Sejarah Perkembangan Kepenjaraan di Indonesia

Sejarah Perkembangan Kepenjaraan di Indonesia

Sejarah perkembangan pemasyarakatan di Indonesia mengungkapkan sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia dari masa ke masa, sesuai dengan taraf kesadaran hukum dan perkembangan pandangan bangsa Indonesia tentang nilai manusia dan kemanusiaan dalam hubungannya dengan manusia terpidana dan aspirasinya bangsa kita akan arti dan cita-cita kemerdekaan bangsa dan Negara. Dengan demikian sekaligus akan lebih jelas terungkapkan apa
yang telah melatarbelakangi lahirnya sistem pemasyarakatan dan tujuan yang hendak dicapai dengan sistem yang telah dikembangkan sekarang ini.

Sistem kepenjaraan sebagai pelaksana pidana hilang kemerdekaan kiranya sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat peradaban serta martabat bangsa Indonesia yang telah merdeka yang berfalsafahkan Pancasila, karena kepenjaraan berasal dari pandangan individualisme yang terdapat dalam kamus penjajah, yang memandang dan memperlakukan orang terpidana tidak sebagai anggota masyarakat tetapi merupakan suatu pembalasan dendam masyarakat.

Asal Usul Kepenjaraan Di Dunia

Sejarah kepenjaraan dan pemasyarakatan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah kepenjaraan di dunia. Pada abad 15-16 belum terdapat penjara, tetapi soal penempatan narapidana sudah mendapat perhatian sejak belum ada penjara sebagai tempat untuk melaksanakan pidana pencabutan kemerdekaan.
Penempatan narapidana asal mulanya berupa rumah khusus yang digunakan sebagai tempat pendidikan bagi orang yang dikenakan tahanan, hukuman ringan dan menanti pengadilan. Pada tahun 1595 di kota Amsterdam, Belanda sudah mulai diadakan rumah pendidikan paksa dan membagi tahanan serta narapidana menurut jenis kelamin yaitu :

a. Rumah pendidikan paksa untuk pria yang dikenal dengan nama Rasp House, karena para narapidana tersebut disuruh bekerja meraut kayu untuk membuat warna cat.

b. Rumah pendidikan paksa untuk wanita yang dikenal dengan nama Discipline House, para narapidana diberi pekerjaan memintal bulu domba untuk dibuat pakaian.

Sistem ini kemudian diikuti hampir diseluruh dunia. Pada tahun 1703 di Roma didirikan rumah pendidikan anak oleh Santo Bapa Clements IX, anak-anak ini pada siang hari bekerja bersama-sama dan pada malam hari dimasukkan kedalam sel masing-masing dengan tidak diperkenankan berbicara satu dengan yang lainnya. Rumah Pendidikan Anak di Roma

Kemudian pada tahun 1718 didirikan penjara di kota Genk, Belgia oleh Burggraaf Vilain XVI, walikota Genk dengan nama Maison de Force. Para narapidana diberi pekerjaan dan pendidikan agama dan waktu bekerja tidak boleh berbicara satu dengan yang lainnya. Prison Ghenk di kota Genk Belgia

Pada abad 16 di Inggris juga sudah mengenal 2 jenis situasi yaitu :
a. Rumah tahanan House of Detention dibuat untuk tahanan yang menunggu putusan perkara.

HousOf Detention di Inggris
b. Gaol yang diperuntukkan bagi pelanggar hukuman rinagn. Pada waktu itu kedua institusi ini sangat menyedihkan cara penempatannya, secara bersama-sama siang malam. Countri Gaol Horsham Inggris

Setelah ada perjuangan dari John Howard, di Inggris telah mengalami proses pembaharuan dibidang kepenjaraan, terutama dengan jalan penempatan narapidana terpisah pada waktu siang dan malam hari. Pada abad 18 pidana mati dan badan mulai diganti dengan pidana pencabutan kemerdekaan, tapi cara penempatannya terpengaruh oleh cara penempatan bersama-sama siang malam.

Pada tahun 1790 didirikan penjara Wallnutstreet, di kota Philadelphia, Sistem ini disebut Western Penitentiary System, para narapidana dalam sel masing-masing siang dan malam tanpa diberi pekerjaan dan untuk memperbaikinya diberi bacaan kitab suci. Pada tahun 1820 di kota Boston didirikan penjara Auburn. Penjara ini didirikan sebagai tantangan terhadap sistem yang diterapkan pada penjara Wallnutstreet, Pennsylvania barat. Sistem yang diterapkan di Auburn ini lebih baik daripada sistem penjara sebelumnya, dimana pada malam hari para narapidana tidur di kamarnya masing-masing dan pada siang hari bekerja bersama-sama tanpa berbicara satu sama lain. Pada tahun 1825 didirikan penjara baru di Pennsylvania timur, ini merupakan perbaikan dari Pennsylvania barat. Di dalam penjara ini para narapidana berada di kamarnya masing-masing dan diberi pekarjaan.

Pada tahun 1877 di Amerika didirikan penjara Elmira yang khusus untuk pemuda-pemuda yang baru pertama kali masuk penjara. Di penjara ini para narapidana diberi pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, olahraga, ketertiban, militer dan sebagainya. Pada abad 19 di Amerika baru mengalami perubahan undang-undang kepenjaraan dan mulai mementingkan pendidikan dan pembinaan.

Pada tahun 1930 oleh seorang direktur penjara Amerika yang bernama Stanford Bates mencoba sistem tersebut yang dilaksanakan di Tuscon. Disini para narapidana dapat bekerja bersama-sama dengan baik tanpa diawasi dengan ketat. Maka disusul pula dibukanya penjara percobaan di Seagovolle pada tahun 1946.Penjara tersebut dibuat untuk untuk para narapidana yang mendapat hukuman ringan dan tidak lagi memberikan kesan menyeramkan. Penjara jenis ini dikenal dengan nama Pre Release atau Half Way yang berprinsip kepada keadaan perbaikan hidup narapidana dengan memberi pendidikan dan pembinaan supaya narapidana tersebut dapat menuju masyarakat yang bebas. Dengan system kepenjaraan tersebut diatas maka Amerika merupakan pelopor sistem kepenjaraan yang modern kepada dunia.

Sejarah kepenjaraan di Indonesia

Perkembangan kepenjaraan di Indonesia terbagi menjadi 2 kurun waktu dimana tiap-tiap kurun waktu mempunyai ciri tersendiri, diwarnai oleh aspekaspek sosio cultural, politis, ekonomi yaitu:
a. Kurun waktu pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan di Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan RI ( 1872-1945 ), terbagi dalam 4 periode yaitu :

1). Periode kerja paksa di Indonesia ( 1872-1905 ). Pada periode ini terdapat 2 jenis hukum pidana, khusus untuk orang Indonesia dan Eropa. Hukum pidana bagi orang Indonesia ( KUHP 1872 ) adalah pidana kerja, pidana denda dan pidana mati. Sedangkan hukum pidana bagi orang Eropa ( KUHP 1866 ) telah mengenal dan dipergunakan pencabutan kemerdekaan ( pidana penjara dan pidana kurungan ). Perbedaan perlakuan hukuman pidana bagi orang Eropa selalu
dilakukan di dalam tembok ( tidak terlihat ) sedangkan bagi orang Indonesia terlihat oleh umum.

2). Periode pelaksanaan pidana di Indonesia menjelang berlakunya Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland Indie ( KUHP, 1918 ) periode penjara sentral wilayah ( 1905-1921 ). Periode ini ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk memusatkan penempatan para terpidana kerja paksa di dalam pusat-pusat penampungan wilayah. Pidana kerja
lebih dari 1 tahun yang berupa kerja paksa dengan dirantai/ tanpa dirantai dilaksanakan diluar daerah tempat asal terpidana. Kemudian sejak tahun 1905 timbul kebijaksanaan baru dalam pidana kerja paksa dilakukan di dalam lingkungan tempat asal terpidana.

3). Periode pelaksanaan pidana di Indonesia setelah berlakunya Wetboek
Van Strafrecht Voor Nederland Indie ( KUHP, 1918 ) periode kepenjaraan Hindia Belanda ( 1921-1942 ). Pada periode ini terjadi perubahan sistem yang dilakukan oleh Hijmans sebagai kepala urusan kepenjaraan Hindia Belanda, ia mengemukakan keinginannya untuk menghapuskan sistem dari penjara-penjara pusat dan menggantikannya
dengan struktur dari sistem penjara untuk pelaksanaan pidana, dimana usaha-usaha klasifikasi secara intensif dapat dilaksanakan Hijmans.
Pengusulan adanya tempat-tempat penampungan tersendiri bagi tahanan dan memisahkan antara terpidana dewasa dan anak-anak, terpidana wanita dan pria.

4). Periode pelaksanaan pidana di Indonesia dalam periode pendudukan balatentara Jepang ( 1942-1945 ). Pada periode ini menurut teori perlakuan narapidana harus berdasarkan reformasi/ rehabilitasi namun dalam kenyataannya lebih merupakan eksploitasi atas manusia. Para terpidana dimanfaatkan tenaganya untuk kepentingan Jepang. Dalam teori para ahli kepenjaraan Jepang perlu adanya perbaikan menurut umur dan keadaan terpidana. Namun pada kenyataannya perlakuan  terhadap narapidana bangsa Indonesia selama periode pendudukan  tentara Jepang merupakan lembaran sejarah yang hitam dari sejarah kepenjaraan di Indonesia, hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya ( penjajahan Belanda ).

b. Kurun waktu kepenjaraan RI, perjuangan kemerdekaan dan karakteristik  kepenjaraan nasional ( 1945-1963 ), terbagi dalam 3 periode yaitu :
1). Periode kepenjaraan RI ke I ( 1945-1950 ). Meliputi 2 tahap yaitu tahap  perebutan kekuasaan dari tangan tentara Jepang, perlawanan terhadap uasaha penguasaan kembali oleh Belanda dan tahap mempertahankan  eksistensi RI. Periode ini ditandai dengan adanya penjara-penjara darurat yaitu penjara yang berisi beberap orang terpidana yang dibawa
serta mengungsi oleh pimpinan penjaranya. Pada umumnya didirikan  pada tempat-tempat pengungsian, sebagai tempat menahan orang yang dianggap mata-mata musuh. Adanya penjara darurat dan pengadilan  darurat dimaksudkan sebagai bukti kepada dunia luar bahwa pemerintah RI secara de jure dan de facto tetap ada.

2). Periode kepenjaraan RI ke II ( 1950-1960 ). Periode ini ditandai dengan adanya langkah-langkah untuk merencanakan reglement Penjara yang  baru sejak terbentuknya NKRI. Pada periode ini telah lahir adanya  falsafah baru di bidang kepenjaraan yaitu resosialisasi yang pada  waktu itu dinyatakan sebagai tujuan yang modern di dunia kepenjaraan internasional.

3). Periode kepenjaraan RI ke III ( 1960-1963 ).Periode ini merupakan
periode pengantar dari periode pemasyarakatan berikutnya. Periode ini  ditandai dengan adanya kebijaksanaan kepemimpinan kepenjaraan yang berorientasi pada pola social defense yang dicanangkan oleh PBB  yaitu integrasi karya terpidana dalam ekonomi nasional, bentuk baru  kenakalan remaja dan penanganan jenis-jenis kejahatan yang  diakibatkan oleh perubahan-perubahan sosial dan yang menyertai perkembangan ekonomi. Pembinaan menjelang bebas dan perawatan susulan serta pemberian bantuan kepada keluarga terpidana.

2 Sistem Pemasyarakatan di Indonesia

1 Sejarah pemasyarakatan di Indonesia terbagi menjadi 3 periode (Dirjen Pemasyarakatan),yaitu:

a. Periode pemasyarakatan I (1963-1966)
Periode ini ditandai dengan adanya konsep baru yang diajukan oleh Dr. Saharjo, SH berupa konsep hukum nasional yang digambarkan dengan sebuah pohon beringin yang melambangkan pengayoman dan pemikiran baru bahwa tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Pada konfrensi Dinas Derektoral Pemasyarakatan di Lembang Bandung tahun 1964, terjadi perubahan istilah pemasyarakatan dimana jika sebelumnya diartikan sebagai anggota masyarakat yang berguna menjadi pengembalian integritas hidup-kehidupan-penghidupan.

b Periode Pemayarakatan II (1966-1975)
Periode ini ditandai dengan pendirian kantor-kantor BISPA (Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak) yang sampai tahun 1969 direncanakan 20 buah. Periode ini telah menampakkan adanya trial and  error dibidang pemasyarakatan, suatu gejala yang lazim terjadi pada permulaan beralihnya situasi lama ke situasi baru. Ditandai dengan adanya perubahan nama pemasyarakatan menjadi bina tuna warga.
c. Periode pemasyarakatan III ( 1975-sekarang )
Periode ini dimulai dengan adanya Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan tahun 1975 yang membahas tentang sarana peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan sebagai landasan  struktural yang dijadikan dasar operasional pemasyarakatan, sarana personalia, sarana keuangan dan sarana fisik. Pada struktur organisasi terjadi pengembalian nama bina tuna warga kepada namanya semula yaitu pemasyarakatan.

Titik awal pemisahan LP terhadap tingakat kejahatan, jenis kelamin, umur dimulai pada tahun 1921 yang dicetuskan oleh Hijmans, missal : LP Cipinang untuk narapidana pria dewasa, LP anak-anak di Tangerang, LP Wanita Bulu Semarang. Hal tersebut dikonkritkan lagi setelah tercetus konsep pemasyarakatan oleh Dr. Sahardjo, SH pada konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan I di
Lembang bandung tahun 1964. Menurut Soema Dipradja ( 1983 ) dimana  perlakuan terhadap narapidana wanita diberi kebebasan yang lebih dibandingkan narapidana pria.

Dalam perkembangannya sistem pidana melalui beberapa tahap ( Dirjen pemasyarakatan, 1983 ) yaitu :

a. Tahap pidana hilang kemerdekaan ( 1872-1945 )
Tujuan dari tahap ini membuat jera narapidana agar bertobat sehingga  tidak melanggar hukum lagi. Sistem pidananya merupakan pidana hilang kemerdekaan dengan ditempatkan disuatu tempat yang terpisah dari masyarakat yang dikenal sebagai penjara.

b. Tahap pembinaan ( 1945-1963 )
Tahap ini bertujuan membina narapidana supaya menjadi lebih baik. Sistem pidananya merupakan pidana pembinaan dimana narapidana dikurangi kebebasannya agar dapat dibina dengan menempatkan pada tempat yang terpisah dari masyarakat.

c. Tahap Pembinaan Masyarakat ( 1963-sekarang )
Tahap ini bertujuan membina narapidana agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Sistem pidananya merupakan pidana pemasyarakatan yang mempunyai akibat tidak langsung yaitu berkurangnya kebebasan supaya bisa dimasyarakatkan kembali. Ditempatkan di suatu tempat tertentu yang terpisah dari masyarakat tetapi mengikutsertakan masyarakat dalam usaha pemasyarakatan tersebut. Sedangkan untuk usaha perlindungan terhadap masyarakat lebih ditekankan pada segi keamanan LP sesuai dengan fungsi, jenis dan kebutuhannya.  Seseorang disebut narapidana apabila telah melalui serangkaian proses  pemidanaan sehingga menerima vonis yang dijatuhkan atas dirinya.

Proses  pemidanaan adalah sebagai berikut :

a. Tahanan Polisi
Seseorang melanggar hukum kemudian ditangkap polisi, selama dalam  proses pemeriksaan ia menjadi tahanan polisi dengan batas waktu 20 hari dan apabila dianggap pemerikasaan oleh polisi belum cukup maka dapat diperpanjang dengan ijin Kejaksaan.

b. Tahanan Kejaksaan
Apabila telah selesai diperiksa oleh polisi maka orang tersebut diserahkan kepada Kejaksaan untuk diperiksa oleh Kejaksaan dan menjadi tahanan Kejaksaan.

c. Tahanan Pengadilan
Apabila perkaranya dianggap cukup untuk diadili maka pihak kejaksaan akan menyerahkan orang tesebut pada pengadilan untuk diadili dan menjadi tahanan pengadilan sampai selesai putusan perkaranya/ divonis.

d. Narapidana
Setelah diputuskan perkaranya oleh pengadilan maka orang tersebut harus  dimasukkan dalam Lembaga Pemasyarakatan. Diserahkan kepada  Kejaksaan kembali untuk diatur pengirimannya kepada Lembaga  Pemasyarakatan yang cocok untuk pembinaannya.

2 Tujuan Pemasyarakatan
Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan pasal 2, tujuan  pemasyarakatan adalah sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka  membentuk warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,  menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindakan pidana  sehinga dapat kembali diterima di masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggunjawab.

3 Fungsi Pemasyarakatan
Menurut UU No. 12 Tahuun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 3 disebutkan bahwa fungsi Pemasyarakatan adalah menyiapkan warga binaan pemasyarakatan (narapidana, anak didik dan klien pemasyarakatan ) agar dapat  berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab.

4 Konsep Pemasyarakatan
Konsep pemasyarakatan merupakan pokok-pokok pikiran Dr. Saharjo , SH Yang dicetuskan pada penganugerahan gelar Doktor Honoris Cousa oleh Universitas Indonesia. Pokok-pokok pikiran tersebut kemudian dijadikan prinsipprinsip
pokok dari konsep pemasyarakatan pada konfrensi Dinas Derektorat Pemasyarakatan di Lembang Bandung pada tanggal 27 April – 7 Mei 1974. Dalam konfrensi ini dihasilkan keputusan bahwa pemasyarakatan tidak hanya semata-mata sebagai tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan sistem pembinaan narapidana dan tangaal 27 April 1964 ditetapkan sebagai hari lahirnya pemasyarakatan.

Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batasan serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan (narapidana, anak didik dan klien pemasyarakatan ) berdasarkan Pancasila. Menurut UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan pasal 5, disebutkan bahwa sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas
a. Pengayoman
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan
c. Pendidikan
d. Pembimbingan
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia
f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang tertentu

Jadi dengan lahirnya sistem pemasyarakatan, kita memasuki era baru dalam proses pembinaan narapidana dan anak didik, mereka dibina, dibimbing dan dituntut untuk menjadi warga masyarakat yang berguna. Pembinaan napi dan anak didik berdasarkan sistem pemasyarakatan berlaku pembinaan di dalam LP dan pembimbingan di luar LP yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Prinsip-prinsip Pokok Pemasyarakatan

Dalam Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan yang pertama di Lembang, Bandung pada tanggal 27 April 1964 dirumuskan prinsip-prinsip pokok dari konsepsi pemasyarakatan yang kemudian dikenal sebagai Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan ( Keputusan Menteri Kehakiman RI No M.02.PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan ) adalah sebagai berikut :

a. Ayomi dan berikan bekal hidup agar narapidana dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
b. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan.
c. Berikan bimbingan ( bukannya penyiksaan ) supaya mereka bertobat.
d. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.

e. Selama kehilangan ( dibatasi ) kemerdekaan bergeraknya para narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu.
g. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik adalah berdasarkan Pancasila.

h. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarganya, dan lingkungannya kemudian dibina/dibimbing ke jalan yang benar.
i. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaannya dalam jangka waktu tertentu.
j. Untuk pembinaan dan bimbingan para narapidana dan anak didik maka disediakan sarana yang diperlukan.

Kedudukan Pemasyarakatan

Berdasarkan keputusan Mentri Kehakiman RI No0. M.03-PR.07.10 tahun 1999 tentang organisasi dan tata kerja Departemen Kehakiman pasal 486, disebutkan bahwa tugas Direktorat Jendral Kemasyarakatan adalah menyelenggarakan sebagian tugas Departemen Kehakiman di bidang kemasyarakatan, perawatan tahanan dan pengelolaan benda sitaan Negara.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan badan pelaksanaan pemasyarakatan yang berdiri sendiri. Dalam struktur organisasi Departemen Kehakiman secara vertical berada di bawah perintah Direktorat Jendral Pemasyarakatan tetapi secara adminstratif berada di bawah Kanwil Departemen Kehakiman.

Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan

a. Menurut Keputusan Mentri Kehakiman RI Lembaga Pemasyarakatan adalah unit pelaksanaan teknis pemasyarakatan yang menampung, membina dan merawat narapidana.
b. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia lembaga adalah suatu organisasi/badan yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan/melakukan motif usaha sedangkan pemasyarakatan adalah hal/ tindakan memasyarakatkan ( memasukkan kedalam masyarakat, menjadikan sebagai anggota masyarakat ).
Jadi yang dimaksud dengan Lembaga Pemasyarakatan adalah suatu organisasi/ badan usaha atau wadah untuk menampung kegiatan pembinaan bagi narapidana, baik pembinaan secara fisik maupun pembinaan secara rohani agar dapat hidup normal kembali ke masyarakat.

Jenis dan Kasifikasi LP
Jenis pelayanan Lembaga Pemasyarakatan dibagi dengan memperhatikan factor usia dan jenis kelamin.
a. Lembaga Pemasyarakatan Umum.
Untuk menampung narapidana pria dewasa yang berusia lebih dari 25 tahun.

b. Lembaga Pemasyarakatan Khusus
1. Lembaga Pemasyarakatan Wanita untuk menampung narapidana Wanita dewasa yang berusia lebih dari 21 tahun atau sudah menikah.
2. Lembaga Pemasyarakatan Pemuda untuk menampung narapidana pemuda yang berusia 18-25 tahun.
3. Lembaga pemasyarakatan Anak terdiri dari Lembaga
Pemasyarakatan Anak Pria dan Lembaga Pemasyarakatan Anak Wanita

Klasifikasi pada Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja.
a. Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
Terletak di Ibukota Propinsi dengan kapasitas lebih dari 500 orang.

b. Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A
Terletak di Kotamadia/ kabupaten dengan kapasitas 250-500 orang.

c. Lembaga Pemasyarakatan kelas II B
Terletak di daerah setingkat Kabupaten, kapasitas kurang dari 250 orang.

Tulisan Lain

  • Download Triple Kamus;>>>baca
  • Download Mesin Pencari Lengkap;>>>baca
  • Download Kamus LIMAKA;>>>baca
  • Download E-book MKDU/MKWU Pendidikan Bhs Indonesia;>>>baca
  • DownLoad dan Menginstall Kalkulator Konversi v.1.0;>>>baca
  • Download buku Pengantar Filsafat;>>>baca

Tinggalkan komentar