Apakah Puisi Bisa Dibatasi? (Oleh Thobroni dosen UBT)
Kita sering melihat sebuah ungkapan yang indah, baik kata-kata tokoh, ujaran bijaksana, atau peribahasa. Lantas kita menulis dan menempelkannya di buku tulis, kertas, atau dinding kamar. Apakah tulisan itu bisa disebut puisi? Ketika kamu menerima SMS dari pacar yang berisi rangkaian kata indah, yang membuatmu terus memikirkannya sepanjang hari, apakah itu yang disebut puisi? Atau, kamu bertemu puisi itu ketika berbicara dengan Taufik Ismail dan Rendra, meskipun yang mereka ucapkan adalah sekadar sapaan?
Banyak puisi menari-nari di dunia yang dihuni manusia ini. Kita seringkali mendengar atau membaca puisi di buku-buku, koran, majalah, pentas drama, iklan, film. Bahkan kita membaca puisi dalam pikiran kita. Begitu banyak puisi yang kita temui, tapi apakah pandangan semua orang tentang puisi sama? Apakah kita punya batasan untuk sesuatu yang pantas disebut puisi? Atau mengapa sebuah puisi disebut indah sementara puisi yang lain disebut kurang indah atau tidak indah? Banyak pertanyaan yang akan muncul seputar puisi, yang semuanya bermula dari pertanyaan: Sebenarnya apa sih puisi itu?
Pertanyaan itu terdengar mudah, tetapi sebenarnya sulit. Kita dengan mudah dapat menentukan sesuatu sebagai puisi, bukan cerpen atau pantun. Alas an yang kita ajukan ialah ciri khas tipografi (bentuk rangkaian kata dan tulisan) dan jumlah serta pilihan kata yang menyusunnya. Pada puisi lama seperti pantun, kita menjumpai bahwa puisi disusun atas beberapa bait yang tiap bait terdiri dari empat baris, bersajak a-a-a-a, keseluruhannya berupa isi.
Misalnya puisi karya Hamzah Fansuri berikut:
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Subhanallah terlalu kamil
Menjadikan insan alim dan jahil,
Dengan hambanya daim Ia wasil
Itulah Mahbub bernama Adil.
Mahbub itu tiada berlawan,
Lagi alim lagi bangsawan,
Kasihnya banyak lagi gunawan,
Aulad itu bisa tertawan.
Dunia nan kau sandang-sandang,
Manakan dapat ke bukit rentang,
Angan-anganmu terlalu panjang,
Manakan dapat segera memandang.
Hamzah miskin hina dan karam,
Bermain mata dengan Rabbul Alam,
Selamanya sangat terlalu dalam,
Seperti mayat sudah tertanam.
Rupamu zahir kau sangka tanah,
Itulah cermin sudah terasah,
Jangan kau pandang jauh berpayah,
Mahbubmu hampir serta ramah.
Pada zaman yang lebih mutakhir, puisi biasanya bersusun dalam baris-baris yang tidak penuh, terpenggal-penggal. Kalimatnya tidak utuh. Menggunakan bahasa yang indah, penuh metafora, dan jika dibacakan akan membangkitkan efek tertentu, perasaan tertentu, yang dalam sastra disebut intuisi estetis.
Bila definisi seperti itu yang dilekatkan pada puisi, lantas bagaimana dengan puisi berikut ini?
KARENA JAJANG
tuhan
saya minta duit
buat beli sugus
karena jajang
lagi doyan sugus
(Selamat Pagi, Jajang, Afirin C. Noor)
Puisi ini ditulis Arifin C. Noor untuk istrinya, Jajang C. Noor, dikumpulkan bersama 17 puisi lainnya dalam antologi Selamat Pagi, Jajang. Antologi puisi ini adalah mas kawin yang diberikan Arifin C. Noor ketika menikahi Jajang. Tidak ada bahasa-bahasa yang indah, tidak pula tertulis metafora, apa yang dimaksudkan oleh penyair tertulis dengan lugas, padat dimengerti dalam sekali baca. Namun tetap saja rangkaian kata itu disebut puisi.
Bahkan sebuah puisi tidak selalu berupa kata. Danarto menuliskan puisinya dalam bentuk kotak segi empat yang di dalamnya mengandung sembilan kotak segi empat. Seiring dengan berkembangnya zaman, penyair pun berkeinginan untuk keluar dari belenggu “kesepakatan umum alias konvensi sastra”. Para sastrawan ingin terbang liar dengan imajinasinya dan melakukan eksperimen meramu komposisi puisinya sendiri. Pada akhirnya sastra berkembang secara dinamis. Karena itu, banyak pula yang mengatakan bahwa tidak ada batasan pasti dalam puisi. Seorang budayawan, dosen, sekaligus penyair bernama Suminto A. Sayuti mengungkapkan bahwa ‘puisi merupakan karya yang terikat’. Namun, tidak ada penjelasan mengenai keterikatan itu, batasan itu tidak dapat mencakupi semua ragam dan corak puisi yang ada.
Sebagian penyair menulis sendiri definisi puisi bagi mereka. Definisi ini tentu saja bersifat terbatas, tidak universal.
INTERPRETASI
Sajak adalah tangan-tangan yang bekerja
Sajak adalah parang penebas hutan
Sajak adalah cerana
Sajak adalah kelapangan
Sajak adalah kerendah-hatian
Sajak adalah angin menepuk kuping
Sajak adalah suara jangkrik malam hari
Sajak adalah kabut di pelupuk mata
(Rusli Marzuki Saria)
Puisi tersebut mengungkapkan bahwa sajak adalah buah kerja tangan yang mampu menebas lebatnya hutan rimba. Ia adalah cerana (tempat ludah) para penyair untuk meludahkan imajinasi dan gagasan. Ia adalah kelapangan dan kerendah-hatian jiwa, ia serupa angin yang menepuk kuping atau merdu suara jangkrik di malam hari bagi pendengarnya. Ia juga merupakan kabut di pelupuk mata yang melihatnya.
Pada dasarnya puisi adalah pernyataan jiwa dan refleksi pengalaman batin setelah diolah secara total dan berkesinambungan. Karena itu, karya sastra yang dapat bertahan lama dan menjadi masterpiece pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan sumbernya maupun dengan orang-seorang. Ssatra terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya, dan dengan demikian sastra adalah eksperimen moral. Oleh karena itu pula sastra dapat didekati sebagai kekuatan material yang istimewa dan sebagai tradisi, yaitu suatu kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi karya sastra yang demikian dapat mencerminkan perkembangan perubahan yang halus dalam watak kebudayaan.
Puisi di bawah ini kiranya dapat merangkum pembicaraan kita.
BELANTARA INI TERLALU GELAP UNTUK DIJELAJAH
apa yang kaucari?
dalam belantara ini?
sebuah nama
atau sebuah makna?
belantara ini terlalu gelap
untuk dijelajah.
(Dinullah Rayes)
Antara Penyair dan Puisi
Penyair adalah orang yang menulis puisi, itu sudah pasti. Namun bagaimana hubungan antara penyair dan puisi? Bagaimana penulis menulis puisi? Untuk apa? Mengapa? Hal inilah yang menjadi pokok pembahasan kita selanjutnya.
Karya sastra merupakan media bagi pengarang untuk memberikan tanggapan terhadap lingkungannya, selain itu juga dapat memberikan pengertian yang dalam bagi penikmatnya tentang realitas-realitas yang disajikannya. Kenyataan demikian akan tampak semakin penting jika karya sastra yang hadir dapat dinikmati secara lebih meluas dan intensif oleh anggota masyarakat.
Penyair menangkap peristiwa, menghayati, kemudian menuliskannya dalam sebuah puisi. Sebuah puisi tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Seorang pakar bernama A. Teeuw menyatakan, sastra tidak pernah ditulis dari kekosongan budaya. Selalu ada stimulus yang memicu seorang penyair menulis puisi. Pada umumnya penyair selalu menghayati hidup dan kehidupan ini dengan intens. Karena itu ia sering menemukan misteri-misteri kehidupan itu dan mencatat dalam puisi-puisinya. Pengalaman-pengalaman hidup yang dilalui dan dihayatinya itu dituangkan dalam lirik-lirik puisi yang manis, yang menyenandungkan gerak sukmanya yang dekat dengan alam.
Setiap orang cenderung hendak mengekalkan berbagai pengalaman; merekamnya dalam wujud estetik. Contoh nyatanya, ketika seseorang sedang jatuh cinta, ia tiba-tiba menjadi romantis, puitis, gemar menulis kata-kata indah, merangkai hingga membentuk puisi. Dengan demikian, praktis dia seorang penyair. Meskipun seringkali puisi-puisi ini disebut picisan oleh kritikus. Mengapa? Karena puisi tersebut tidak melalui proses perenungan yang mendalam, hanya menuangkan gejolak jiwa. Namun keberadaannya tidak bisa dipungkiri. Ungkapan kejujuran seseorang menjadi dasar terbentuknya puisi.
Slamet Muljono mengungkapkan bahwa keindahan dalam seni adalah kenikmatan yang diterima oleh pikiran; dan kenikmatan itu bisa hadir bila ada keakraban antara subjek dan objek, antara pesona pemikat dan yang dinikmati. Jadi bahasa sendiri yang merupakan sarana komunikasi selalu ditandai oleh unsur rasa yang mengacu kepada pengalaman dan ekspresi estetik, dan unsur pikiran yang mengacu pada kerja intelektualitas. Lebih jauh lagi, NG Chernysevski mengemukakan bahwa ide penciptaan artistik biasanya tidak dibangkitkan dalam pikiran si seniman oleh hasrat menciptakan keindahan semata; seniman yang pantas disebut seniman selalu berkeinginan menyampaikan kepada kita lewat karya-karyanya itu: pikiran-pikiran, pendapat-pendapat, perasaan-perasaan. Sebab bukan hanya keindahan yang diciptakannya.
Seluruh umur hidup manusia merupakan perjuangan yang tak habis-habisnya, perjuangan untuk memenangkan suatu ideal, suatu cita-cita yang dirancang demi indahnya hari depan. Namun perjuangan itu bukan satu-satunya yang ditempuh dan dijalani, sebab manusia sendiri terdiri dari badan jasmani dan badan rohani. Penyair menuangkan perjalanan fisik dan batin dalam bentuk yang kreatif, di mana penyair menampilkan tanggapan dan renungannya terhadap suatu masalah atau kejadian, terhadap peristiwa alam dan situasi sosial tertentu.
TELAH BANYAK KUTULIS
Telah banyak kutulis tentang langit
tentang laut, angin dan gunung
telah banyak kutulis tentang hidup,
tentang maut, lara dan untung;
Telah banyak
Dan masih akan kutulis tentang langit,
tentang laut, angin dan burun-burung;
tentang hidup, mati dan tentang cinta
yang memberikan harapan dan kepercayaan
membangkitkan manusia
dai lembah putusasa
dan menjalankan hidup lebih berwarna
(Ajip Rosidi)
Sutan Takdir Alisahbana mendefinisikan puisi sebagai seni perkataan yang mesra. Mengapa? Sebab puisi merupakan ekspresi jiwa penyairnya secara merdeka. Penyair bisa menyatakan pengalaman fisik dan batinnya dalam kata-kata yang ekonomis, intens, magis atau bertuah; persaksian dirinya sebagai kreator dan inovator. Seorang penyair tidak begitu saja membiarkan setiap peristiwa berlalu, mereka sadar bahwa detik yang berlalu tak mungkin kembali. Maka mereka berusaha merekonstruksi kejadian dalam imajinasi.
Banyak alasan untuk menulis puisi. Seorang yang sedang jatuh cinta menuangkan perasaannya yang menggelora dalam rangkaian kata hingga menjadi puisi. Orang yang baru ditinggal seseorang yang dicintainya, menggambarkan duka lara dalam bait-bait puisi. Kegelisahan ketika melihat anak jalanan terpanggang matahari menjelma jadi puisi. Melihat senja membakar cakrawala, lahirlah puisi. Dan lebih banyak lagi alasan untuk menulis puisi.
Ketika ditanya mengapa menulis puisi, Taufik Ismail selalu menjawabnya dengan puisi:
DENGAN PUISI, AKU
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
(Taufik Ismail)
Puisi bukan hanya rangkaian kata tanpa arti atau rayuan gombal. Puisi adalah nyanyian yang terus disenandungkan hingga menutup mata. Puisi adalah sarana untuk mengungkapkan cinta yang tak pernah sirna. Cakrawala tidak punya batas; ia adalah lambang keindahan yang abadi. Masa setelah kehidupan adalah misteri. Manusia tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi ketika menghadap Sang Pemilik. Maka dengan puisi, Taufik Ismail coba meraba bagaimana kira-kira ia akan menghadap Sang Penguasa Jiwa. Ketika bersedih, manusia butuh penopang untuk membuatnya tetap berdiri. Dan puisi adalah kawan yang tak pernah mengeluh. Senada dengan Rusli Marzuki Saria, puisi adalah cerana, sebuah wadah untuk memuntahkan berbagai kegelisahan dan kutukan. Itu bisa terjadi ketika seorang penyair tidak dapat mengubah zaman dengan kekuasaannya. Sebagai penutup, Taufik Ismail menulis, Dengan puisi aku berdoa/ Perkenankanlah kiranya. Kita pun berdoa, semoga para penyair tidak kehilangan kepekaan untuk mengkritisi zaman ini.