari kehidupan kelas. Agar tidak terkecoh oleh permasalahan yang muncul sebagai gejala, penelitian-kelas seyogianya merupakan suatu upaya terorganisasi, setiap gejala perlu dipetakan menurut lapis-lapis permasalahan. Di sini, pemetaan masalah merupakan suatu upaya awal penting sebelum dikembangkan menjadi masalah tertentu.

Untuk mendukung upaya ini, peneliti perlu memahami keseluruhan aspek dari permasalahan. Dasar pemetaan masalah bersumber pada totalitas PBM yang dibentuk oleh interaksi pengajar, pembelajar, dan materi-subyek dalam rangka mengkonstruksi ilmu. Kualitas ekspalansi dalam menghasilkan pemetaan ditentukan oleh criteria keterpaduan. Criteria keterpaduan dapat dipenuhi jika metoda-metoda yang digunakan menghasilkan temuan-temuan yang saling menunjang (koroborasi), memperkaya (elaborasi), atau inisiasi (membuka suatu area pendalaman yang baru).

Permasalahan yang ‘genuine dan significant’ jarang dapat ditemukan dalam bentuk yang sudah siap untuk diteliti, melainkan dimulai dengan penemuan dan pengenalan sebagai sesuatu yang problematic. Jawaban untuk permasalahan tidak dapat langsung diperoleh dari hasil bacaan dan intuisi, melainkan memerlukan analisis yang cermat untuk menemukan unsur-unsur pembentuknya. Pada tahap yang lebih maju, unsur-unsur penelitian mulai dapat dipisahkan, peneliti menemukan permasalahan yang sudah menyarankan pemecahannya. Pada tahap akhir, peneliti sudah mampu mendefinisikan permasalahan secara operasional dan menyarankan bagaimana pengumpulan data harus dilaksanakan.

Di bagian metodologi, dasar pemikiran untuk mengembangkan focus penelitian di atas dikembangkan lebih lanjut. Suatu pendekatan yang cukup mampu untuk memayungi baik permasalahan teori, metodologi, maupun substansi, perlu diperkenalkan agar peneliti dapat mulai mengenal kekuatan intelektual yang diperlukan dalam mengatasi berbagai masalah penelitian. Peranan peneliti sebagai pelaksana (fungsionaris) perlu dihindari, karena peranan sepereti ini disamping kurang menghargai kekuatan intelektual, tetapi juga mengecilkan arti penting tugas meneliti sebagai tugas mengembangkan ilmu. Tugas ini sukar dipenuhi oleh pandangan peneliti sebagai funfsioris dengan kekuatan intelektual yang terbatas.

Sampel dan Sampling

Sampel dan Sampling

Sampel dan Sampling Banyak yang berpendapat bahwa sampel adalah sekelompok orang (siswa, anggota partai, pemain bola, seniman dll) yang memiliki pengalaman tertentu; atau merupakan anggota kelompok tertentu. Kadang-kadang pendapat ini benar, dalam arti mereka dapat mewakili kelompok atau kegiatan tertentu; tetapi seringkali juga tidak tepat. Salah satu langkah penting dalam proses penelitian adalah menentukan sampel individual yang akan berpartisipasi dalam penelitian. “Sampling” berarti proses memilih individu sampel.

SAMPEL DAN POPULASI
 Sampel dalam suatu penelitian merupakan kelompok yang dapat dijadikan sumber informasi. Sampel diambil dari kelompok besar yang disebut “populasi”. Oleh karena itu, diharapkan hasil penelitiannya kelak dapat diterapkan dalam populasi.

Misalnya dari 500 mahasiswa jurusan matematika  populasi Diambil 50 mahasiswa  sampel
 Bila memungkinkan, peneliti dapat mengambil seluruh populasi sebagai subyek penelitian, namun hal ini sulit dilakukan mengingat keterbatasan dana, waktu, dan tenaga.

Beberapa contoh:
 Seorang peneliti berniat menyelidiki efek nutrisi tambahan terhadap kebugaran siswa SD kelas 3 di suatu kota. Di kota tersebut terdapat 1500 siswa kelas 3 SD. Peneliti memilih 150 siswa kelas 3 dari 5 sekolah yang berbeda. Jadi dari masing-masing sekolah dipilih 30 siswa
 Seorang kepala SMA ingin menyelidiki efektivitas buku sejarah yang baru, yang digunakan oleh 30 guru SMA di kota tersebut. Ia memilih 6 orang guru sebagai sampel (pengguna buku baru tsb), kemudian ia membandingkan hasil belajar siswa mereka dengan 6 orang guru lain yang menggunakan buku lain.

MENENTUKAN POPULASI
Langkah pertama dalam menentukan sampel adalah menentukan populasi yang akan diteliti; yaitu kelompok di mana kelak hasil penelitian tersebut dapat diterapkan POPULASI adalah kelompok yang diminati oleh peneliti; di mana kelak generalisasi hasil penelitiannya akan diterapkan. Contoh populasi:
 Semua kepala sekolah di Bandung
 Seluruh siswa SMA di Bandung tahun 2000-2003
 Semua guru IPA di Jawa Barat.

Jadi populasi adalah semua individu yang memiliki karakteristik tertentu. Dalam penelitian pendidikan, populasi yang diminati oleh peneliti umumnya adalah kelompok orang (siswa, guru, dll) yang memiliki ciri tertentu. Dalam kasus tertentu, populasi dapat didefinisikan sebagai kelompok kelas, sekolah atau fasilitas. Contoh:
 Semua siswa kelas 5 SD… (dengan anggapan bahwa guru yang mengajar di sekolah tersebut menggunakan metode mengajar yang bervariasi; dan menghasilkan banyak siswa berprestasi)
 Semua SMA yang bertaraf internasional di Jakarta (dengan anggapan bahwa fasilitas fisik di sekolah tersebut jauh lebih baik dan telah menghasilkan juara-juara olimpiade sains)

Contoh di atas menunjukkan bahwa tidak ada ketentuan ukuran bagi suatu populasi, yang jelas suatu populasi memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan populasi lain. Populasi merupakan kumpulan semua individu yang memiliki sejumlah karakteristik yang sama.

POPULASI TARGET vs POPULASI YANG DAPAT DIAKSES

Populasi target adalah populasi yang aktual; pilihan yang ideal bagi peneliti. Populasi di mana peneliti dapat menggeneralisasikan hasil penelitiannya kelak. Populasi yang dapat diakses (Accessible population), adalah pilihan yang realistik Contoh: (1)Masalah penelitian: Pengaruh CAI (computer-assisted instruction) terhadap kemampuan membaca siswa kelas 1 dan 2 SD di California Populasi Target: semua siswa kelas 1 dan 2 SD di California Populasi yang diakses: semua siswa kelas 1 dan 2 SD distrik Pasifica- California Sampel : 10% siswa SD kelas 1 dan 2 distrik Pasifica California. (2)Masalah Penelitian: Sikap keguruan mahasiswa calon guru yang melaksanakan PPL di Jawa Barat Populasi Target: Semua mahasiswa calon guru praktikan PPL di Jawa Barat Populasi yang diakses: Semua mahasiswa calon guru praktikan PPL yang terdaftar di UPI Sampel: diambil 100 mahasiswa calon guru praktikan PPL yang terdaftar di UPI. Mengapa peneliti tidak mengambil „populasi target‟?
Penghematan waktu, tenaga dan dana
Populasi yang diakses diharapkan dapat mewakili populasi target

RANDOM SAMPLING vs NONRANDOM SAMPLING

Contoh random sampling:
Seorang peneliti ingin menyelidiki tentang implementasi kurikulum baru di SMA provinsi Jawa Barat. Seandainya di Jawa Barat terdapat 500 SMA, maka ia menyiapkan 500 potongan kertas lalu nama ke 500 SMA ditulis pada masing-masing kertas, lalu kertas digulung, dikocok kemudian dipilihnya 50 SMA.

Contoh Nonrandom sampling:
Peneliti menentukan dulu SMA di kota dan kabupaten yang tergolong SMA kategori baik, sedang, dan kurang. Kemudian ia menentukan beberapa kota dan kabupaten lalu memilih masing-masing 1 SMA kategori baik, sedang dan kurang.

Sampel yang dipilih baik secara random maupun nonrandom harus dapat mewakili keadaan populasi. Sampel dapat pula dipilih dengan menggunakanTabel Bilangan random yang terdapat di dalam buku statistika.

STRATIFIED RANDOM SAMPLING

Stratified random sampling atau sampling acak berstrata adalah proses memilih sampel berdasarkan strata atau kelompok dalam suatu populasi. Contoh: Seorang peneliti menyelidiki respon siswa kelas 9 terhadap buku sains yang dianjurkan sebagai buku ajar baru. Ia berpendapat bahwa variabel gender ikut menentukan respon siswa terhadap buku ajar tersebut. Maka ia melakukan proses sampling sebagai berikut:
Populasi target: 450 siswa kelas 9 di sekolah tertentu yang menggunakan buku sains tersebut
Dari populasi tersebut terdapat 270 siswa puteri dan 180 siswa putera
Dengan mengguakan table bilangan random, ia memilih 30% dari masing-masing strata : 81 siswa puteri dan 54 siswa putera

Populasi :450 siswa kelas 9 terdiri dari 270 siswa puteri (60% populasi) dan 180 siswa putera
(40% populasi ), maka seharusnya diambil sample 81 siswa puteri 30% dari 60% populasi serta 54 siswa sample putera 30% dari 40% populasi.

CLUSTER RANDOM SAMPLING

Dalam random sampling dan stratified random sampling, peneliti memilih individu-individu dari populasi yang akan dilibatkan dalam penelitiannya. Namun kadang-kadang waktu, situasi, dan kondisi tidak memungkinkan bagi seorang peneliti untuk memilih individu sebagai sampel penelitian. Bila penelitian dilakukan di sekolah jelas tidak mungkin bagi seorang peneliti memilih siswa-siswa tertentu untuk dikelompokkan dalam kelas khusus sebagai sampel. Oleh karena itu bila penelitian dilakukan di sekolah sebaiknya menggunakan “cluster random sampling”, sehingga peneliti tak perlu memilih individu-individu dari masing-masing kelas sebagai sampel. Caranya: jika di suatu sekolah terdapat 5 rombel untuk kelas 10, maka ia dapat memilih secara random salah satu rombel menjadi sampel penelitiannya. Cara ini lebih efektif bila penelitian dilakukan terhadap kelompok atau „cluster‟ dalam jumlah banyak. Contoh: Suatu Lembaga Penelitian bermaksud meneliti kesulitan guru tentang keharusan melakukan penelitian dan menyusun karya tulis ilmiah bagi guru yang telah menduduki golongan IVa. Misalkan di Jawa Barat terdapat 100.000 guru dari 100 SD, SMP, SMA. Berhubung dana yang tersedia sangat terbatas, maka masing-masing sekolah dianggap sebagai cluster. Kemudian dipilih 20 % dari populasi secara random cluster yang mewakili berbagai kota 20 sekolah dari berbagai kota di Jawa Barat. Karena guru yang diwawancara berasal dari berbagai kota, maka sampel dianggap dapat mewakili populasi. Dua Tahap Random Sampling Kadang-kadang random sampling dikombinasikan dengan cluster random sampling. Misalnya daripada memilih secara random 100 siswa kelas 9 dari populasi 3000 siswa yang terdapat di 100 kelas, maka peneliti dapat memilih secara random 25 kelas dari populasi 100 kelas tersebut; kemudian memilih 4 siswa dari masing-masing kelas.

Metode Random Sampling
1.Random sederhana (acak sederhana):
contoh dari Populasi Z, A, D, F, J, K, B, C, E, G, H, I, L, M, N, O, Q, P, X, Y, R, T, U, V, W, S.
diambil sample D ,H, N, L, P, Y.

2.Random berstrata
Contoh Populasi ada tiga kelompok yaitu tingkat satu A,B,C,D,E sebesar 25% tingkat dua F, G, H, I, J, K, L, M, N, O sebesar 50% dan tingkat tiga P,Q,R,S,T sebesar 25%.
Diambil sampledi tingkat satu B, D 25%, tingkat duasamplenya F,M,O,J 50% dan tingkat tiga P,S 25%

3. Random cluster
Contoh populasi terdiri dari sembilan kelompok/cluster yaitu LM, STU, QR, NOP, JK, EFG, HI, CD , AB. Maka diambil sampel cluster EFG, CD, QR

4. Random dua tahap
Contoh populasi terdiri dari sembilan kelompok LM, STU, NOP, QR, EFG, CD, AB , JK, HI, tahap pertama diambil sampel tiga kelompok CD, STU,LM kemudian diambil masing-masing anggota dari kelompok itu sebagai sampel pada tahap kedua yaitu C, L,T

METODE NONRANDOM SAMPLING SYSTEMATIC SAMPLING

Dalam sampling sistematis, setiap individu ke n dalam daftar populasi dipilih sebagai sampel. Misalnya dalam populasi terdapat 5000 nama, dan akan dipilih hanya 500, mka peneliti harus memilih 1 dari tiap 10 nama. Contoh:
Kepala sekolah ingin mengetahui pendapat siswa tentang menu baru yang tersaji di kantin sekolah. Maka untuk memlih sampel ia menuliskan angka 1-10 di secarik kertas lalu dimasukkan kedalam kotak. Ia mengambil 1 nomor dengan mata tertutup, dan ternyata nomor 3. Jadi ia menentukan siswa no 3,13,23,33,43 dan seterusnya hingga ia memperoleh 100 siswa sebagai sampel. Metode ini disebut sampling yang diawali secara random

Ada rumus sederhana untuk menentukannya yaitu: Besarnya populasi dibagi Jumlah sampel yang dibutuhkan

CONVENIENCE SAMPLING (SAMPLING SEADANYA)

Kadang-kadang sangat sulit untuk memilih sampel secara acak atau secara tak acak (nonrandom). Untuk hal yang mendesak, peneliti dapat memilih sampel seadanya; artinya sampel yang ditemukan secara tak sengaja atau secara sengaja Contoh :
Untuk menjaring pendapat mahasiswa tentang layanan kantin universitas, maka pada suatu pagi manager kantin mewawancarai 50 mahasiswa pertama yang datang untuk makan di kantin.
Guru Bimbingan Konseling (BK) mewawancarai semua siswa yang datang untuk konseling tentang bakat dan karir.

Seorang reporter TV mewawancarai pejalan kaki dan pengemudi yang kebetulan lewat di dekatnya, untuk menjaring pendapat mereka tentang kenaikan harga BBM.
Pada masing-masing contoh di atas, kelompok individu dipilih karena memungkinkan untuk dipilih sebagai sampel. Namun demikian sampel seadanya ini tidak selalu tepat, misalnya orang yang secara kebetulan diwawancarai oleh reporter TV akan menjawab seadanya, karena tak siap menjawab. Mahasiswa yang diwawancarai oleh manager kantin menjawab seperlunya atau seenaknya. Begitu pula siswa yang diwawancarai oleh guru BK. Jadi sampel seadanya dapat menimbulkan ‘bias’. Secara umum sampel seadanya tidak dapat dijadikan sampel yang representatif bagi populasi, dan peneliti sebaiknya menghindari pengambilan sampel seadanya.

PURPOSIVE SAMPLING Dalam hal tertentu, berdasarkan pengetahuan tentang sifat populasi dan untuk kepentingan tertentu, peneliti menggunakan pertimbangan pribadi dalam memilih sampel. Peneliti memilih sampel tersebut berdasarkan kebutuhannya dan menganggap bahwa sampel tersebut representatif Contoh:
Seorang siswa S2 ingin meneliti tentang pandangan para „manula‟ yang berusia 65 tahun ke atas tentang „masa bakti‟ mereka. Pembimbingnya seorang professor yang ahli dalam masalah orangtua dan populasi manula, menganjurkan untuk mengambil sampel dari organisasi „Perkumpulan Pensiunan‟ di daerah tersebut. Maka peneliti mewawancarai 50 orang anggota organisasi tersebut.
Seorang peneliti ingin mengkaji pengaruh pengajaran Bahasa Inggris dan Mandarin sejak usia dini terhadap penguasaan Bahasa Indonesia para siswanya. Maka ia harus mencari sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Inggris dan Mandarin sejak usia dini, lalu mewawancarai siswa atau memberikan tes kepada siswa.

Metode non random sampling: Convenience, Purposive, Systematic.

UKURAN SAMPEL

Menarik sampel dari suatu populasi tidak selalu memuaskan, karena peneliti seringkali tidak yakin terhadap sampel yang sungguh sungguh representatif terhadap populasi tersebut. Sering terjadi perbedaan antara sampel yang dipilih dengan populasi. Tetapi bila sampel telah dipilih secara random dengan ukuran yang sesuai, maka perbedaan ini tampaknya tidak signifikan dan bersifat kebetulan. Jadi berapakah ukuran sampel, dan bagaimanakah memilih sampel agar representatif? Tampaknya tidak ada jawaban yang cukup memuaskan. Tetapi hendaknya ukuran sampel tidak terlalu jauh berbeda dengan populasinya Misalnya bila populasi target berjumlah 1000 orang Sampel 20-30 orang terlalu kecil; karena hanya 2-3% dari populasi, sehingga kurang representatif. Berapa banyak sampel yang sesuai?

1. Random sampling

Misalkan populasi target: semua siswa kelas 8 di Jawa Barat Populasi yang dapat diakses: semua siswa kelas 8 di Kota dan kabupaten Bandung yang diperkirakan berjumlah 9000 siswa Sampel yang cukup baik: n= 200-250 Kesulitannya: menentukan sampel yang representative 200 siswa dari sekolah yang berbeda

2. Cluster random sampling

Peneliti harus mengidentifikasi sekolah negeri dan swasta di Bandung (kota dan kabupaten) kemudian menentukan sampel sebagai berikut
9000 siswa dibagi 30 siswa per kelas sama dengan 300 kelas. Selanjutnya 300 kelas dibagi 2 kelas per sekolah (estimasi ) sama dengan 150 sekolah.

Dari 150 sekolah dipilih secara random 4 sekolah  n=4 sekolah x 2 kelas/sekolah x 30 siswa/kelas= 240

3. Stratified random sampling
Dari semua siswa kelas 8 di sekolah negeri dan sekolah swasta ditentukan dulu proporsinya misalnya 80% negeri dan 20% swasta Kemudian tentukan jumlah yang akan dijadikan sampel yaitu 200  Sekolah negeri : 80%(200) = 160 Sekolah swasta : 20%(200) = 40 Dari jumlah ini dipilih secara random subpopulasi yang mewakili sekolah negeri dan sekolah swasta. Kesulitannya: peneliti harus mengetahui proporsi dalam setiap strata, dan strata ini dapat bertambah bila stratifikasinya ditambah. Misalnya ditambah dengan:
etnis siswa gender dan pengalaman guru dll.

4. Two stage random sampling
Secara random dipilih 25 sekolah dari populasi sebanyak 150 sekolah, kemudian secara random dipilih lagi 8 siswa kelas delapan dari masing-masing sekolah: n= 8 x 25 = 200 Metode ini lebih baik kelayakannya dibandingkan dengan random sampling biasa dan lebih representative daripada cluster sampling. Dapat dijadikan pilihan yang terbaik; tetapi tetap memerlukan izin dari 25 sekolah untuk dijadikan sumber data.
5. Convenience sampling

Dipilih siswa kelas 8 dari 4 sekolah yang dapat diakses oleh peneliti  n= 30 x 4 x 2=240. Untuk menentukan sampel ini peneliti harus mempunyai argument yang kuat dengan data pendukung lengkap sehingga sampel ini setara dengan 150 sekolah
6. Purposive sampling

Dipilih 8 kelas dari kota dan kabupaten Bandung berdasarkan data demografik yang diperkirakan representatif untuk kelas 8. Masalahnya adalah: kadang-kadang peneliti tidak dapat memperoleh data yang diperlukan, dan kadang-kadang ada perbedaan antara populasi dan sampel untuk variable tertentu, seperti sikap guru (yang tidak mencerminkan populasi) dan sumber lainnya.
7. Systematic sampling

Dipilih setiap 45 siswa dari daftar berdasarkan abjad dari masing-masing sekolah yaitu 200 siswa sampel dibagi 9000 siswa populasi diperoleh 0,022 atau satu per empat puluh lima

Alternatif untuk memilih sekolah ke 6 dari 150 sekolah (150/6= 25 sekolah)
Kemudian setiap siswa ke enam dari daftar siswa kelas 8 (n=60/6=10 siswa per sekolah)
Maka siswa yang dipilih sebagai sampel berjumlah n= 25 x 10 = 250 siswa

ECOLOGICAL GENERALIZABILITY
Ecological generalizability berkenaan dengan, sejauh mana hasil studi dapat diperluas atau digeneralisasi ke setting lain‟. Peneliti harus mampu menjelaskan kondisi lingkungan – yaitu setting penelitiannya. Kondisi ini harus memiliki kesamaan dengan situasi baru di mana hasil penelitiannya akan diterapkan. Misalnya, hasil penelitian di sekolah yang terletak di lingkungan perkotaan tidak dapat langsung diterapkan untuk sekolah di pedesaan atau pinggiran kota, karena ada berbagai hal seperti kondisi sekolah, bahan ajar, atau waktu belajar yang tidak sama. Atau, hasil penelitian terhadap suatu mata pelajaran tidak dapat diterapkan begitu saja untuk mata pelajaran lain. Ketidaktepatan penerapan hasil penelitian yang berkenaan dengan ecological generalizability, misalnya: Ada hasil penelitian tentang suatu metode pengajaran membaca bagi siswa kelas 5 di beberapa sekolah; di mana siswa belajar melakukan pemetaan wacana sehingga mereka dapat membuat kesimpulan melalui pemetaan interpretasi. Kemudian peneliti merekomendasikan bahwa metode ini dapat digunakan untuk berbagai mata pelajaran lainnya seperti sains dan matematika. Dalam hal ini ia mengabaikan perbedaan isi, bahan ajar, keterampilan yang diharapkan, dan pengalaman guru. Dalam hal ini, penggunaan random sampling tidak selalu dapat digeneralisasikan untuk lingkungan yang berbeda. Kecuali bila peneliti dapat mengidentifikasi populasi berdasarkan pola organisasi bahan ajar, kondisi kelas, dsb., kemudian secara random ia memilih berbagai kombinasi kemungkinan. Bila hasilnya telah berulang kali diuji coba dalam berbagai kondisi yang berbeda dan hasilnya menunjukkan kemiripan untuk setiap replikasi, barulah ia dapat merekomendasikan penerapan hasil penelitiannya untuk lingkungan dan kondisi lain.

Tulisan yang Lain Silakan Klik

Pendidikan dan Kejeniusan Finansial;>>>> Baca

Video Tutorial Merakit Komputer;>>>> Baca

Video Mario Teguh ANAK MASA DEPAN KITA Mencuri;>>>> Baca

Video Perkalian Pecahan Campuran;>>>> Baca

Contoh Soal dan Pemecahan Jawababnya;>>>> Baca

DownLoad Program Bantu Belajar Matematika;>>>>>>>>> Baca

Tentang Variabel dan Hipotesis

Tentang Variabel dan Hipotesis

1. Apakah variabel itu?

 Variabel adalah peubah, yaitu konsep yang dapat berubah atau diubah; kata yang menjelaskan tentang variasi dalam suatu kelompok atau objek, misalnya; kursi, gender, warna mata, hasil belajar, motivasi, kecepatan. Kadang-kadang juga menjelaskan tentang sekelompok orang yang menjadi objek, gaya belajar, harapan hidup
 Ada pula ciri yang bersifat konstanta yang tidak dapat berubah, misalnya bila kita melakukan penelitian di kelas tertentu. Individu dalam kelas ini tidak boleh diubah variasinya  sehingga merupakan sesuatu yang konstan, bukan variabel.
Contoh:
– Seorang peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh „reinforcement‟ terhadap pencapaian hasil belajar siswa.

Peneliti tersebut kemudian membagi secara sistematis kelompok besar kelas 9 menjadi 3 subkelompok (kelas kecil). Kemudian ia melatih 3 orang guru untuk memberikan „reinforcement‟ dengan 3 cara yang berbeda:
(1) dengan pujian verbal
(2) dengan hadiah imbalan uang
(3) dengan nilai ekstra untuk setiap tugas yang berhasil dilakukan siswa.  Maka: „reinforcement‟ merupakan suatu variabel ( yang mengandung tiga variasi perlakuan); sedangkan kelas 9 merupakan sesuatu yang konstan. Kadang-kadang ada konsep yang memerlukan penjelasan, misalnya konsep kursi, sebab ada berbagai jenis kursi yang disesuaikan dengan fungsinya: kursi makan, kursi tamu, kursi malas dsb. Penjelasan untuk „kursi‟ tampaknya mudah. Ada pula konsep yang tidak mudah untuk dijelaskan, misalnya „motivasi‟ yang perlu disepakati artinya. Maka peneliti harus menjelaskan dengan baik agar variabel „motivasi‟ ini dapat diukur. Ada berbagai jenis variabel yang dapat diselidiki; peneliti harus memilih, karena tidak mungkin ia meneliti semua jenis variabel. Variabel diharapkan memiliki hubungan dan jika hubungan ini dapat diungkap, maka pemahaman kita tentang fenomena yang diteliti akan akan lebih jelas dan bermakna.

2. Variabel kuantitatif vs kategorial

a. variabel kuantitatif: tinggi badan (pendek sampai tinggi), kecerdasan (rendah ke tinggi), motivasi belajar (rendah ke tinggi)
b. variabel kategori : gender (laki-laki, prempuan), agama (Islam, kristen, protestan, budha, hindu dsb), bahasa yg digunakan di sekolah (Indonsia, english, Arab, Jerman dsb)

Variabel kuantitatif kadang-kadang menggambarkan variasi derajat atau tingkatan sebagai suatu kontinuum dari yang rendah sampai tinggi misalnya tinggi badan, kecerdasan, motivasi. Melalui cara kuantitatif dapat diukur bahwa A lebih pendek dari B; Ali lebih cerdas daripada Didi; motivasi belajar di kelas A lebih tinggi daripada kelas B. Di samping itu, variabel kuantitatif dapat pula dijelaskan melalui angka, dari 5 – 0, misalnya

o 5(amat sangat berminat),
o 4(sangat berminat),
o 3(berminat),
o 2(cukup berminat),
o 1(kurang berminat),
o 0(tidak berminat)

Variabel kuantitatif dapat dibagi menjadi unit-unit yang lebih kecil yang lazim digunakan untuk mengukur. Untuk ukuran panjang misalnya dapat dibagi menjadi km, meter, sentimeter, milimeter dll. Atau untuk bobot dibagi menjadi ton, kuintal, kg, gram, milligram dll. Variabel kategorial tidak menggambarkan variasi derajat atau jumlah, tetapi menekankan pada perbedaan kualitatif seperti warna mata, gender, agama, pekerjaan atau pada penelitian pendidikan sering kali menentukan “perlakuan” atau “metode”. Jika seorang peneliti hendak membandingkan dua kelas yang dikenai perlakuan berbeda misalnya berbantuan komputer dan tanpa komputer, maka kedua kelas ini harus memiliki kemampuan yang sama. Berikut ini disajikan sejumlah variabel. Manakah yang termasuk variabel kuantitatif dan variabel kategorial?

1) Merek mobil yang dimiliki
2) Kemampuan belajar
3) Etnis
4) Keterpaduan
5) Denyut jantung
6) Gender

Banyak peneliti pendidikan yang mengkaji hubungan antara
1) Dua atau lebih variabel kuantitatif misalnya,
o Usia sekolah dan minat belajar
o Kemampuan membaca dan kemampuan matematika
o Lamanya waktu menonton tv dengan tingkah laku agresif pada anak

2) Satu variabel kategorial dan satu variabel kuantitatif
o Metode mengajar yang digunakan dan hasil belajar yang dicapai
o Pendekatan konseling dan tingkat kecemasan
o Gender siswa dan pujian yang diberikan oleh guru

3) Dua variabel kategorial
o Etnis dan pekerjaan ayah
o Gender guru dan subjek yang diajarkan
o Agama dan keanggotaan partai politik

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti
1) Secara konseptual: variabel „kecemasan‟ menunjukkan derajat kecemasan (tinggi, sedang, rendah) bukan suatu dikotomi „ada‟ atau „tidak ada‟ kecemasan.
2) Membagi variabel menjadi dua atau beberapa kategori akan menghilangkan informasi rinci tentang variabel bila perbedaan individu berdasarkan kategori diabaikan
3) Garis perbedaan pada kelompok misalnya tingkat kecemasan yang dibagi menjadi „tinggi‟, „sedang‟, „rendah‟ dapat diubah sewaktu-waktu (tidak mutlak).

3. Variabel yang dimanipulasi vs variabel hasil

Dalam penelitian eksperimen, peneliti biasanya memberikan dua atau lebih perlakuan yang berbeda, sesuai dengan kondisi eksperimennya. Berarti ia menciptakan variabel Misalnya:
– Seorang peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh ‘reinforcement’ terhadap pencapaian hasil belajar siswa.

Untuk itu ia membagi kelas menjadi 3 kelompok dengan perlakuan reinforcement yang berbeda. Peneliti menentukan 3 macam reinforcement yang harus diberikan oleh guru kepada siswa bila siswa menjawab benar. Variabel perlakuan yang „diciptakan‟ oleh peneliti ini disebut variabel eksperimental atau variabel yang dimanipulasi atau variabel perlakuan.

Secara umum:
1 variabel kuantitatif
1 variabel kategorial

Keduanya :
Membandingkan perlakuan atau metode yang berbeda,
Variabel kategorial merupakan „variabel yang dimanipulasi”
Variabel kuantitatif merupakan “variabel hasil”

Variabel hasil merupakan variabel yang dapat diukur sebagai akibat dari adanya perlakuan; misalnya hasil belajar siswa, motivasi, dan minat. Variabel hasil sangat bervariasi, tergantung pada individu atau kelompok yang dikenai perlakuan pada situasi dan kondisi yang berbeda Contoh variabel hasil:
o Rasa tidak nyaman yang dialami pelamar pekerjaan yang tercermin pada saat wawancara
o Kecemasan siswa sebelum ujian berlangsung
o Keterbukaan kelas
o Kemampuan mengungkapkan diri melalui tulisan
o Kelancaran berbahasa asing

4. Variabel bebas (independent) vs variabel tak bebas (dependent)

Hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebas dapat dijelaskan sebagai berikut:
“Variabel bebas (Dugaan penyebab) mempengaruhi Variabel terikat / tak bebas (Dugaan hasil)”
Variabel bebas diasumsikan sebagai dugaan „penyebab‟ sedangkan variabel bebas sebagai dugaan hasil. Tidak semua variabel bebas merupakan variabel yang dimanipulasi. Perhatikan judul berikut: “Hubungan antara keberhasilan siswa dalam matematika dengan pilihan karirnya di masa dewasa”

5. Variabel extraneous (variabel ekstra)

Masalah mendasar dalam penelitian adalah terkadang ada beberapa variabel bebas yang dapat berpengaruh terhadap variabel tak-bebas. Tetapi bila peneliti sudah memutuskan variabel-variabel yang akan diteliti, maka ia juga harus memperhitungkan adanya variabel lain. Variabel ini disebut variabel ekstra. Peneliti perlu mengendalikan variabel ekstra ini, meniadakan atau meminimalkan pengaruhnya. Variabel ekstra adalah variabel bebas yang belum dikendalikan. Misalnya: Variabel apakah yang dapat mempengaruhi pembelajaran sisiwa di kelas? Ada banyak variabel yang berpengaruh dalam pembelajaran, seperti:
 kepribadian guru,
 tingkat kecerdasan siswa,
 posisi jam mengajar,
 buku ajar yang digunakan,
 bentuk kegiatan pembelajaran,
 metode mengajar

Salah satu cara mengendalikan variabel ekstra adalah menjaga agar tetap konstan. Misalnya bila peneliti hanya meneliti anak laki-laki, maka ia harus mengendalikan variabel gender: gender dari subjek penelitian ini tidak bervariasi

Tentang Hipotesis

1. Apakah hipotesis itu?

Hipotesis, secara sederhana merupakan dugaan sementara yang diharapkan terjadi dalam penelitian. Kadang-kadang pertanyaan penelitian dinyatakan sebagai hipotesis, apa bedanya?

Pertanyaan penelitian: “Bagaimanakah perbedaan minat siswa terhadap pelajaran IPA antara siswa yang diajar oleh guru yang sama gendernya dan guru yang berbeda gendernya?” Hipotesis : Siswa yang belajar IPA dari guru yang sama gendernya akan lebih tinggi minatnya dibandingkan dengan siswa yang belajar IPA dari guru yang berbeda gendernya. Pertanyaan penelitian: “Bagaimanakah perbedaan hasil belajar siswa antara kelas dengan model pembelajaran inkuairi dan model pembelajaran tradisional?” Hipotesis: Hasil belajar siswa pada kelas dengan model pembelajaran inkuairi lebih tinggi daripada kelas dengan model pembelajaran tradisional. Atau: Ada perbedaan hasil belajar antara siswa pada kelas yang dikenai model pembelajaran inkuairi dengan siswa yang dikenai model pembelajaran tradisional.

2.Keuntungan menentukan pertanyaan penelitian sebagai hipotesis

a. Hipotesis memfokuskan kita untuk berpikir lebih dalam tentang kemungkinan hasil penelitian. Merumuskan pertanyaan penelitian sebagai pengganti hipotesis membimbing peneliti ke arah pemahaman yang lebih luas tentang implikasi pertanyaan dan variabel yang terlibat. Dengan menentukan hipotesis, peneliti harus berpikir lebih hati-hati.
b. Menentukan pertanyaan penelitian sebagai pengganti hipotesis berkaitan dengan filsafat sains. Rasional yang mendasari filsafat sains: Jika ingin membangun suatu pengetahuan, selain menjawab pertanyaan penelitian maka perumusan hipotesis merupakan strategi yang baik yang memungkinkan seseorang dapat melakukan prediksi spesifik berdasarkan bukti sebelumnya atau argument teoretis Contoh: Berdasarkan teori relativitas Einstein, banyak hipotesis yang dirumuskan sebagai hasil teori Einstein, yang kemudian diverifikasi melalui penelitian. Semakin banyak prediksi yang menjadi kenyataan, berarti semakin memperkuat gagasan awal teori relativitas Einstein.

3.Kelemahan menentukan pertanyaan penelitian sebagai hipotesis

a. Disadari atau tidak, merumuskan hipotesis dapat bersifat bias. Sebab sekali seorang peneliti merumuskan hipotesis, maka ia cenderung untuk menyusun prosedur atau memanipulasi data untuk memperoleh hasil yang diharapkannya. Peneliti diharapkan jujur secara intelektual- meskipun ada kekecualian. Tetapi komitmen terhadap hipotesis dapat menimbulkan distorsi secara tak disadari.

b. Kelemahan kedua, perhatian yang terfokus pada hipotesis, dapat menghalangi peneliti untuk memperhatikan fenomena yang penting dalam penelitiannya. Misalnya: seorang peneliti mengkaji “efek kelas yang humanistic terhadap motivasi siswa” dapat mengarahkan peneliti untuk lebih menggali karakteristik lain seperti jenis kelamin atau cara pengambilan keputusan yang lebih mudah terlihat dan malah tidak terfokus pada motivasi siswa.

4. Hipotesis yang signifikan

Signifikan artinya “bermakna”. Untuk menilai signifikansi suatu hipotesis mari perhatikan contoh berikut:

Hipotesis 1
a. Siswa kelas dua lebih senang menonton tv daripada sekolah
b. Kesenangan Siswa kelas dua terhadap sekolah lebih rendah daripada siswa kelas satu, tetapi lebih tinggi daripada siswa kelas tiga

Hipotesis 2
a. Banyak siswa dengan kemampuan akademik rendah lebih menyukai kelas reguler daripada kelas khusus.
b. Siswa dengan kemampuan akademik rendah akan lebih bersikap negatif tentang dirinya bila ditempatkan di kelas khusus daripada di kelas reguler.

Hipotesis3
a. Guru yang menggunakan model pembelajaran kooperatif akan menghadapi reaksi siswa yang berbeda dibandingkan dengan guru yang menggunakan model pembelajaran tradisional.
b. Siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif akan lebih senang belajar dibandingkan dengan siswa yang mengalami model pembelajaran tradisional.

Dari ketiga hipotesis di atas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis (b) lebih bermakna, karena hubungan yang akan dikaji jelas dan spesifik, mengarahkan peneliti untuk menggali informasi yang bermanfaat bagi peneliti lain yang berminat untuk meneliti lebih lanjut.
5. Hipotesis terarah vs hipotesis tak terarah

Hipotesis terarah adalah hipotesis yang memiliki arah spesifik (lebih tinggi, lebih rendah, tinggi, kurang dsb) yang diharapkan muncul dalam penelitian. Arah khusus yang diharapkan ini akan menjadi dasar bagi landasan teori yang perlu dikaji, hasil penelitian serupa yang pernah dilakukan, dan pengalaman sebelumnya. Bagian (b) dari ketiga hipotesis di atas merupakan hipotesis terarah Kadang-kadang sulit bagi peneliti untuk menentukan hipotesis yang terarah. Jika peneliti menduga ada hubungan tetapi tidak memiliki dasar teori untuk memprediksi hubungan tersebut, maka ia tak dapat membuat hipotesis terarah. Bagian (a) dari ketiga hipotesis di atas merupakan hipotesis tak terarah. Hipotesis (a) dapat diubah menjadi hipotesis terarah bila pernyataannya diubah menjadi:

1a. Siswa kelas 1, 2, dan 3 memiliki perasaan yang berbeda terhadap sekolah
2a. Ada perbedaan sikap pada siswa yang memiliki kemampuan akademik rendah bila ditempatkan di kelas regular dan kelas khusus.
3a. Ada perbedaan kepuasan pada siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif dan siswa yang mengalami pembelajaran tradisional

Tulisan yang Lain Silakan Klik

Pengantar Psikologi Politik;>>>> Baca

Video Tutorial Merakit Komputer;>>>> Baca

Video Mario Teguh ANAK MASA DEPAN KITA Mencuri;>>>> Baca

Video Perkalian Pecahan Campuran;>>>> Baca

Contoh Soal dan Pemecahan Jawababnya;>>>> Baca

Mana yang Harus Direnovasi dalam Reormasi Pendidikan;>>>>>>>>> Baca

Hakekat Penelitian Pendidikan

Hakekat Penelitian Pendidikan

1. Beberapa Contoh Masalah Yang Perlu Dikaji
Seorang guru SMA ingin mengetahui apakah metode diskusi lebih efektif daripada metode ceramah dalam memotivasi siswa untuk mempelajari konsep-konsep biologi
Seorang guru pendidikan jasmani ingin mengetahui apakah kemampuan seorang siswa dalam suatu cabang olah raga berkorelasi dengan kemampuannya dalam cabang olah raga lainnya
Seorang guru BP berharap agar para siswanya dapat lebih terbuka untuk mengemukakan kecemasan dan masalahnya
Siswa kelas tujuh bertanya kepada guru BP tentang apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki kebiasaan belajarnya
Seorang kepala sekolah ingin meningkatkan moral dan budi pekerti para siswa di sekolahnya
Seorang guru SD mencari cara mengajar yang tepat untuk mengatasi kesulitan siswa dalam mempelajari konsep “pembagian”
Contoh di atas adalah masalah fiktif, namun mewakili berbagai masalah yang dihadapi oleh para guru, kepala sekolah, guru BP bahkan para siswa dalam kegiatan mereka setiap hari.

2. Pentingnya Penelitian dalam Pendidikan
Pendidik, orangtua atau siswa mungkin dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber misalnya buku, konsultan pendidikan, artikel, diskusi dengan mitra kerjanya, atau dari pengalaman. Namun jawaban yang diberikan tidak semuanya tepat

Oleh karena itu pengetahuan tentang metode penelitian menjadi penting, karena mendorong kita untuk mencari informasi dari berbagai sumber yang lebih akurat dan reliabel.

3. Bagaimanakah cara menyelidiki sesuatu?

3.1 Melalui Pengalaman Inderawi
Melalui apa yang kita dengar, lihat, raba, bau melalui pengalaman inderawi kita memperoleh informasi meskipun agak „kasar‟
Data inderawi dapat diperhalus; misalnya untuk mengukur suhu secara tepat digunakan thermometer. Pengalaman menunjukkan bahwa persepsi inderawi kita tidak selalu dapat dipercaya. Oleh karena itu diperlukan alat yang dapat dipercaya sebagai ukuran.
Pengetahuan inderawi seringkali tidak bebas, tidak lengkap, sehingga data yang diperoleh secara inderawi kadang-kadang kurang valid.

3.2. Bertanya kepada orang lain
Karena persepsi inderawi kita tidak selalu tepat, maka kita perlu bertanya kepada orang lain tentang aroma, rasa, bunyi, dan penglihatan kita bahkan tentang pengalaman serupa yang mungkin dialami orang lain
Oleh karena itu untuk memastikan sesuatu biasanya diperlukan lebih dari satu sumber

3.3. Pendapat Ahli

Untuk memastikan sesuatu kadang-kadang kita perlu berkonsultasi dengan seorang yang ahli di bidangnya. Seorang ekonom umumnya tahu tentang seluk beluk masalah perekonomian; seorang dokter gigi tahu tentang masalah gangguan gigi dan gusi.
Namun demikian, para ahli juga tak luput dari kekeliruan. Apa yang diketahui seorang ahli umumnya didasarkan pada apa yang telah dipelajari dari buku teks dan pemikiran, dari mendengar dan mengobservasi, dan juga dari pengalamannya. Tak ada ahli yang mempunyai pengalaman untuk semua bidang secara lengkap

3.4. Logika

Semua manusia akan mati —-premis mayor
Tina seorang manusia —-premis minor
Jadi, Tina juga akan mati—–kesimpulan

Bila premis mayor dan premis minor benar, maka pernyataan ketiga juga benarInilah yang disebut penalaran logik. Apakah penalaran logik selalu benar? Perhatikan pertanyaan ini: “Siswa kelas tujuh bertanya kepada guru BP tentang apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki kebiasaan belajarnya” Jawaban apa yang dapat diberikan oleh guru BP? Apakah hanya ada jawaban tunggal atau ada lebih dari satu jawaban? —–oleh ka rena itu diperlukan metode ilmiah karena itu diperlukan metode ilmiah

Silakan Bca Tulisan yang lain

Harapan Besar trehadap Lesson Study;>>>> Baca

Tindak Tutur;>>>> Baca

Disonansi Moral Anak Jaman Sekarang;>>>> Baca

Konsepsi Membaca dan…;>>>> Baca

Riset dalam Dunia Pendidikan;>>>>>>>>> Baca buka semua

Tentang Disiplin Kerja;>>>>>>>>> Baca buka semua

Penentuan Sampel dalam Penelitian

Penentuan Sampel dalam Penelitian

A. Pengertian Sampel
Sampel adalah contoh, monster, representan atau wakil dari suatu populasi yang cukup besar jumlahnya atau satu bagian dari keseluruhan yang dipilih dan representatif sifatnya. Aktivitas pengumpulan sampel disebut sampling.
Sedangkan populasi adalah totatlitas semua kasus, kejadian, orang atau hal. Populasi dapat berwujud sejumlah manusia, kurikulum, manajemen, alat-alat mengajar, cara mengajar, peristiwa. Dari semua populasi harus dapat ditegaskan/ditemukan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi bila akan dijadikan obyek penelitian.
Tujuan peneliti mengambil sampel adalah memperoleh keterangan mengenai obyek penelitian dengan jalan hanya mengamati sebagian saja dari populasi. Hal ini dilakukan karena berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan.

B. Alasan Penarikan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan karena sering tidak mungkin peneliti mengamati segenap anggota dari populasi yang relatif besar jumlahnya (satu persatu diamati). Misalnya tidak mungkin peneliti mencicipi buah rambutan sebanyak satu truk yang akan diteliti. Akan tetapi syarat utama pengambilan sampel adalah mewakili populasi. Beberapa alasan melakukan penarikan sampel adalah :
1. ukuran populasi (ada yang sangat besar bahkan tak terhingga)
2. Waktu, tenaga dan biaya.

A. Cara-cara Penarikan Sampel
1. Teknik Random Sampling
a. Simpel random sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan bebas secara acak. Teknik digunakan bila sampel homogen.
b. Penggunaan Tabel Bilangan Random
1) Setiap anggota populasi diberi nomor urut.
2) Menentukan bilangan random dalam tabel (statistik).
3) Menentukan kriteria desimal.
4) Menentukan angka permulaan pemilihan secara random.
5) Memilih nomor yang dimaksud.
1. Teknik Non Random Sampling

Dalam teknik ini tidak semua anggota populasi mendapat peluang untuk dijadikan sampel. Ada tiga jenis sampel kategori ini, yaitu :

a. Sampel Insidental (serampangan)

Misalnya akan diteliti 100 mahasiswa UPI. Peneliti datang ke kampus sampai ditemukan 100 mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa yang diteliti adalah siapa yang ditemukan oleh peneliti di kampus.

b. Sampel Kuota (jatah)

Teknik ini hampir sama dengan insidental kampus, hanya sebelum dilakukan pengambilan sampel terlebih dahulu dibuat kategori sampel menurut strata, lalu setiap strata diberi jatah.

c. Sampel Purposive (tujuan)

Teknik ini digunakan berdasarkan pertimbangan tertetntu dari peneliti (subyektif). Misalnya peneliti ingin mengetahui bahwa siswa yang cara belajarnya teratur mempunyai prestasi tinggi. Maka peneliti hanya mengambil sampel siswa yang belajarnya teratur dan prestasinya tinggi.

A. Menentukan Besarnya Sampel
Pada prinsipnya tidak ada peraturan yang baku berapa persen sampel harus diambil dari suatu populasi. Namun menurut literatur penelitian pada umumnya berpendapat bahwa sampel yang melebihi lebih baik dari pada kekurangan. Artinya akan lebih baik sebanyak mungkin dari populasi. Untuk populasi 10 – 100 sebaiknya diambil seratus persen (100%). Di atas 100 – 300 bisa diambil 70% dan di atas 1000 cukup diambil 20%.
Jika sampel hanya 10 maka untuk mencari korelasi antara variabel X dengan Y dengan resiko kemungkinan sesat 5% dan memerlukan bilangan korelasi 0,632 (lihat hitungan statistik), sedangkan jika 100, maka diperlukan bilangan korelasi 0,195. untuk meredusir kesesatan perlu diberikan persyaratan yang ketat, terutama sampel kecil.

B. Faktor-faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Penarikan Sampel
1. Jumlah populasi dan karakteristiknya sesuai dengan variabel yang diteliti.
2. Tingkat keberartian dalam membuat estimasi.
3. Batas maksimum kekeliruan penarikan sampel.
4. Tujuan penelitian, instrumen dan analisis data yang akan digunakan.
5. Sumber daya yang tersedia (biaya, waktu, tenaga)

Sumber :
1. Nana Sudjana, Penelitian dan Penilaian Pendidikan.
2. Kartini Kartono, Metode Riset Sosial,
3. Rochman Natawidjaja, (1988), Pengolahan Data SecaraStatistik, Fakultas Pasca Sarjana UPI Bandung.