BEBERAPA HAMBATAN PELAKSANAAN DEBIROKRATISASI DAN DEREGULASI UNTUK PEMBANGUNAN

BEBERAPA HAMBATAN PELAKSANAAN DEBIROKRATISASI
DAN DEREGULASI UNTUK PEMBANGUNAN
Prof. Dr. Sofian Effendi

Sekarang ini semakin disadari oleh para pengamat dan ilmuwan bahwa kekurang-berhasilan pembangunan di negara modern dapat disebabkan oleh dua faktor yakni keadaan pasar internasional mau pun nasional yang kurang menguntungkan, atau karena intervensi pemerintah yang terlalu besar melalui perangkat birokrasi yang kaku dan lamban. Pandangan seperti ini dianut oleh banyak pengamat, antara lain Myrdal (1971), Wittfogel (1957), Jackson dan Pye (1978), Abdullah (1985), Luke (1986) dan Robison (1987). Mereka berpendapat bahwa “kapitalisme birokratik” di negara-negara Asia Tenggara amat menghambat pembangunan ekonomi, penciptaan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat. Myrdal, misalnya, atas dasar pene-litian di beberapa negara di Asia Selatan selama lebih kurang satu dekade, menyimpulkan bahwa birokrasi pemerintah yang kurang independen, patrimonial, tidak efisien, tidak bersih serta yang memiliki konsentrasi kekuasaan yang besar adalah salah satu sebab utama kegagalan pembangunan di negara di kawasan ini.
Bukti empiris mengenai dampak negatif regulasi yang berlebihan ini dilaporkan oleh Bank Dunia dalam suatu studi yang diadakan di 31 negara pada 1983.

Note: Yang termasuk dalam kelompok regulasi rendah adalah Malawi, Thailand, Kamerun, Korea, Malaysia, Filipina, Tunisia, Kenya, Yugoslavakia dan Kolumbia.
Kelompok regulasi menengah adalah Etiopia, Indonesia, India,
Sri Lanka, Brazil, Mexiko, Pantai Gading, Mesir dan Turki.
Kelompok regulasi tinggi adalah Senegal, Pakistan, Jamaika, Uruguai, Bolivia, Peru, Argentina, Chili, Tanzania, Bangladesh, Nigeria dan Ghana.

Adanya hubungan negatif yang amat meyakinkan antara tingkat regulasi ekonomi, yang diukur dengan Indeks Distorsi Harga (IDH), dengan beberapa komponen pertumbuhan seperti tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun, tingkat pertumbuhan sektor industri, dan tingkat pertumbuhan volume ekspor sebagai indikator kinerja (performance) pembangunan ekonomi. Pada Tabel 1 kelihatan bahwa negara-negara yang memiliki sistem ekonomi dengan IDH yang tinggi, sebagai akibat perekonomian yang terlalu diatur, menunjukkan tingkat pertumbuhan PDB, tingkat pertumbuhan sektor industri dan tingkat pertumbuhan volume ekspor yang terendah. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki IDH rendah, karena derajat regulasi yang rendah pula, menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi bila diukur dari ketiga indikator tadi.
Masalah efek negatif intervensi pemerintah dalam pemba-ngunan menjadi isyu sentral di Indonesia setelah terjadi krisis pembiayaan pada PELITA IV (1984/85-1988/89). Resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan telah menimbulkan kelesuan ekonomi di negara-negara maju dan mengakibatkan turunnya permintaan akan minyak dan bahan industri lainnya serta memaksa mereka untuk melakukan berbagai tindakan proteksi. Pengaruh gejolak ekonomi dunia ini buat Indonesia adalah merosotnya devisa sebagai sumber biaya pembangunan karena harga minyak serta komoditi ekspor lainnya turun secara tajam.
Keadaan ini tambah diperberat oleh penurunan nilai dolar. Untuk mempertahankan momentum pembangunan nasional, Pemerintah telah berusaha keras untuk mencari substitusi pembiayaan yang telah merosot secara drastis sejak tahun 1980. Untuk itu Pemerintah mengadakan reformasi perpajakan yang diatur melalui Undang Undang Nomor 7 tahun 1983 yang mengatur pajak penghasilan dan Undang Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai. Selain itu Pemerintah sangat mendorong penggalakan ekspor non-migas. Namun, upaya ini bukan tanpa masalah karena lemahnya daya-saing komoditi non-migas kita di pasar internasional yang antara lain disebabkan oleh ekonomi biaya tinggi dan inefisiensi. Untuk itu Pemerintah mengadakan serangkaian kebijaksanaan untuk meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan nasional yang dikenal sebagai paket kebijaksananan tahun 1983 yang memberikan peluang lebih besar kepada swasta untuk memobilisasi dana pembangu-nan dari masyarakat, tahun 1984 pengadaan program mobilisasi dana pedesaan, tahun 1988 pengadaan lembaga pembiayaan non-bank dan pasar modal, dan tahun 1990 deregulasi tata niaga dan perizinan dalam sektor industri, pertanian, peternakan dan kesehatan.
Sementara itu pembangunan nasional yang dilakukan oleh Pemerintah sejak awal Pemerintahan Orde Baru yang berhasil meningkatkan kesejahteraan dan kesadaran politik masyarakat juga telah menimbulkan pelonjakan permintaan akan berbagai pelayanan dari birokrasi pemerintah. Sayangnya berbagai tin-dakan debirokratisi dan deregulasi tadi belum mampu menghasilkan pelayanan yang lancar dan murah oleh birokrasi peme-rintah. Misalnya, telefon, surat-surat izin, dan sertifikat yang amat diperlukan oleh masyarakat banyak hanya dapat di-peroleh melalui prosedur yang amat berliku-liku, memakan waktu yang lama serta biaya siluman yang amat tinggi.

Tulisan ini mencoba mencari jawaban atas tiga masalah yakni: (a) apakah betul birokratisasi dapat menghambat pem-bangunan, (b) apakah kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang telah ditempuh oleh Pemerintah Indonesia mampu menghilangkan hambatan tersebut dan dapat meningkatkan proses pembangunan nasional, dan (c) apakah hambatan-hamba-tan pokok dalam pelaksanaan kebijaksanaan tersebut.

Birokratisasi Pembangunan Ekonomi: Perspektif Teoritis
Max Weber, sosiolog Jerman yang merumuskan konsep biro-krasi untuk pertama kali, mempunyai pemikiran yang amat ber-beda dari para sarjana yang dibicarakan di atas tentang hu-bungan antara birokrasi dan pembangunan ekonomi. Menurut Weber, birokratisasi adalah prasyarat bagi pembangunan eko-nomi dan upaya penciptaan industri modern. Tanpa birokrasi tidak mungkin dicapai ekonomi modern yang berkelanjutan, industrialisasi yang cepat dan “take-off into selfsustained growth” (Giddens, 1985:195).

Teori birokratisasi Weber tadi menimbulkan satu perta-nyaan yang selalu mengusik di benak para sarjana adminis-trasi pembangunan: “Apakah birokratisasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sudah sampai ke tingkat yang cukup tinggi sebagai prasarana pembangunan ekonomi?” Atau, sebaliknya, sudahkah birokratisasi yang terlalu berlebihan (overbureaucratization) justru telah menjadi beban yang menghambat kemajuan ekonomi negara ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dibahas proses birokratisasi secara lebih mendalam agar kita dapat memban-dingkan tingkat birokratisasi di Indonesia dengan di bebera-pa negara di kawasan ini. Evers (1987) dalam analisisnya tentang birokratisasi Asia Tenggara membedakan tiga pola birokratisasi berikut:
(a) Pola pertama adalah birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintahan dan aparat administrasi negara. Proses ini menjadi fokus dan dibahas secara luas da-lam teori Weber dan oleh Evers dinamakan birokratisasi a la Weber atau Weberisasi atau (Bw).

(b) Pola kedua adalah proses birokratisasi dalam bentuk peningkatan jumlah pegawai negeri dan pembesaran organisasi pemerintah. Dalam literatur ilmu sosial sering disebut nama Parkinson, tokoh ilmu sosial dari Universitas Singapura men-jadi terkenal karena “Parkinson’s Law” yang telah dicipta-kannya. Hukum Parkinson ini menyatakan: (1) tiap pegawai negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan jumlah pegawai bawahannya, dan (2) tiap pegawai akan selalu menciptakan tu-gas baru bagi dirinya sendiri yang sering diragukan manfaat dan artinya. Karena itu laju birokratisasi akan meningkat dan jumlah pegawai negeri akan naik secara otomatis tidak tergantung dari beban tugas yang diperlukan. Pola semacam ini disebut Evers birokratisasi Parkinson.

(c) Pola ketiga adalah birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol ke-giatan ekonomi, politik dan sosial masyarakat dengan pera-turan, regulasi, dan bila perlu pemaksaan. Proses ini di-sebut Evers birokratisasi Orwell atau Orwellisasi sesuai dengan gambaran masyarakat yang digambarkan oleh penulis George Orwell dalam novelnya yang berjudul “1984”.
Dengan ketiga pola ini kita dapat mengukur tingkat bi-rokratisasi di Indonesia serta membandingkannya dengan ting-kat yang sama di beberapa negara Asia Tenggara. Evers, meng-gunakan pola Parkinson, mengukur tingkat birokratisasi ter-sebut dengan memakai rasio pegawai negeri dan penduduk seba-gai tolok ukur. Dia menyimpulkan bahwa proses birokratisasi relatif berjalan dengan cepat di negara Asia Tenggara. Ting-kat birokratisasi yang tertinggi adalah di Malaysia dengan 40 pegawai per 1000 pada tahun 1986 diikuti oleh Indonesia dengan 19 pegawai per 1000 penduduk dan Thailand dengan 10 pegawai per 1000 penduduk. Walau pun Indonesia mempunyai tingkat birokratisasi yang terendah tetapi pertumbuhannya adalah yang tercepat karena antara 1950 dan 1988 jumlah pe-gawai negeri telah meningkat sebanyak lebih dari sepuluh kali lipat, dari 303 ribu menjadi 3,4 juta. Evers menamakan pertumbuhan yang cepat ini “runaway bureaucratization”. Me-nurutnya, proses ini dapat dibandingkan dengan inflasi mata uang. Bila peredaran mata uang ditambah terus maka nilainya akan merosot. Bila jumlah pegawai negeri ditambah terus se-cara cepat tanpa mengingat keseimbangannya dengan beban tu-gas pemerintahan, maka “nilai” pegawai negeri akan semakin menurun dan terjadilah inefisiensi. Dengan kata lain, infla-si pegawai negeri tadi akan menghambat tercapainya birokra-tisasi seperti yang diinginkan oleh Weber.
Seperti sudah disinggung di atas, tesis utama teori bi-rokratisasi Weber adalah sebagai berikut: birokrasi modern yang rasional diperlukan untuk ekonomi modern. Apa ciri-ciri birokrasi modern ini? Weber menggunakan konsep tipe ideal (idealtyp) untuk menjawab pertanyaan ini.
Menurut pemikiran Weber suatu birokrasi modern mempunyai ciri-ciri berikut:
(a) kegiatan birokrasi dilaksanakan secara teratur dengan batas-batas otoritas yang jelas,
(b) ada hirarki kewenangan,
(c) ada aturan yang jelas tentang perilaku, otoritas dan tanggung-jawab pegawai, dan
(d) pegawai diterima atas dasar merit bukan ikatan kekrabatan.

Salah satu ciri yang penting dari birokrasi rasional a la Weber ini adalah suatu sistem penggajian bagi pegawai se-bagai alat untuk meningkatkan produktivitas birokrasi tadi. Dalam hal ini, birokrasi Indonesia mempunyai pola yang agak “unik” menurut pola pemikiran Weber dan lebih mendekati pola imbalan dalam suatu birokrasi patrimonial yang lebih menyan-darkan pada hubungan antar patron dan client atau yang seca-ra populaer dikenal sebagai “bapakisme”. Selama sistem peng-gajian dan honor seperti ini seimbang dengan beban tugas ma-ka dia dapat memacu produktivitas pegawai. Kalau tidak, sis-tem seperti diragukan kemampuannya untuk menghasilkan biro-krasi yang berdayaguna dan berhasilguna seperpti yang difi-kirkan oleh Weber.
Cara lain yang telah ditempuh oleh Pemerintah untuk me-ningkatkan prestasi pegawai adalah dengan menaikkan gaji me-reka. Anggaran pemerintah untuk gaji pegawai memang mening-kat sebesar 48 persen selama PELITA IV, tetapi pendapatan riil pegawai negeri sebenarnya menurun sebesar 24 persen (BIES, Survey of Recent Development, 23:2, 1987). Gaji pega-wai negeri golongan I misalnya hanya mencapai 30 persen dari Kebutuhan Fisik Minimal keluarga dengan 2 anak (Effendi, dkk, 1989). Tingkat gaji pegawai yang rendah ini akhirnya telah menciptakan birokrasi tidak produktif dan tingkat efisiensi yang rendah. Dengan kata lain, sistem remunerasi yang dipakai oleh Indonesia telah menyimpang dari prinsip yang difikirkan oleh Weber, dan karenanya sistem tersebut tidak akan mampu menumbuhkan birokrasi yang rasional dan memiliki tingkat produktivitas dan efektivitas yang diper-lukan untuk menopang pembangunan yang sedang meningkat.
Peranan birokrasi pemerintah dalam berbagai aspek ke-hidupan masyarakat di Indonesia, Thailand dan Singapura da-pat dikatakan cukup besar. Bahkan ada sebagian penulis yang menganggap bahwa peranan birokrasi dalam kehidupan ekonomi dan dunia usaha Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN. Sistem birokrasi Indonesia ini dinamakan masyarakat politik birokratik (bureaucratic polity) oleh Jackson (1978), atau kapitalisme birokratik (bureaucratic capitalism) oleh Robison (1986) untuk menggambarkan suatu sistem ekonomi dan politik dimana kegiatan ekonomi yang utama dimiliki oleh pemerintah dan sangat dikendalikan oleh peraturan-peratutan pemerintah. Sistem seperti ini menggambarkan pola birokrasi Orwell dan seperti yang kita lihat keadaan ini amat mengham-bat proses pembangunan, terutama buat jangka panjang.

Untuk sementara masyarakat birokratis seperti ini me-mang mampu menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Studi yang diadakan oleh Muhaimin (1986), misalnya, menyimpulkan bahwa dari berbagai tolok ukur nampak bahwa Pemerintah Orde Baru telah mampu mencapai hasil-hasil yang cukup besar dalam memperkuat kehidupan bernegara. Antara 1969/70 dan 1985/86 pengeluaran pembangunan pemerintah telah meningkat hampir 80 kali sebelum menurun mencapai titik terendah pada tahun 1988/89. Seiring dengan itu telah terjadi peningkatan pe-nerimaan dalam negeri sebesar hampir 90 kali termasuk pe-ningkatan penerimaan pajak sebesar 67 kali lipat pada kurun waktu yang sama. Dalam pada itu volume APBN yang merupakan salah satu tolok ukur kegiatan pembangunan pemerintah juga telah mengalami pertumbuhan yang amat pesat seiring dengan bertambahnya proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan. Pada PELITA I, besarnya dana yang disediakan melalui APBN adalah Rp. 3.283,23 milyar, pada PELITA II meningkat menjadi Rp. 18.019,4 milyar, pada PELITA III meningkat lagi menjadi Rp. 66.393,7 milyar dan pada PELITA IV telah meningkat lagi menjadi Rp. 91.063 milyar.
Peningkatan APBN ini telah memperkuat daya beli dalam negeri sehingga ekonomi dapat tumbuh dengan pesat. Tetapi, seperti dugaan Weber, birokrasi patrimonial terbukti tidak mampu bertahan buat usaha pembangunan ekonomi jangka panjang. Kenyataan ini mulai nampak pada pertengahan PELITA IV. Gejolak-gejolak ekternal yang diakibatkan oleh resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan telah menimbulkan penurunan permintaan terhadap minyak, bahan tambang serta komoditi pertanian yang menjadi andalan Indonesia dalam pencarian devisa. Keadaan ini lebih diperburuk lagi oleh berbagai tinda-kan protektif yang diadakan oleh negara-negara maju untuk menghambat serangan ekspor dari negara berkembang.
Keadaan ini membawa dampak langsung bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Sampai dengan pertengahan PELITA IV laju pertumbuhan ekonomi hanya mencapai sekitar 4 persen bila diukur dari Produk Domestik Bruto. Dengan demikian tingkat pertumbuhan riil kurang dari 2 persen karena tingkat pertum- buhan penduduk adalah 2,1 persen. Keadaan ini sedikit mem-baik pada tahun-tahun berikutnya karena ekonomi dunia lebih sehat keadaannya.

Kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah selama ini memang nampaknya mampu memperbaiki kinerja ekonomi nasional. Selain dapat mengura-ngi kerentanan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi internasional tindakan-tindakan tadi nampaknya telah dapat meningkatkan daya-saing berbagai produk buatan Indonesia di pasar internasional. Lebih penting lagi tindakan deregulasi yang telah dilaksanakan secara sistematis oleh Pemerintah nampaknya telah menyebabkan perubahan struktur yang cukup besar pada ekonomi Indonesia. Menurut perkiraan staf Bank Dunia tindakan-tindakan debirokratisasi dan deregulasi dalam bidang ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia telah menurunkan secara drastis peranan BBM sebagai sumber pendapatan dari ekspor dari hampir 81 persen pada 1981/82 menjadi 66.6 persen pada 1985/86 dan turun lagi menjadi 35.8 pada 1988/89. Akibatnya, terjadi juga penurunan pada kontribusi penghasilan dari BBM terhadap penghasilan total dari hampir 71 persen pada 1981/82 menjadi 57.5 persen pada 1985/86 dan hanya 41.3 persen pada 1988/89. Perubahan struktur ekonomi ini nampak juga dari perbandingan antara hasil ekspor Non-BBM terhadap impor non-BBM yang telah meningkat dari hanya 28.8 persen pada 1981/82 menjadi 55.4 pada 1985/86 dan meningkat menjadi 90.3 persen pada 1988/89. Namun, belum semua bidang kegiatan rupanya tersentuh oleh berbagai tindakan debirokratisasi dan deregulasi tadi. Misalnya, arus barang antar daerah masih terhalang oleh berbagai peraturan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang akhirnya akan merugikan masyrakat banyak.
Sampai saat ini memang sebagian besar kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang ditempuh oleh Pemerin-tah masih dipusatkan pada upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Tindakan deregulasi yang ditempuh adalah menyang-kut pemberian peluang yang lebih besar kepada swasta dalam memobilisasi dana masyarakat dan penghapusan ekonomi biaya tinggi dengan memperlancar arus barang serta menyederhanakan sistem perizinan.
Namun masih banyak aspek pengelolaan pembangunan yang belum disentuh dan karenanya memerlukan tindakan debirokra-tisasi dan deregulasi lebih lanjut. Misalnya, Pembangunan Jangka Panjang Kedua (1994/95 – 2019/20) yang menekankan pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat dalam rangka pembangunan berkelanjutan juga memerlukan peninjauan yang kritis terhadap bentuk serta peranan birokrasi pemerin-tah.
Agar dapat melaksanakan pembangunan kualitas manusia yang mencakup dimensi-dimensi kapasitas (capacity), pemera-taan (equity), pemberian kewenangan dan kekuasaan kepada ma- syarakat (empowerment), keberlanjutan (sustainability) dan kesadaran akan saling-ketergantungan (interdependency), di- perlukan pemberian kesempatan yang lebih besar kepada parti-sipasi masyarakat melalui LSM mau pun lembaga perwakilan rakyat. Dengan kata lain diperlukan peninjauan kembali ten-tang peranan birokrasi dalam usaha pembangunan nasional.

Hambatan dalam pelaksanaan debirokratisasi dan deregulasi
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijaksa-naan debirokratisasi dan deregulasi yang ditempuh oleh Peme-rintah Indonesia mempunyai tujuan ganda. Yang pertama adalah
mengurangi intervensi birokrasi dalam proses pembangunan ekonomi sehingga pertumbuhannya dapat berlangsung secara lebih cepat dan lebih wajar. Yang kedua, yang lebih merupakan tujuan jangka panjang, adalah menciptakan kapasitas adminis-trasi yang lebih mampu melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berdimensi peningkatan kualitas manusia dan kuali-tas masyarakat.

Selama ini kedua kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah barulah mencakup upaya untuk mencapai tujuan jangka pendek tadi. Tujuan debirokratisasi jangka panjang boleh dikatakan belum tersentuh sama sekali, padahal ini lah yang lebih penting buat Pembangunan Jangka Panjang Kedua.
Hambatan pelaksanaan debirokratisasi dan deregulasi gu-na mencapai tujuan jangka pendek tadi sudah cukup banyak dibahas baik di media massa mau pun pada seminar. Karena itu saya tidak ingin menggunakan ruang yang amat terbatas ini untuk membicarakan secara panjang lebar tentang hal terse-but. Saya ingin, pada kesempatan ini membahas sedikit panjang mengenai hambatan-hambatan yang akan dihadapi dalam implementasi kedua kebijaksanaan ini untuk mencapai tujuan jangka panjang yaitu pengembangan kapasitas administrasi untuk dapat melaksanakan pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat tadi.

Seperti sudah disinggung di atas, pembangunan kualitas manusia itu sebenarnya mencakup lima dimensi yakni kapasitas untuk berproduksi, pemerataan, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada rakyat, kesadaran yang lebih tinggi ten-tang interdependensi antar manusia dan lingkungannya mau pun hubungan antar daerah dan antar bangsa, dan juga penekanan pada azas keberlanjutan (sustainability). Untuk itu perlu dikembangkan suatu sistem administrasi baru yang lebih cocok untuk pembangunan kualitas manusia, yakni sistem administra-si yang memiliki struktur yang lebih terbuka atau organis adaptif (Bennis, 1969, dan Saxena, 1985), prosedur yang le-bih sederhana dan cepat, petugas yang berorientasi fasilita-tor dan berbudaya pelayan publik serta lingkungan politik-birokratis yang mampu menciptakan “pengawasan” yang fungsional dan effektif terhadap birokrasi pemerintah.

Untuk melaksanakan pembangunan seperti ini diperlukan desentralisasi sebanyak mungkin urusan kepada daerah. Hanya daerah yang tahu secara lebih baik aspirasi daerah serta dapat menilai apa sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang mereka miliki serta untuk apa kekayaan tersebut akan digunakan. Karena itu hambatan paling besar dalam pelaksa-naan kebijaksanaan semacam itu adalah sentralisasi yang amat besar dalam sistem administrasi kita.
Hambatan yang kedua adalah karena kurang tumbuhnya bu-daya pelayan publik dalam birokrasi kita baik di pusat mau pun di daerah. Kelangkaan budaya pelayanan publik ini muncul sebagai akibat adanya dualisme birokrasi dalam sistem administrasi kita. Kalau sistem ekonomi kita mengenal adanya dualisme antara ekonomi tradisional-agraris dan ekonomi modern industrial, maka dalam sistem administrasi kita di-kenal adanya dualisme antara sistem administrasi tradisional yang menghasilkan ritualisme administratif yang tidak efisien dan sistem administrasi modern yang menekankan rasionalisme administratif yang efisien (Riggs, 1957:59). Untuk merubah inkonsistensi tata nilai yang banyak di pengaruhi ritualisme adminstratif sangat diperlukan program pendidikan dan pelatihan yang dirancang secara tepat. Hambatan yang ketiga adalah karena kelemahan yang ter-kandung dalam sistem politik kita yang kurang mampu mengem-bangkan pengawasan oleh DPR dan DPRD. Salah satu sebab utama
kekurang berhasilan pembangunan di negara sosialis dan Dunia Ketiga menurut kajian yang diadakan oleh Institute of Devel-opment Studies, Universitas Sussex adalah karena lemahnya sistem pengawasan demokratis di negara-negara ini. Sampai saat ini DPR dan DPRD, dengan berbagai cara, masih diperla-kukan sebagai kepanjangan dari lembaga eksekutif. Karena itu tidak ada kekuatan politik yang berarti yang mengontrol lem-baga eksekutif. Dominasi birokrasi dalam kehidupan politik, karena amat sukar membedakan antara birokrasi dengan Golkar sebagai kekuatan politik yang sedang berkuasa, telah memper-buruk keadaan ini dan telah amat melemahkan efektivitas pe-ngawasan terhadap lembaga eksekutif.

Revitalisasi Birokrasi Pembangunan
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa dalam pembangunan nasional amat diperlukan suatu sistem adminis-trasi yang rasional dan efisien. Namun, intervensi birokrasi yang terlalu besar dalam kehidupan sosio-ekonomis dapat mem-bawa dampak yang justru akan counter productive. Karena itu diperlukan adanya upaya debirokratisasi yakni mengurangi ke-terlibatan birokrasi pemerintah dalam urusan-urusan sosio-ekonomi tadi. Deregulasi adalah salah satu bentuk kebijaksa-naan debirokratisasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengunrangi berbagai kendala regulatif yang biasanya ditempuh oleh birokrasi untuk menancapkan pengaruhnya.
Kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang di-tempuh oleh Pemerintah Indonesia selama ini seharusnya di-arahkan pada pencapaian tujuan jangka pendek yaitu untuk me-macu pembangunan ekonomi dan tujuan jangka panjang yaitu menciptakan kapasitas adminstrasi yang lebih mampu melaksa-nakan pembangunan kualitas manusia. Namun, pada saat ini baru tujuan jangka pendek yang baru disentuh oleh kebijak-sanaan-kebijaksanaan tersebut.

Pelaksanaan kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi buat pencpaian tujuan jangka panjang tadi nampaknya menghadapi beberapa hambatan yang cukup berat antara lain kurangnya budaya pelayan publik, sentralisasi pemerintahan serta belum effektifnya sistem pengontrolan demokratis oleh lembaga legislatif. Untuk mengatasi hambatan yang pertama perlu ditimbulkan kesadaran dan kesepakatan yang kuat di kalangan para pemimpin nasional Indonesia tentang urgensi perubahan nilai pada birokrasi Indonesia. Disamping itu perlu diadakan perombakan yang agak mendasar pada kurikulum pendidikan dan pelatihan calon birokrat untuk menanamkan budaya pelayan publik tadi. Selain itu harus diciptakan sis-tem pemerintahan yang lebih seimbang antara lembaga legis-latif dan eksekutif sehingga dominasi kekuasaan birokrasi pemerintah jauh berkurang, dan pemberian otonomi yang lebih besar kepada daerah. Kalau semuanya itu dapat dilaksanakan secara sistematis dan konsisten baru lah dapat diciptakan suatu revitalisasi birokrasi yang amat diperlukan dalam proses pembangunan yang berdimensi kualitas manusia dan kualitas masyarakat.

Tinggalkan komentar