BAB II LANDASAN TEORI Analisis Psikologi Sastra dalam Novel Bumi Cinta

BAB II LANDASAN TEORI
Analisis Psikologi Sastra dalam Novel Bumi Cinta
Karya Hesti Lisiawati Mahasiswa UBT

A. Unsur Pembangun Novel
Ahli sastra sering menyebut prosa dengan istilah fiksi, istilah fiksi dipergunakan untuk menyebut
karya sastra yang isinya perpaduan antara kenyataan dan imajinasi. Fiksi yang baik menggambarkan kehidupan yang mengundang simpati pembaca, tanggapan pembaca, dan mendidik moral pembaca.
Seperti sebuah novel yang merupakan suatu totalitas mempunyai bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan dengan yang lain secara erat dan saling bergantung. Unsur-unsur inilah yang kemudian menjadi pembangun sebuah novel, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah
yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan
dijumpai jika orang membaca karya sastra.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra namun mempengaruhi kehadiran karya sastra sebagai karya seni. Unsur ekstrinsik karya fiksi sebagai aspek yang berada di luar sastra seolah-olah berpisah atau berdiri sendiri dan tidak memiliki kaitan dengan unsur intrinsik.
Namun sebenarnya antara unsur intrinsik dan ekstrinsik itu saling berhubungan tidak terlepas antara yang satu dengan yang lain. Unsur ekstrinsik antara lain aspek historis yaitu kaitannya antara sastra dan latar belakang sejarah, aspek sosiologis berkaitan antara sastra dengan masyarakat dalam berinteraksi satu dengan yang lain, aspek psikologis yang berkaitan antara sastra dengan kejiwaan manusia, aspek budaya yang berkaitan antara sastra dengan adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, aspek agama/religius kaitannya dengan sastra sangat erat karena keyakinan adanya nilai religius dalam karya sasrta sudah ada sejak lama, keyakinan adanya nilai religius dalam karya sastra merupakan akibat logis dari kenyataan bahwa sastra dari pengarang yang homoreligius (dalam skripsi Chairiah, 2010:19-20).

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa unsur pembangun novel ada dua,
yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur tersebut memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain untuk menciptakan suatu karya sastra yang bernilai seni.

B. Tokoh dan Penokohan
Struktur yang hendak dikaji dalam novel ini hanya akan dititikberatkan pada tokoh dan penokohan.
Tokoh dalam suatu cerita rekaan merupakan unsur penting yang menghidupkan cerita. Kehadiran tokoh
dalam cerita berkaitan dengan terciptanya konflik, dalam hal ini tokoh berperan membuat konflik dalam sebuah cerita rekaan (Wiyatmi, 2006: 30).
Pembicaraan mengenai penokohan dalam cerita rekaan memiliki keterkaitan dengan tokoh. Istilah
‘tokoh’ menunjuk pada pelaku dalam cerita sedangkan ‘penokohan’ menunjukkan pada sifat, watak atau karakter yang melingkupi diri tokoh yang ada. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Wiyatmi, 2006: 31).
Penokohan dapat juga dikatakan sebagai proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak
tokoh dalam suatu cerita. “Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh. Oleh karena itu, tokohtokoh harus dihidupkan” (Wardani, 2009: 40).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan. Penciptaan citra
atau karakter ini merupakan hasil imajinasi pengarang untuk dimunculkan dalam cerita sesuai dengan keadaan yang diinginkan.
Penokohan dalam cerita dapat disajikan melalui dua metode, yaitu metode langsung (analitik) dan
metode tidak langsung (dramatik). Metode langsung (analitik) adalah teknik pelukisan tokoh cerita
yang memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan langsung. Pengarang memberikan komentar tentang tokoh cerita berupa lukisan sikap, sifat, watak, tingkah laku, dan ciri fisiknya. Metode tidak langsung (dramatik) adalah teknik pengarang mendeskripsikan tokoh dengan membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjukkan kepribadiannya masing-masing, melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun nonverbal, seperti tingkah laku, sikap dan peristiwa yang terjadi (Wiyatmi, 2006:32).
Setiap tokoh mempunyai wataknya sendiri-sendiri. Tokoh adalah bahan yang paling aktif menjadi
penggerak jalan cerita karena tokoh ini berpribadi, berwatak, dan memiliki sifat-sifat karakteristik tiga dimensional, yaitu :

1. Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri-ciri muka dan ciri-ciri badani yang lain.
2. Dimensi sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan atau peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan, pandangan hidup, agama, sosial, suku bangsa dan keturunan.
3. Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, ukuran moral, temperamen, keinginan, perasaan pribadi, IQ dan tingkat kecerdasan keahlian khusus (Wardani, 2009: 41).

C. Psikologi Sastra
Psikologi berasal dari perkataan Yunani ‘psyche’ yang artinya jiwa, dan ‘logos’ yang artinya ilmu
pengetahuan. Jadi secara etimologis (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari
tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi.Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik (Ahmadi, 2003: 1). Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia. Lewat tinjauan psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya atau paling sedikit untuk memancarkan bahwa karya sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia (Endraswara, 2008: 6).
Dengan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Psikologi sastra adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sastra dengan kejiwaan. Dalam penelitian ini, ada beberapa peristiwakejiwaan yang perlu dipahami antara lain.

a. Konflik
Konflik terjadi bila ada tujuan yang ingin dicapai sekaligus dalam waktu yang bersamaan.
Konflik terjadi akibat perbedaan yang tidak dapat diatasi antara kebutuhan individu dan
kemampuan potensial. Konflik dapat diselesaikan melalui keputusan hati. Konflik dapat dibagi
menjadi empat macam, yaitu:

1) Approach-approach conflict, yaitu konflik-konflik psikis yang dialami oleh individu karena
individu tersebut mengalami dua atau lebih motif yang positif dan sama kuat. Misalnya, seorang
mahasiswa pergi kuliah atau menemui temannya karena sudah berjanji.

2) Approach avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena dalam waktu
yang bersamaan menghadapi situasi yang mengandung motif positif dan motif negatif yang sama kuat. Misalnya, mahasiswa diangkat menjadi pegawai negeri (positif) di daerah terpencil (negatif).

3) Avoidance-avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena menghadapi
dua motif yang sama-sama negatif dan sama-sama kuat. Misalnya, seorang penjahat yang tertangkap dan harus membuka rahasia kelompoknya dan apabila ia melakukan akan mendapat ancaman dari kelompoknya.

4) Double approach avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena
menghadapi dua situasi yang masing-masing mengandung motif negatif dan motif positif yang
sama kuat. Misalnya, seorang mahasiswa harus menikah dengan orang yang tidak disukai
(negatif) atau melanjutkan studi (positif).

D. Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud
Psikologi lazim disebut sebagai psikoanalisa, yang menekankan penyelidikannya pada proses
kejiwaan dalam ketidaksadaran manusia. Dalam ketidaksadaran inilah menurut Freud berkembang
insting hidup yang paling berperan dalam diri manusia yaitu insting seks, dan selama tahun-tahun
pertama perkembangan psikoanalisa, segala sesuatu yang dilakukan manusia dianggap berasal dari
dorongan ini. Seks dan insting-insting hidup yang lain, mempunyai bentuk energi yang menopangnya
yaitu libido yang artinya syahwat yang bersifat naluri (Gardner, 1993: 73).
Struktur kepribadian terdiri dari tiga sistem yaitu id, (das es), ego (das ich), dan super ego (das ueber ich). Perilaku manusia pada hakikatnya merupakan hasil interaksi substansi dalam kepribadian manusia id, ego, dan super ego yang ketiganya selalu bekerja, jarang salah satu di antaranya terlepas atau bekerja sendiri.

1. Id adalah aspek biologis yang merupakan sistem asli dalam kepribadian, dari sini aspek kepribadian yang lain tumbuh. Id berisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir dan yang menjadi pedoman id dalam berfungsi adalah menghindarkan diri dari ketidaknyamanan dan mengejar kenikmatan. Untuk mengejar kenikmatan itu id mempunyai dua cara, yaitu: tindakan refleks dan proses primer, tindakan refleks seperti bersin atau berkedip, sedangkan proses primer seperti saat orang lapar membayangkan makanan.

2. Ego adalah adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan individu untuk berhubungan baik dengan dunia nyata. Dalam berfungsinya ego berpegang pada prinsip kenyataan
atau realitas. Ego dapat pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol
jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya. Dalam berfungsinya sering kali ego harus mempersatukan pertentangan-pertentangan
antara id dan super ego. Peran ego ialah menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instingtif
dan keadaan lingkungan.

3. Super ego adalah aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta citacita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orang tua kepada anaknya lewat perintah-perintah atau larangan-larangan. Super ego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian, fungsinya menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak, sesuai dengan moralitas yang berlaku di masyarakat. Fungsi pokok super ego adalah merintangi dorongan id terutama dorongan seksual dan agresif yang ditentang oleh masyarakat. Mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralistis dari pada realistis, dan megejar kesempurnaan. Jadi super ego cenderung untuk menentang id maupun ego dan membuat konsepsi yang ideal.
Demikianlah struktur kepribadian menurut Freud, yang terdiri dari tiga aspek yaitu id, ego dan
super ego yang ketiganya tidak dapat dipisahkan. Secara umum, id bisa dipandang sebagai komponen
biologis kepribadian, ego sebagai komponen psikologisnya sedangkan super ego adalah komponen
sosialnya.

E. Novel
Novel berasal dari bahasa latin yaitu novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru.
Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya sastra yang datang dari bentuk karya sastra
lainnya seperti puisi dan drama. Sedangkan dari bahasa Italia yaitu novella yang artinya cerita pendek dalam bentuk prosa. Kehadiran novel sebagai bentuk salah satu karya sastra berawal dari kesusastraan Inggris pada awal abad ke-18. Timbulnya akibat pengaruh tumbuhnya filsafat yang dikembangkan John Locke (1632-1704) yang menekankan pentingnya fakta atau pengalaman (dalam skripsi Chairiah 2010:17).
Suyitno (dalam skripsi Chairiah 2010: 17) menyatakan novel adalah sastra cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang mewakili dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.
Tarigan (2000: 164) menyatakan bahwa novel adalah suatu cerita dengan suatu alur cukup panjang
mengisi satu buku atau lebih yang menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa novel adalah suatu
cerita prosa yang panjang dengan alur cukup panjang yang melukiskan kehidupan pelaku mulai waktu muda sampai mereka menjadi tua yang masih memiliki nilai-nilai otentik.

Pornografi dalam Perspekti Sejarah

Pornografi dalam Perspekti Sejarah
Oleh: Prof. Dr. Ajat Sudrajat , M.Ag

Pornografi telah mengundang kontroversi, sejak dari yang anti sampai pada yang ingin membiarkan dan mempertahankannya. Banyak hal yang terkait dengan pornografi, sejak dari soal sejarah, kebudayaan, politik, teknologi, sampai ekonomi. Demikian pula, pornografi telah melahirkan arus pemikiran yang beragam. Berangkat dari sejumlah persoalan tersebut, tulisan ini akan mencoba menelusuri lintasan sejarah pornografi.
Pornografi diyakini memiliki sejarah panjang seiring dengan perjalanan umat manusia. Tetapi, kapan sesunguhnya pornografi mulai mendapat perhatian, tentu harus ada bukti-bukti historis yang menguatkannya. Tanpa bermaksud mengabaikan sejarah panjang pornogarafi, abad ke-20 mencatat telah terjadinya pengembang-biakan pornografi yang luar biasa. Pengembang-biakan ini tidak lepas dari perkembangan kebudayaan manusia, sejak dari demokratisasi, kebebasan berekspresi, ditemukannya mesin cetak, alat fotografi, dan teknologi komunikasi. Sehingga akhirnya, pornografi menjadi bagian komoditi yang menghasilkan milliaran rupiah.
Kata kunci: Sejarah, Pornografi.
Pornografi berasal dari kata pornē (“prostitute atau pelacuran”) dan graphein (tulisan). Dalam Encarta Referency Library (Downs: 2005). dinyatakan bahwa pornografi adalah segala sesuatu yang secara material baik berupa film, surat kabar, tulisan, foto, atau lain-lainnya, menyebabkan timbulnya atau munculnya hasrat-hasrat seksual. Pengertian yang sama dinyatakan pula dalam Encyclopedia Britannica (2004), pornografi adalah penggambaran perilaku erotik dalam buku-buku, gambar-gambar, patung-patung, film, dan sebaginya, yang dapat menimbulkan rangsangan seksual. Dengan demikian, siapa pun yang menyajikan gambar, tulisan, atau tayangan yang mengumbar aurat sehingga menimbulkan nafsu atau hasrat-hasrat seksual, memancing birahi dan erotisme, dengan sendirinya terlibat dalam perbuatan pornografi.
Sementara itu, para pemikir feminis, seperti Gloria Steinem, Catharine MacKinnon, dan Andrea Dworkin, mengemukakan definisi pornografi yang berbeda, dan membedakannya dengan erotika. Mereka mendefinisikan pornografi sebagai ekspresi yang bersifat seksual dari kaum wanita, sedangkan erotika adalah ekspresi yang bersifat seksual yang mengambarkan atau memamerkan postur tubuh baik pada laki-laki maupun perempuan.
Kata Erotika berasal dari kata Yunani erōtika. Dalam Encarta Dictionary dikatakan, erotika adalah seni atau literatur yang cenderung membangkitkan hasrat-hasrat seksual dengan cara yang eksplisit. Sedangkan menurut Encyclopedia Britannica, kata erotika secara khusus dipakai untuk menunjuk pada karya-karya yang menempatkan unsur seksual sebagai bagian dari aspek estetik. Erotika biasanya dibedakan dari pornografi, terutama karena yang disebut terakhir difahami memiliki tujuan utama membangkitkan gairah seksual.
Terlepas dari definisi di atas dan adanya perbedaan antara pornografi dan erotika, kedua istilah ini biasanya dipakai untuk menunjuk kepada karya seni atau literatur yang mengeksploitasi tema-tema seksual. Antara pornografi dan erotika dapat digambarkan sebagai dua sisi dari sekeping mata uang, yang masing-masing di antaranya tidak dapat dipisahkan dari unsur seksual.
Pornografi dalam Lintasan Sejarah
Kita tidak tahu secara tepat mengenai asal usul dan bentuk yang paling awal dari pornografi. Alasannya barangkali karena tidak layak atau tidak patut untuk mentransmisikan dan melestarikan hal yang tidak pantas. Meskipun demikian, terdapat bukti-bukti sejarah, terutama dalam kebudayaan Barat, yang berkaitan dengan ekspresi pornografik ini.
Salah satu bukti sejarah mengenai ekspresi pornografik dalam kebudayaan Barat dapat ditemukan dalam nyanyian-nyanyian cabul pada masa Yunani Kuno. Nyanyian-nyanyian cabul ini dilakukan dalam perayaan-perayaan yang dipersembahkan untuk menghormati dewa Dionysius. Bukti-bukiti kuat lainnya dapat ditemukan dalam Kebudayaan Romawi di Pompeii, di sana terdapat lukisan-lukisan erotik yang berasal dari abad pertama masehi, yang menghiasai benteng atau tembok tempat berpesta. Bukti lainnya adalah, tulisan yang berasal dari masa klasik, yaitu tulisan seorang penyair Roma yang bernama Ovid, dalam karyanya yang berjudul Ars amatoria (Art of Love), suatu tulisan mengenai seni merayu, seni membangkitkan birahi, dan seni untuik menimbulkan hasrat-hasrat sensual (Encarta: 2005).
Selama Abad Pertengahan Eropa, pornografi telah meluas meskipun dalam ukuran yang rendah. Ekspresi ponografi ketika itu kebanyakan diungkapkan dalam bentuk lelucon, sanjak yang tidak bermutu, dan syair yang bersifat satiris. Satu karya yang terkenal berjudul the Dacameron, tulisan Giovanni Boccaccio, di dalamnya memuat 100-an cerita yang bernada cabul.
Penemuan alat cetak telah membangkitkan kembali ambisi karya-karya tulis yang bersifat pornografik. Pada umumnya karya-karya itu berisi unsur-unsur humor dan romantis serta ditulis dengan ramuan yang menghibur. Kebanyakan dari karya-karya ini memiliki kesamaan dengan tulisan-tulisan yang ada pada masa klasik, yaitu mengungkapkan dan menggambarkan suka duka dan tipu daya dalam perkawinan. The Heptameron, karya Margaret of Angoulême, memiliki kesamaan dengan the Dacameron, yang memanfaatkan kelompok pencerita. Beberapa cerita di dalamnya juga adalah mengenai cerita-cerita cabul (Encarta: 2005).
Pada abad ke-18, di Eropa untuk pertama kali muncul karya-karya modern yang sama sekali mengabaikan nilai-nilai dan sepenuhnya ditujukan untuk membangkitkan rangsangan seksual. Bisnis penerbitan dan penjualan karya-karya semacam itu terdapat di Inggris. Buku-buku yang semacam itu antara lain ditulis oleh John Cleland dengan judul Fanny Hill, atau, Memoirs of a Woman of Pleasure (1749). Kira-kira pada masa itu juga, buku-buku yang menggambarkan hal-hal yang bersifat erotik secara luas mulai diproduksi di Paris, yang kemudian dikenal dengan sebutan French Postcards.
Pornografi tumbuh dengan subur pada masa Victoria, sekalipun ketika itu berlaku atau ada larangan terhadap topik-topik yang berbau seksual. Pada tahun 1834, suatu penyelidikan di London menyatakan bahwa toko-toko yang berada di Holywell Street, 57 % persen di antaranya menjual bahan-bahan yang bersifat pornografik. Karya pornografik yang terkenal dari masa Victoria adalah yang berjudul My Secret Life (1890), dengan penulis anonim. Isi buku itu secara detail menceritakan tentang pencarian seorang laki-laki Inggris akan kepuasan seksualnya (sexual gratification). EB.
Terdapat sejumlah karya literatur erotik sepanjang masa dan di banyak negeri. Di antara contoh yang paling baik untuk literatur erotik selain yang telah disebutkan di atas adalah Kama-sutra, literatur Sanskrit dari abad ke-5. Juga ada syair lirik Persia yang disebut ghazal, kemudian novel Cina dari abad ke-16 yang berjudul Chin p’ing. Karya William Shakespear yang berjudul Venus and Adonis, juga masuk dalam arus ini, demikian pula dengan karya D.H. Lawrence yang berjudul Chatterley’s Lover.
Pornografi dan Aspek Kehidupan
Ketika membicarakan persoalan pornografi, banyak hal yang bisa terkait dengannya, seperti sejarah, kebudayaan, biologi, dan teknologi. Dalam perjalanan sejarahnya, pornografi tumbuh dan berkembang seiring dengan semakin berkembangnya kebebasan, yang dalam hal ini tidak bisa dilepaskan dari penyebaran dan persemaian demokrasi.
Meskipun hasrat-hasrat seksual merupakan sesuatu yang bersifat instinktual dan biologikal, tetapi ekspresi seksualitas ini sangat berkaitan dengan faktor-faktor kebudayaan, seperti misalnya bagaimana cara pandang masyarakat mengenai hakkekat hubungan antara laki-laki dan perempuan, ideal-ideal mereka tentang seksualitas, pandangannya mengenai hakekat nilai-nilai moral, dan tingkat kebebasan individu.
Dalam beberapa hal, pornografi juga merupakan ekspresi seksual yang merupakan kecenderungan kuat dari suatu orde sosial tertentu. Sementara itu, bagi orde sosial yang lain, pornografi dipandang sebagai sesuatu yang tabu dan merupakan bentuk pelanggaran hukum. Dalam kedua kasus tersebut, konten dari pornografi merupakan refleksi dan produk dari suatu kebudayaan. Di beberapa negara misalnya, ekspresi bahan-bahan dan pelukisan yang bersifat pornografik dapat ditolerir, tetapi di beberapa negara yang lain ekspresi dan pelukisan semacam itu dilarang sama sekali.
Secara teknologi, perkembangan fotografi dan perfilman memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap perkembang-biakan (proliferation) bahan-bahan yang bersifat pornografik. Pornografi yang berkembang pada abad ke-20 belum pernah terjadi sebelumnya, baik dalam hal ragam media yang digunakan atau banyaknya volume karya yang diproduksi. Sejak Perang Dunia II, tulisan-tulisan yang mengenai dan bersifat pornografik secara luas telah digantikan oleh gambaran-gambaran visual yang eksplisit dalam bentuk perilaku erotis, dan dipandang telah lepas dari nilai-nilai sosial.

Pornografi sebagai Komoditi

Seperti telah dikemukakan di atas, abad 20 mencatat proliferasi pornografi yang luar biasa, dan sejak tahun 1950-an disebut-sebut telah terjadi ledakan dalam industri pornografi. Menurut suatu analisis, kecenderungan ini menggambarkan telah terjadinya peningkatan pornografi, disebabkan munculnya teknologi-teknologi baru sebagai sarana distribusi. Di samping budaya patriarkhi, maraknya pornografi adalah karena unsur komersialisme dan industrialisasi atas pornografi ini (Supartiningsih, 2004: 1-12).
Di Amerika, industri pornografi berkembang sejak tahun 1950-an yang ditandai dengan diterbitkannya majalah Playboy. Majalah ini untuk pertama kalinya memuat gambar-gambar wanita cantik (girlie magazine). Sejak tahun 1970-an bermunculan majalah-majalah lain yang isinya menyediakan dan memuat hal-hal yang berbau pornografik secara lebih eksplisit. Sementara itu, film-film yang bersifat pornografik mulai dibuat untuk pertama kali kira-kira pada tahun akhi tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Sejak pertengahan tahun 1980-an, majalah-majalah pornografi dan rumah-rumah produksi mengalami penurunan disebabkan diperkenalkannya teknologi baru, terutama dengan berkembangnya video cassette recorder (VCRs) dan televisi kabel. Sejak tahun 1990-an, dengan berkembangnya jaringan internet, ketersediaan pornografi semakin meningkat, baik di Amerika maupun negara-negara lainnya (Downs-Encarta:2005).
Dewasa ini, pornografi di Amerika merupakan lahan bisnis dengan aset milliaran dollar. Pada tahun 1996, Amerika menghabiskan dana sekitar delapan miiliar dollar berkenaan dengan bahan-bahan yang berbau pornografik, seperti video, program kabel untuk orang dewasa, komputer pornografi, majalah-majalah seks, dan pertunjukan-pertunjukan cabul. Kira-kira ada 25.000-an toko yang menjual video-video pornogrfi. Pada tahun 1992, Amerika telah menyewakan sebanyak 490 juta keping viodeo porno, suatu peningkatan yang substansial dari 75 juta keping pada tahun 1985. Pada tahun 1997, suatu studi mengenai pornografi lewat internet mengatakan kira-kira ada 34.000 web site. Sejumlah studi yang lain mengatakan adanya keterlibatan organisasi-organisasi kriminal dalam penyebaran pornografi ini (Daynes, 1988: 41).
Reaksi Masyarakat Terhadap Pornografi
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengendalikan penyebaran pornografi yang terdapat baik di televisi, gedung-gedung film, dan internet. Banyak negara, seperti Amerika dan Inggris, memberikan pembatasan-pembatasan terhadap bentuk siarannya. Pemerintah berusaha untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan cabul dengan memperkuat undang-undang percabulan atau undang-undang anti pornografi.
Perhatian yang serius terhadap hal-hal yang berbau pornografi secara eksplisit mulai kelihatan sejak awal abad ke-20. Kecenderungan ini ditandai oleh adanya sejumlah tindakan keras yang dilakukan pemerintah terhadap pornografi, baik yang dlakukan melalui gerakan politik maupun dalam bentuk rekasi-reaksi atas perubahan sosial ini. Misalnya, munculnya kegelisahan yang melanda masyarakat Amerika, Inggris, dan Kanada antara tahun 1890-an sampai 1920-an atas terjadinya dekadensi moral dan kehancuran orde sosial yang melanda negeri-negeri ini.
Sudah sejak lama, masyarakat memperdebatkan tentang karya-karya yang bersifat pornografik. Kebanyakan dari mereka menyatakan perlu adanya kalau bukan harus ada sensor yang (sangat) ketat berkait dengan karya-karya yang bercorak demikian. Karena bagi mereka, pornografi merupakan bentuk ekspresi yang sangat kontroversial dan meresahkan. Seperti diketahui bahwa konseksuensi sosial dari pornografi sudah menjadi subjek perdebatan yang keras di kalangan masyarakat.
Setidaknya, sudah sejak permulaan abad ke-20, keputusan-keputusan pengadilan dan perundang-undangan, berusaha untuk mempersempit ruang gerak beredarnya pornografi dan percabulan. Masing-masing negara memiliki pendekatan dan hukum tersendiri terhadap persoalan ini. Meskipun demikian, sampai saat ini masih kurang adanya koordinasi di tingkat internasional, padahal pornografi telah menyebar bagai virus jahat di mana pun di dunia ini melalui berbagai media cetak maupun elektronik.
Di Amerika Serikat misalnya, The Comstock Law, pada tahun 1873, melarang pengiriman setiap bentuk materi yang berbau cabul melalui pos, termasuk materi-materi yang berkaitan dengan aborsi. Atas nama moral kesopanan (moral decency), The Comstock Law berhasil menjaring dan menuntut ratusan karya yang berbau pornografik. Kongres Amerika, melalui hukum tentang percabulan (obscenity laws) antara tahun 1842 dan 1956, telah mengamandemen the Comstock Law. Kemudian, Kongres melalui serangkaian hukum anti-pornografi dan anti-ketidaksenonohan (antipornography and anti-indecency laws) berusaha menghadapi bentuk-bentuk teknologi baru dan untuk melindungi anak-anak dari pornografi dan ketidaksenonohan.
The Protection of Children Against Sexual Exploitation Act of 1977 melarang setiap hal yang mengarah pada perilaku pornografi (Daynes, 1988: 51). Pada tahun 1988 Kongres Amerika, melalui legislasinya juga menentang perilaku ketidaksenonohan dan percabulan melalui telpon (dial-a-porn). Pada tanggal 26 Juni 1997, Mahkamah Agung Amerika Serikat mengeluarkan the Communications Decency Act (CDA), suatu hukum federal yang melarang distribusi bahan-bahan cabul atau tak senonoh melalui jaringan komputer, seperti internet. CDA merupakan suatu usaha untuk membatasi atau mengurangi bahan-bahan yang bersifat pornografik melalui jaringan internet.
Seiring dengan semakin meningkatnya peredaran majalah yang berbau pornografik di Kanada pada tahun 1950-an, telah mendorong pemerintahnya untuk memperkuat hukum atau undang-undang yang berhubungan dengan tindak percabulan. Karena Konstitusi Kanada secara formal tidak melindungi kebebasan berekspresi sampai tahun 1982, pengadilan-pengadilan tidak membatasi gerakan-gerakan semacam itu atas nama konstitusi. Hukum tahun 1959 mengaskan bahwa materi atau bahan-bahan itu dikatakan cabul apabila memiliki ciri-ciri yang dominan seperti eksploitasi seks yang tidak senonoh, atau apabila seseorang atau lebih melakukan hal-hal berikut, yaitu kriminal, horor, kebengisan, dan kekerasan sesksual. Definisi ini jauh lebih ekspansif dibanding doktrin percabulan yang terdapat di Amerika, yang tidak memasukkan unsur kriminal, kekerasan, horor, dan kebengisan.
Pada tahun 1980-an, koalisi golongan konsevatif dan feminis, mulai menekan para pembuat undang-undang untuk memperkuat hukum percabulan dengan mencabut perlindungan hukum bagi pelaku kekerasan dan diminta untuk menurunkan aksi pornografi. Laporan tahun 1985 dari komite khusus yang menangani pornografi dan prostitusi, juga disebut Komisi Fraser, telah telah meminta kepada parlemen agar pornografi dan prostitusi dimasukkan ke dalam perbuatan kriminal. Pada pertengahan tahun 1980-an, pengadilan-pengadilan di Kanada mulai mengakomodasi pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh kaum feminis.
Pada tahun 1985, Pengadilan Tinggi Kanada mengadopsi suatu pandangan yang mengatakan bahwa pornografi telah menurunkan dan menyebabkan dehumanisasi kaum wanita. Pada tahun 1992, Pengadilan mendefinisikan bahwa sesuatu materi dapat disebut sebagai percabulan apabila di dalamnya memuat unsur kekerasan seksual, menurunkan dan menyebabkan terjadinya dehumanisasi perempuan, dan termasuk juga penggambaran seks anak-anak. Hukum pornografi anak Kanada memiliki kesamaan dengan yang terdapat di Amerika, kecuali bahwa Kanada juga melarang pornografi anak. Rupanya, Kanada telah berusaha untuk melindungi warga negaranya dari pornografi dan percabulan lebih baik dibanding Amerika. Hasilnya adalah pornografi di Kanada tidak sesemarak dan seekstentif di Amerika. Meskipun demikian, pembatasan-pembatasan terhadap pornografi di Kanada bukan tidak mendapat tantangan.
Pendekatan legal terhadap pornografi dan percabulan dilakukan pula di banyak negara. Di Inggris misalnya, untuk menentukan sesuatu materi dipandang cabul atau tidak, didasarkan pada kriteria isi dan cara mendistribusikannya. Konstitusi Jerman mengamanatkan kewajiban kepada para pembuat undang-undang untuk melindungi kaum muda dan warga negaranya dari bahaya yang diasosiasikan dengan bentuk-bentuk tertentu seperti kekerasan dan percabulan. Denmark memberlakukan hukum percabulan (obscenity laws) pada tahun 1969. Di luar Amerika Serikat dan Eropa, pemerintahan Komunis Cina memberlakukan kontrol yang sangat tinggi terhadap ekspresi yang berlebihan, dan tidak mengizinkan peredaran bahan-bahan yang berbau seksual. Mereka meyakini bahwa hal itu akan merusak (detrimental) pandangan Partai Komunis Cina tentang warga negara yang baik.
UU APP di Indonesia: Suatu Harapan
Seperti telah disebutkan di atas, pornografi di Indonesia bukanlah merupakan fenomena baru. Pornografi di Indonesia boleh jadi seiring dengan perkembangan pornografi di dunia pada umumnya. Ibarat tanaman rumput, walaupun sering diinjak, dicabuti, bahkan dibabat, pornografi tetap tumbuh dengan subur. Menurut catatan Lembaga Pers dan Pendapat Umum di Jakarta (sekarang sudah tidak ada), pada tahun 1953 tercatat adanya buku-buku dan bacaan cabul berisikan perempuan Barat yang telanjang masuk ke Indonesia dengan bebas. Sejak itu pula pemerintah berusaha keras untuk memerangi percabulan dengan menyeret penanggung jawab penerbitan ke pengadilan (Tjipta Lesmana, 1995).
Pada tahun 1954, sejumlah majalah dan buku telah dikirim oleh Polisi Bagian Kesusilaan kepada Kejaksaan Agung. Judul-judul buku tersebut antara lain: Rahasia Sorga Dunia, Sundal terhormat, Gadis Lobang Kubur, Wanita Sepanjang Zaman, Dacameron I dan II, dan Usia Dewasa. Pada tahun 1955, majalah Tjermin edisi 16 dan 23 telah dituntut oleh Polisi karena memuat tulisan yang berjudul Gara-gara buah dada ter…buka dan Panitia Penyewaan Sontoloyo. Tahun 1956, Pengadilan Negeri Yogyakarta menghukum denda Pemimpin Redaksi Majalah Bikini, karena memuat cerdek berbau cabul. Pada tahun 1957, Pemimpin Redaksi majalah bulanan Roman juga dijatuhi hukuman denda karena judul cerita Tinah dan Induk Semang, yang ternyata bersifat cabul.
Gerakan pemerintah untuk memerangi pornografi dan percabulan tidak pernah berhenti. Gerakan ini merupakan jawaban atas semakin suburnya peredaran bahan-bahan yang berbau pornografi. Peredaran bahan-bahan yang demikian kelihatan semakin mencolok pada masa orde baru. Pada tanggal 2 Oktober 1967, Departemen Penerangan bersama Pengurus Harian PWI Pusat, PWI Jaya dan SPS, Departemen Dalam Negeri, serta Departeman Luar Negeri, menyelenggarakan rapat gabungan yang membahas masalah pornografi dalam pers di Indonesia. Pada tahun 1970, Kejaksanaan Agung membentuk sebuah tim yang bernama “Tim Penelaahan Porno Kejaksaan Agung” di bawah pimpinan Jaksa Agung Muda Bidang Intel. Meskipun demikian, pornografi di Indonesia tetap saja berkembang dengan subur.
Perang terhadap pornografi terus dikumandangkan oleh pemerintah. Pada tahun 1984, pornografi mencapai puncaknnya dengan beredarnya kalender Happy New Year 1984 Sexindo. Kalender ini merupakan yang pertama di Indonesia yang menampilkan perempuan-perempuan telanjang tanpa sehelai benang pun. Memasuki tahun 1988, pornografi di Indonesia mulai menggila lagi. Film dengan judul Pembalasan Ratu Laut Selatan, sangat mengejutkan masyarakat. MUI mengajukan protes keras atas produksi dan peredaran film tersebut. Sebagian kalangan menilai bahwa film tersebut masuk dalam kategori softcore pornography. Pada waktu yang bersamaan, Badan Sensor Film (BSF) juga menarik peredaran film Akibat terlalu Genit (Tjipta Lesmana, 1995:4).
Menurut catatan Badan Sensor Film, selama semester 1 tahun 1984/85, BSF telah menyensor 60-an judul film. Dari judul sebanyak itu, 44 judul atau 67,3%, harus mengalami pemotongan lantaran menggambarkan adegan porno. Beberapa judul film yang bernada provokatif antara lain: Cinta di Balik Noda, Tergoda Rayuan, Midah Gadis Buronan, Kawin Kontrak, Pengantain Pantai Biru, dan Gadis Simpanan.
Ledakan film pornografi di Indonesia menggila lagi pada awal tahun 1990-an. Pada tahun 1994 misalnya, karena produksi perfilman demikian kuat mengeksploitasi pornografi, pemerintah kembali lagi mencanangkan perang terhadap segala bentuk pornografi. Tengok saja judul-judul film yang dirpoduksi tahun itu: Ranjang yang Ternoda, Ranjang Pemikat, Asmara, Perempuan di Persimpangan Jalan, Gairah Malam, Gairah Cinta, Gairah yang Nakal, Gadis Malam, Gadis Metropolis, Janda Kembang, Selir Sriti, Selir Durga Ratih, Akibat Hamil Muda, Kenikmatan Tabu, Setetes Noda Manis, Cinta Dalam Nafsu, Godaan Perempuan Halus, Skandal Ibis, Misteri Permainan Terlarang, Sorgaku Nerakaku. Judul-judul itu baru sebagian dari sekitar 40-an judul film yang dikategorikan porno (Tjpta Lesmana, 1995:1).
Sepanjang tahun 1990 sampai 1992, hampir seluruh media cetak memberikan sumbangan terhadap proliferasi pornografi. Majalah Jakarta-Jakarta, merupakan majalah terpanas di Indonesia. Hampir pada setiap edisinya, majalah ini tidak pernah tidak menampilkan sampul dengan gambar yang memancing nfasu birahi. Majalah lain yang tidak kalah getol dalam penyajian gambar-gambar sensual adalah Monitor milik KKG (Kelompok Kompas dan Gramedia). Resep yang dipakai Arswendo Atmowiloto ialah mengekspoitasi unsur-unsur seksual, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan jurnalisme lher. Pada tahun 23 Oktober 1990, majalah Monitor dibredel disebabkan memuat angket 50 Tokoh yang dikagumi dengan menempatkan Nabi Muhammad pada urutan ke-11, satu tingkat di bawah posisi Arswendo. Hasil angket ini dinilai menghina dan merendahkan Nabi Muhammad serta melukai umat Islam. Mati satu tumbuh seribu, itulah kenyataan yang mengiringi dibredelnya majalah Monitor. Tabloid Bintang dan Citra, terbit hampir berbarengan pada bulan Mei 1991 dengan tema yang sama (Tjpta Lesmana, 1995:8).
Bahan-bahan yang bersifat pornografi dan pornoaksi, baik lewat VCD maupun penayangan gambar atau tulisan di media massa, terus berkembang biak bagai penyaklit menular. Protes-protes dan kecaman senantiasa muncul dari masyarakat. Namun, protes-protes dan kecaman yang dilontarkan masyarakat itu sepertinya hanya berlaku sesaat. Karena setelah protes itu reda, peredaran bahan-bahan pornografi tersebut kembali marak, bahkan dengan intensitas yang jauh lebih tinggi dibanding sebelumnya.
Belajar dari pengalaman negara lain, sudah sewajarnya kalau Indonesia pun memiliki perangkat hukum yang dapat melindungi warga negaranya, terutama anak-anak dan generasi mudanya dari kebiadaban makhluk pornografi. Negara bertanggung jawab dan memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dari wabah pornografi. Kalau selama ini, negara seakan tidak begitu konsisten dengan wabah ini, sudah saatnya negara bertindak tegas dan tidak lagi berkompromi. Atas nama menjaga moral dan masa depan bangsa, negeri ini harus memiliki perangkat hukum dalam bentuk Undang-Undang Anti-Pornografi.
Mainstrim Pemikiran Pornografi
Meskipun sebagian besar masyarakat sudah gerah dengan aksi pornografi, tidak ada jeleknya apabila berikut ini ditambahkan beberapa mainstrim pem ikiran yang berkaitan dengan pornografi. Sikap terhadap pornografi secara umum dapat dibedakan ke dalam empat perspektif, yaitu: konservatif, feminis, postmodern, dan liberal (Downs: Encarta). Ketegangan di antara pandangan-pandangan ini semakin meningkat seiring dengan membiaknya bahan-bahan yang bersifat pornografik yang beredar melalui media elektronik.
Pertama, perspektif konservatif. Kalangan konservatif melihat pornografi berdasarkan alasan-alsan tradisional mengenai hukum percabulan (obscenity law), yang memfokuskan pada bagaimana pornografi telah merusak moral dan orde sosial. Mereka ingin mendudukkan keinginan-keinginan yang bersifat seksual dikendalikan dan dicegah secara rasional, adanya komitmen interpersonal, bertanggung jawab, dan berkualitas, yang dijaga dengan dilakukannya perkawinan dan komitmen terhadap keluarga.
Perpektif konservatif melihat pornografi sebagai penyakit sosial, karena telah merangsang keinginan-keinginan seks impersonal dan rekrerasional. Dengan demikian, pornografi telah menyebabkan dan merangsang terjadinya hubungan yang bebas (seks-bebas) antara laki-laki dan perempuan dan melecehkan lembaga perkawinan. Dalam ha ini, pornografi juga telah memberikan sumbangan terhadap maraknya kekerasan seksual (perkosaan). Pandangan yang konservatif ini didasarkan pada agama dan teori moral sekuler. Di Amerika Serikat dan banyak negara, sejumlah aktivis keagamaan telah bekerja keras dan berjuang melalui gerakan-gerakan anti-pornografi, terutama sejak tahun 1970-an.
Kedua, perpektif feminis. Alur utama dalam perspektif feminis adalah menolak pandangan-pandangan moral dan religius kaum konservatif. Dalam hal ini, menurut kaum feminis, pornografi bukanlah tentang seks nmelainkan tentang kekuasaan. Pornografi menggambarkan dan memperkuat kekuasaan kaum laki-laki dan seksualitas dengan menggambarkan wanita sebagai objek seks, untuk memenuhi selera dan kesenangan kaum laki-laki.
Seperti telah disebutkan di atas, kaum feminis membedakan pornografi dari erotica, yang didefinisikan sebagai pameran tubuh yang dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Kelompok feminis terbelah ke dalam dua arus pemikiran yang berbeda. Sekelompok kaum feminis mendukung adanya pembatasan-pembatasan terhadap pornograf, tetapi sebagian lainnya tidak. Kaum feminis yang menolak adanya sensor atas aktivitas pornografik menyatakan dan berkeyakinan bahwa cara-cara seperti itu akan mengarah pada terjadinya sikap yang represif. Menurut kelompok ini, semua bentuk sensor akan membahayakan ekualitas perempuan.
Ketiga, perpektif posmodern. Kalangan posmodern mengkritik adanya sensor. Mereka menuduh kalangan konservatif dan kaum feminis prosensor telah mengadopsi pandangan tentang seks, ekualitas, dan kontrol pemerintah dengan sangat sederhana. Kalangan posmodern sangat skeptik dengan semua penjelasan fenomena sosial yang komplek. Menurut kalangan posmodern, pornografi memiliki banyak pengertian dan akibat, oleh karena itu mereka tidak bermaksud untuk mereduksi atau memperkuatnya. Sama dengan pandangan kaum feminis antisensor, aliansi antara kaum konservatif dan kaum feminis prosensor akan dapat menimbulkan sikap-sikap yang represif.
Keempat, perspektif liberal. Pandangan kaum liberal terhadap pornografi adalah membiarkan setiap aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa, sepanjang hal itu tidak mencelakakan dan membahayakan orang lain. Dalam pandangan ini, pornografi merupakan ekspresi yang sah (legitimate expression) dari pilihan seorang individu. Seperti halnya kaum posmodern, kaum liberal cenderung menafsirkan pornografi secara relatif. Apabila kaum posmodern masih dapat menerima adanya peran regulasi negara atas pornografi, kaum liberal menolak sama sekali pembatasan negara dalam bentuk apa pun atas pilihan individu. Kaum liberal mengkritik setiap klaim mengenai akibat yang merusak dari pornografi.
Akibat atau Pengaruh Pornografi
Persoalan tentang bagaimana pornografi mempengaruhi kelakuan dan sikap masyarakat terjadi silang pendapat. Kelompok-kelompok yang menentang pornografi menyakini bahwa pornografi telah menyebabkan immoralitas, kekerasan seksual, dan perlakuan yang negatif terhadap kaum perempuan, atau bahkan dehumanisasi kaum perempuan. Sementara itu bagi kelompok yang mempertahankan pornografi, selain melihat pornografi sebagai hiburan yang tidak terbatas yang dapat membantu mengurangi ketegangan-ketegangan seksual, juga karena di dalam pornografi tersimpan uang dalam julmah milliaran rupiah. Pornografi merupakan komoditi yang dengan cepat dapat menghasilkan uang banyak.
Pada tahun 1986, Komisi Umum Pengacara Amerika yang menangani pornografi menyimpulkan bahwa pornografi telah melahirkan adanya hubungan kausal dengan tindakan-tindakan anti-sosial yang berupa kekerasan seksual. Selanjutnya, Komisi ini juga menyimpulkan bahwa menurunnya aksi pornografi akan dapat melahirkan sejumlah hubungan kausal. terhadap kekerasan, agresi seksual, dan sikap negatif, seperti halnya mitos bahwa wanita adalah pemuas nafsu.
Suatu penelitian mengenai pornografi, dengan subjek murid laki-laki, memberikan dukungan terhadap tesis yang pertama, dan tidak untuk yang kedua. Menurunnya pornografi tidak serta merta akan menurunkan kekerasan seksual. Meskipun demikian, penelitian itu secara umum memberikan dukungan terhadap pandangan bahwa pornografi itu berbahaya dan membahayakan. Sejumlah penelitian yang lain mengklaim bahwa lebih dari 10% pornografi menggambarkan kekerasan seksual.
Penutup
Pornografi sesungguhnya memiliki sejarah panjang seiring dengan perjalanan umat manusia. Terdapat bukti-bukti historis yang menguatkannya sekalipun tidak berasal dari masa yang paling awal. Berdasarkan sejumlah bukti, abad ke-20 mencatat telah terjadinya ledakan dan pengembang-biakan (proliferasi) pornografi yang luar biasa. Proliferasi pornografi ini ternyata tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, sejak dari adanya kebebasan berekspresi, ditemukannya mesin cetak, alat fotografi, dan teknologi komunikasi. Sehingga akhirnya, pornografi menjadi bagian komoditi yang menghasilkan milliaran rupiah.
Perkembangan pornografi yang demikian luar biasa ini telah mengundang respon masyarakat. Telah muncul reaksi yang beraneka ragam dari masyarakat terhadap fenomena ini. Sejumlah negara telah berusaha membatasi beredarnya pornografi dengan menetapkan perundang-undangan anti porbografi. Sementara itu, reaksi dari masyarakat luas tercermin dari adanya arus pemikiran yang menentang peredaran bahan-bahan yang berbau pornografik dengan melakukan sensor yang ketat. Meskipun demikian, ada sebagian masyarakat yang menginginkan agar pornografi itu dibiarkan saja, selama tidak terkait dengan unsur-unusru kriminal, kekerasan seksual misanya.
Daftar Pustaka
Daynes, Byron W. “Pornography: Freedom of Expression of Societal Degradation”, dalam Social Regulatory Policy. Boulder and London: Westview Press, 1988.
Downs, Donald A. “Pornography”. Microsoft Encarta Reference Library 2005. Microsoft Corporation. All rights reserved. 1993-2004.
Lesmana, Tjipta. Pornografi dalam Media Massa.Jakarta: Puspa Swara, 1995.
“Pornography”. Encyclopedia Britannica 2005 Ultimate Reference Suite, http://www.britannica. com. Encyclopedia Britannica Inc. 2004.
Reed, Esther D. “Pornography and The End of Morality?”, dalam Studies in Christian Ethics, Volume 7 Number 2, Edinburg: T & T Clark, 1994.
Supartiningsih, “Melacak Akar Masalah Pornografi dan Pornoaksi serta Implikasinya Terhadap Nilai-Nilai Sosial”, dalam Jurnal Filsafat, Jilid 36, Nomor 1, April 2004.
Biodata Penulis: Ajat Sudrajat. Dosen mata kuliah Sejarah Pemikiran dan Asia Barat pada Jurusan Pendidikan Sejarah FISE dan PAI-MKU Universitas Negeri Yogyakarta.

Tulisan Lain

  • Pengantar Psikologi Politik;>>>baca
  • Manajemen Pemberantasan Korupsi;>>>baca
  • Pendidikan dan Peningkatan Kualitas Moral Bangsa;>>>baca
  • Pancasila sebagai Falsafah;>>>baca
  • Hak dan Kewajiban Warga Negara;>>>baca
  • Sejarah Kuno Bangsa Amerika;>>>baca
  • Teks, Tekstologi, dan Kritik Teks;>>>baca
  • Sepuluh Harus dan Sepuluh Jangan Dilakukan Bagi Pelamar Kerja Saat Wawancara

    Sepuluh Harus dan Sepuluh Jangan Dilakukan Bagi Pelamar Kerja Saat Wawancara

    Agar wawancara kerja dapat berjalan dengan efektif, maka Anda perlu mempersiapkan segalanya dengan tepat dan sempurna – paling tidak mendekati. Persiapkanlah segala aspek yang mungkin terjadi dalam wawancara kerja tersebut, sehingga apabila Anda berhadapan dengan permasalahan tersebut, Anda sudah dapat menguasai dan bahkan mengendalikannya. Berikut ini 10 hal yang harus anda persiapkan dalam menghadapi wawancara kerja:

    1. Siapkan Interview Kit

    Orang-orang dalam jajaran manajemen tak akan punya banyak waktu untuk mewawancarai Anda. Untuk itu, bertindak proaktif pasti akan sangat membantu mencegah terjadinya kemacetan komunikasi, siapkan sebuah berkas yang disebut Interview Kit. Simpan dokumen penting seperti CV terbaru, ijazah pendidikan, sertifikasi bidang keahlian dan training, sertifikat penghargaan yang Anda miliki serta dokumen resmi lainnya.

    Jangan lupa juga beberapa lembar fotokopinya. Selain itu jika Anda punya hasil karya atau bukti karya yang pernah Anda capai, sertakanlah juga. Interview Kit sangat berguna memberikan gambaran visual diri Anda. Untuk Anda yang memiliki keahlian dalam bidang kreatif, jangan lupa siapkan portofolio, misalnya bidang fotografi, desain grafis atau periklanan.

    2. Buat Daftar Kemahiran Anda

    Ini akan membantu Anda menjawab pertanyaan yang menyangkut kelebihan diri sendiri. Misalnya pengatahuan penggunaan internet, kursus intensif komputer, diploma perpajakan atau sertifikasi internasional yang Anda miliki.

    3. Buat Strategi “60 detik”

    Berlatihlan menjawab pertanyaan yang diajukan kurang dari 1 menit. Strategi ini cocok untuk menjawab pertanyaan seperti: “Ceritakan tentang diri Anda?” Gunakan strategi ini untuk membuat kesimpulan jawaban. Juga untuk mengakhiri wawancara

    4.Berlatih Memberikan Jawaban

    Berlatih Memberikan Jawaban Singkat dan Jelas untuk pertanyaan kunci, yakni pertanyaan seperti, “Mengapa Anda harus keluar dari tempat kerja lama?” atau “Apakah kelemahan Anda?” dapat Anda jawab dengan lancar jika sudah dipersiapkan terlebih dahulu.

    5. Latih Penampilan Anda

    Siapkan kamera video dan alat rekam untuk mendengar suara dan melihat postur tubuh saat wawancara. Minta bantuan teman untuk pura-pura berperan sebagai si pewawancara. Usahakan berbicara dengan bahasa baku, terstruktur dan jelas.

    6. Beri Bermacam-Macam Contoh Kejadian Atau Pengalaman

    Apa yang telah Anda lakukan mencerminkan apa yang kelak Anda lakukan. Pilihlah sebuah pengalaman yang sekiranya tidak hanya mengesankan Anda, namun juga orang lain.

    7. Jabat Tangan Si Pewawancara Dengan Tegas

    Pandanglah kedua matanya. Sapa namanya saat masuk dan meninggalkan ruangan. Ucapkan salam standar sepert, “Selamat Siang Bapak”.

    8. Dengarkan Semua Pertanyaan Dengan Seksama dan Jawablah Dengan Ringkas

    Hal ini akan mengesankan Anda cakap dalam berkomunikasi maupun cepat dalam berfikir. Jika ada pertanyaan yang tidak jelas, tanyakan sekali lagi supaya Anda benar-benar yakin telah mengerti inti pertanyaan. Namun jangan sampai hal ini (bertanya), Anda lakukan berulang kali.

    9. Aktif Dalam Percakapan

    Ciptakan hubungan dan ajukan pertanyaan berkaitan. Misalnya saat berbicara tentang komputer, tanyakan sistem apa yang dipergunakan oleh perusahaan tersebut. Berikan beberapa alternatif pengalaman Anda mengenai sistem komputer tersebut.

    10. Perlihatkan Minat dan Semangat

    Ekspresi wajah yang monoton tak akan membuat si pewawancara berminat dan yakin akan kemampuan Anda. Ceritakan pengalaman yang telah Anda jalani. Lalu tunjukan bahwa Anda akan sukses melakukan pekerjaan yang baru nantinya berkat pengalaman masa lalu
    Berikut 10 Hal Jangan dilakukan Dalam Wawancara
    Umumnya, anda menghadapi situasi dimana anda harus bersaing dengan banyak pelamar. Situasi semacam ini tentu menuntut anda untuk menawarkan expected dan extra. Bagaimana caranya? Sebagai tambahan atau penegasan dari yang sudah anda ketahui, di bawah ini ada sejumlah “jangan” yang perlu anda hindari atau beberapa hal yang perlu anda lakukan:

    1. Jangan terlalu “pede” diterima sehingga anda meremehkan persyaratan, baik tertulis atau yang tidak tertulis. Lebih-lebih ada kesan bahwa anda minta dispesialkan karena punya orang dalam. Sikap anda jangan mengundang datangnya hal-hal buruk.

    2. Jangan juga terlalu pesimis sehingga anda sudah tidah lagi menunjukkan harapan dan gairah. Yang pede dan optimis saja belum tentu diterima, apalagi yang sudah pesimis. Secara naluri universal, tidak ada perusahaan yang tertarik untuk merekrut orang pesimis.

    3. Jangan terlalu banyak bertanya. Lebih-lebih pertanyaan itu mengundang penafsiran yang berbeda. Misalnya anda bertanya, apakah keuangan perusahaan ini atau masa depan perusahaan ini sehat atau tidak. Bagi sebagian orang, ini bisa dianggap menyinggung. Kalau anda ingin tahu, carilah informasi dari mantan karyawan, laporan media, atau internet. Bisa juga dengan melakukan pengamatan.

    4. Jangan juga tidak bertanya sama sekali sehingga interview itu berjalan tanpa kesan. Idealnya, sebelum interview, siapkan maksimal tiga sampai lima pertanyaan yang terkait dengan pekerjaan (bukan perusahaan).

    5. Hindari mematok harapan yang tidak rasional, terutama yang terkait dengan gaji atau fasilitas. Ukur dulu kemampuan, lalu simpulkan berapa layaknya, kemudian sempurnakan dengan mencari perbandingan di luar. Kalau bisa, cari informasi tentang kebijakan yang berlaku di perusahaan itu.

    6. Hindari mengeluarkan pernyataan yang melemahkan atau menegatifkan posisi tawar, misalnya: saya tidak mau, saya tidak bisa, saya bisa tetapi, dan lain-lain. Gunakan ungkapan yang memperkuat posisi tawar, yang menunjukkan bahwa anda memang sudah siap secara lahir dan batin.

    7. Hindari berpakaian atau mengenakan perhiasan dan aksesoris yang berlebihan atau tidak sesuai dengan ukuran umum untuk posisi yang ingin anda masuki. Banyak perusahaan yang tidak suka merekrut orang yang gaya hidupnya terlalu tinggi untuk posisi yang dilamarnya atau juga terlalu rendah (tidak sesuai). Artinya, sesuaikan dengan posisi yang ingin anda masuki dan juga dengan kultur perusahaan.

    8. Hindari menceritakan masalah pribadi, apalagi terkesan ingin menjual masalah pribadi untuk mendapatkan simpati dan belas kasihan. Kalau ditanya, jawablah secukupnya saja.

    9. Hindari menceritakan kejelekan perusahaan, atasan, atau lingkungan kerja yang lama. Supaya tidak terpeleset atau terpancing, siapkan jawaban atau penjelasan yang netral jauh-jauh hari. Apa yang kira-kira akan anda katakan kalau interviewer menanyakan kenapa anda keluar dari perusahaan yang dulu? Temukan jawaban yang tidak mengundang tanda tanya. Tentu saja anda perlu menghindari jawaban yang manipulatif.

    Misalnya anda mengatakan perusahaan itu sudah bangkrut atau pemilikinya meninggal dunia padahal masih beroperasi. Intinya, kreatiflah dalam menciptakan penjelasan, namun janganlah manipulatif.

    10. Hindari menunjukkan kekurang-dewasaan dalam ucapan, sikap dan tindakan. Misalnya saja ketawa tidak pada tempatnya ketika ditanya atau bertanya tentang hal-hal kecil yang mestinya tidak perlu ditanyakan.

    BAB II Kalimat Imperatif dalam Bahasa Tidung

    BAB II Kalimat Imperatif dalam Bahasa Tidung

    Fungsi utama bahasa manusia adalah sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat pemiliknya yang diwujudkan secara lisan, tulisan, atau isyarat. Bahasa berwujud lisan dipakai secara langsung oleh pembicara dan lawan bicara ketika berhadap-hadapan. Wujud bahasa ini kita temukan dalam forum komunikasi lisan seperti dialog, pidato, diskusi, pembacaan berita melalui radio dan televise, dan Iain-lain. Bahasa berwujud tulisan dipakai oleh penulis dan pembaca yang tidak berhadapan secara langsung. Wujud bahasa seperti ini kita temukan dalam forum komunikasi seperti surat-menyurat, tulis-menulis atau karang-mengarang serta bentuk media tulis lainnya seperti reklame, pamphlet, brosur, dan Iain-lain. Bahasa berwujud isyarat dipakai oleh penindak bahasa dan penanggap bahasa melalui kode-kode tertentu yang sudah disepakati bersama. Wujud bahasa seperti ini kita temukan dalam forum komunikasi seperti pramuka dengan kode morse, rambu-rambu lalulintas, gerakan anggota badan, dan Iain-lain.
    Komunikasi dalam wujud bahasa apapun selalu berupa penyampaian pesan, perasaan, dan pikiran. Pesan, perasaan, atau pikiran itu diungkapkan dengan ujaran atau kalimat seperti yang dikatakan oleh Nababan (1992 : 26)

    bahwa fungsi bahasa ialah alat komunikasi atau penyampaian pesan/makna dari pembicara kepada lawan bicara. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa makna dalam komunikasi diungkapkan dengan kalimat. Berdasarkan pandangan pakar tersebut, penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi dalam wujud apa pun selalu dalam bentuk kalimat. Kalimat itu pasti bermakna karena membawakan pesan, perasaan, dan pikiran pembicara(bahasa lisan), penulis(bvahasa tulis), atau penindak bahasa(bahasa isyarat) kepada lawan bicara, pembaca, atau penanggap bicara.
    Penyampaian pesan, pikiran, dan perasaan itu karena manusia didorong oleh kebutuhan psikologis baik secara individual maupun secara sosial. Singkamya, lahirnya bahasa dari seseorang itu karena dorongan kejiwaannya berdasarkan kebutuhan individu dan didukung oleh lingkungan social di sekelilingnya. Karena bahasa manusia selalu berkaitan dengan kejiwaannya dan kehidupan sosialnya, penulis ingin menjelaskan serba singkat mengenai hal-hal berikut.
    1. Psikolinguistik
    Psikolinguistik adalah suatu ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari segi kejiwaan manusia dikaitkan dengan jenis-jenis bahasa yang dimiliki oleh makhluk ciptaan Tuhan lainnya seperti jengkerik, kodok, burung,

    kambing, dan Iain-lain. Bahasa itu begitu penting bagi kehidupan manusia seperti dikatakan oleh Nababan (1992 : 1) bahwa seandainya tidak ada bahasa dan kita tidak melakukan tindakan berbahasa maka identitas kita sebagai genus manusia (homosapien) akan hilang. Selanjutnya dijelaskan bahwa adanya bahasa membuat kita menjadi makhluk yang bermasyarakat. Kemasyarakatan kita tercipta dengan bahasa, dibina dan dikembangkan dengan bahasa. Jadi dapat disimpulkan bahwa bahasa yang dilahirkan sebagai alat komunikasi adalah perwujudan jiwa pembicara, penulis, atau pelaku tindak bahasa yang lainnya dan dapat direspon oleh lawan bicara, pembaca atau penanggap bahasa lainnya berdasarkan suatu kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama itu ber sifat arbitrer/mana suka.
    2. Sosiolinguistik
    Di samping berkaitan dengan jiwa manusia, bahasa itu juga berkaitan dengan kehidupan sosial manusia. Dalam berinteraksi dengan orang lain seseorang dapat menggunakan alat komunikasi lain selain bahasa seperti bunyi-bunyian, atau kode-kode yang lain. Namun, Chaer (1995 : 14) mengatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik,

    paling sempurna dibandingkan dengan alat komunikasi lain termasuk alat komunikasi hewan.
    Sosiolinguistik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari segi social kemasyarakatan. Oleh karena itu, bidang kajian yang paling utama adalah mengenai hakikat bahasa berdasarkan faktor-faktor sosiologis. 2.1 Hakikat Bahasa
    Bahasa itu adalah lambing bunyi. Bahasa hewan juga berupa lambing bunyi hanya tidak selengkap lambing bunyi bahasa manusia. Chaer (1995 : 14) mengatakan bahwa bahasa itu sebuah system lambing, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Jadi dengan kata lain bahwa bahasa itu dibentuk oleh unsur-unsur yang berpola tetap yang bersifat arbitrer dan tidak dapat dijelaskan mengapa demikian. Orang Tidung tidak akan bisa menjelaskan mengapa tempat tinggal mereka namakan ‘baley’ atau dalam bahasa Indonesia disebut ‘rumah’
    2.2 Hakikat Komunikasi
    Bahasa adalah alat komunikasi atau alat interaksi, baik lisan, tulisan, maupun isyarat. Suatu komunikasi itu bisa terjadi karena ada dua

    pihak yang menggunakan bahasa atau lambing/simbol tertentu sebagai alatnya. Dalam KBBI (2003 : 585) dikatakan bahwa komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Jadi boleh dikatakan bahwa komunikasi adalah terjadinya hubungan dua pihak yaitu si pengirim bahasa/kode dan si penerima bahasa/kode, sehingga terjadi pula interaksi dari kedua belah pihak berupa pemaknaan pesan.
    Di dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun secara tulis, unsur bahasa yang paling utama adalah kalimat. Kalimat dapat mewakili maksud pembicara atau penulis yang dapat dimaknai sebagai sebuah pesan bila disampaikan secara tertib sesuai dengan sistem bahasa itu. Untuk lebih jelasnya perlu dibahas sedikit mengenai kalimat.
    3. Kalimat
    Kalimat adalah suatu kondtruksi kebahasaan yang terdiri atas unsur segmental dan suprasegmental dan intonasi atau puntuasi akhirnya menunjukkan bahwa konstruksi itu sudah lengkap atau sudah selesai. Unsur segmental adalah kata atau kata. Unsur supra segmental adalah tekanan-tekanan (nada, tempo, dan dinamik), kesenyapan awal, kesenyapan akhir, dan perhentian-perhentian yang menyertai arus ujar itu yang kalau dalam bahasa

    tulis dilambangkan dengan tanda baca berupa tanda koma, dan tanda titik. Intonasi berkaitan dengan lagu kalimat yaitu lagu berita akan berbeda dengan lagu perintah atau lagu Tanya. Misalnya : Ngakan muyu ! Orang Tidung akan segera melakukan suatu tindakan berupa ‘makan’ sesuai dengan perintah itu minimal dijawab “Ya!” atau “Tidak !”, sama dengan penutur bahasa Indonesia mendengar perintah “Makanlah !” Mulyana (2005 : 8) mengatakan bahwa kalimat memiliki serangkaian kata yang menyatakan pikiran dan gagasan yang lengkap dan logis . Bahkan Fokker (1980 : 11) dalam Mulyana (2005 : 8) menyatakan bahwa kalimat adalah ucapan bahasa yang memiliki arti penuh dan batas keseluruhannya ditentukan oleh intonasi. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa unsur bahasa yang paling dominant di dalam berkomunikasi adalah kalimat dan kalimat itu bermakna lengkap ditentukan oleh intonasi sedangkan intonasi itu bergantung pada isi kalimat itu sehingga Kosasih (2004 : 108) mengatakan bahwa transformasi suatu kalimat dapat dilakukan dengan cara mengubah intonasi kalimat itu, dari intonasi berita menjadi intonasi perintah atau intonasi tanya.

    BAB I KALIMAT IMPERATIF DALAM BAHASA TIDUNG TINJAUAN DESKRIPTIF BAHASA TIDUNG DI DESA TANA LIA

    BAB I KALIMAT IMPERATIF DALAM BAHASA TIDUNG
    TINJAUAN DESKRIPTIF BAHASA TIDUNG DI DESA TANA LIA
    A. Latar Belakang Masalah
    Bahasa Indonesia memiliki multifungsi bagi seluruh warga masyarakat Indonesia Salah satu flingsi di antaranya adalah sebagai alat komunikasi bagi berbagai penutur dengan berbagai latar belakang budaya dan bahasa daerahnya. Dalam fungsinya sebagai alat komunikasi ini, bahasa Indonesia sangat terbuka untuk menerima pengaruh dari bahasa daerah . Pengaruh itu dengan mudah diterima karena penutur bahasa daerah juga adalah penutur bahasa Indonesia dengan segala macam karakter dan kebiasaannya bertutur.Akibatnya, dalam pemakaian bahasa Indonesia secara lisan, muncul berbagai aksen atau logat dalam bahasa Indonesia. Nababan (1992 : 104) membenarkan bahwa sering para penutur bahasa daerah yang juga penutur bahasa Indonesia menggunakan bahasa daerahnya yang bersifat informal.
    Semua bahasa daerah di seluruh wilayah NKRI ikut memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi perkembangan bahasa Indonesia hingga saat ini. Kontribusi itu pada umumnya berupa kosa kata yang masuk ke dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Bahkan bangun/struktur

    kalimat bahasa Indonesia sangat dipengaruhi oleh struktur kalimat bahasa daerah. Hal ini terjadi karena sifat keterbukaan bahasa Indonesia di samping kebiasaan penutur. Ibrahim (1995 : 40) mengatakan bahwa kajian tentang dialek dari dulu sudah dipusatkan pada kebiasaan ujar ( speech habit) dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda dengan komunitas lain yang menggunakan bahasa dalam sistem standar. Pendapat ini mempertegas hubungan antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia, bahwa bahasa daerah mempengaruhi bahasa Indonesia yang memiliki sistem standar.
    Bahasa daerah selalu hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia yang selalu saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Karena hubungan yang erat antara keduanya ini, bahasa daerah harus dikaji untuk mengetahui perkembangan sistemnya. Dengan mengetahui perkembangan sistem bahasa daerah, kita dapat menentukan sikap kita terhadap sistem bahasa Indonesia terutama dalam perbedaan antara sistem yang baku/standar dan sistem tidak baku. Setiap orang yang mengetahui dengan jelas tentang sistem bahasa Indonesia dia akan memberikan sikap positif khususnya terhadap pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan himbauan pemerintah kita.

    Bahasa Tidung adalah salah satu bahasa daerah yang hidup subur dan terus berkembang di wilayah Indonesia yaitu di pulau Kalimantan, khususnya provinsi Kalimantan Timur. Secara historis, bahasa Tidung ini juga ikut memberikan kontribusi yang cukup banyak untuk perkembangan bahasa Indonesia. Sama halnya dengan bahasa daerah yang lain, bahasa Tidung pun memiliki kemiripan dengan bahas Indonesia baik dalam hal struktur kalimat, maupun dalam hal kosa kata atau unsur kebahasaan lainnya. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk membuat suatu penelitian untuk mendeskripsikan sejauh mana hubungan antara sistem bahasa Tidung dan sistem bahasa Indones
    B. Alasan Pemilihan Judul
    Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis ingin mengemukakan alasan-alasan mengapa masalah bahasa Tidung harus diangkat menjadi suatu bahan kajian. Alasan-alasan itu sebagai berikut: 1. Bahasa Tidung memiliki tempat yang wajar sepertibahasa daerah yang lain di samping pembinaan bahasa Indonesia. Nababan (1992 : 104) mengatakan bahwa bahasa-bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar di samping pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan hidonesia.

    1. Bahasa Tidung merupakan salah satu bahasa daerah yang hidup subur di
    wilayah NKRI, yang harus kita lestarikan bersama sabagai khasanah
    bahasa Indonesia.
    2. Bahasa Tidung juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan bahasa
    hidonesia seperti bahasa daerah-bahasa daerah yang lain, yang harus dikaji perkembangan sistemnya demi kepentingan bahasa hidonesia.
    3. Sepengetahuan penulis, belum ada penelitian tentang bahasa Tidung,
    khususnya mengenai pemakaian partikel -lah.dalam kalimat imperatif.
    C. Rumusan Masalah
    Berdasarkan uraian dalam alasan pemilihan judul di atas, masalah utama penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana variasi pemakaian kalimat imperative dalam bahasa Tidung ? 2. Sejauh manakah hubungan antara kalimat imperatif bahasa Tidung dengan kalimat imperatif bahasa hidonesia ?
    D. Tujuan Penelitian
    Berdasarkan urain di atas, tujuan penelitian adalah : 1. Tujuan Umum
    Untuk mengetahui dan mendeskripsikan hubungan antara sistem bahasa hidonesia dan sistem bahasa Tidung.

    2. Tujuan Khusus
    Untuk mendeskripsikan korelasi antara kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia dan kalimat imperatif dalam bahasa Tidung. £. Manfaat Penelitian
    Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
    1. Untuk kepentingan pengembangan bahasa Indonesia
    Karena bahasa Tidung sebagaimana layaknya bahasa-bahasa daewrah yang lain selalu hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia, bahasa Tidung perlu dikaji untuk mengetahui sistemnya yang jelas agar dapat memberikan kontribusi kepada pengembangan bahasa hidonesia secara lebih ilmiah dan berkelanjutan.
    2. Untuk kepentingan hubungan linguistik
    Linguistik bahasa Indonesia dan linguistik bahasa Tidung perlu dikaji korelasinya sehingga dapat diketahui kewajaran hubungan antara bahasa Indonesia dan bahasa Tidung dalam kaitannya dengan pengembangan bahasa dan budaya Tidung secara ilmiah.
    3. Untuk kepentingan komunikasi
    Dalam situasi komunikasi tertentu, seorang penutur bahasa Indonesia bisa saja secara spontan menggunakan bahasa daerahnya untuk

    maksud-maksud tertentu, seperti yang dikatakan Nababan (1992 : 105) bahwa seseorang yang bilingual dapat membuat alih kode , umpamanya dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia atau sebaliknya karena dalam pikiran pembicara terlintas alasan-alasan yang dapat diterima oleh pembicara dan lawan bicara seperti suatu yang bersifat rahasia, sopan santun, dan sebagainya.
    G. Sistematika Penulisan
    Penelitian ini ditulis dalam lima bab yaitu :
    1. Bab I Pendahuluan terdiri atas latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, batasan
    masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional
    2. Bab II Landasan Teori, terdiri atas kajian mengenai hal-hal yang relevan dengan
    masalah penelitian yaitu psikolinguistik, sosiaolinguistik, sintaksis, dan sedikit tentang
    morfologi bahasa Indonesia.
    3. Bab III Metode Penelitian yang membicarakan metode yang dipakai dalam
    memperoleh data, metode analisis data, populasi dan sample.
    4. Bab IV Pembahasan yang mencakup penyajian data, pengolahan data secara kualitatif
    dan kesimpulan sementara.
    5. Bab V Penutup yang terdiri atas kesimpulan penelitian, solusi, dan saran-saran.