Perkembangan Konsep Kecerdasan atau Inteligensi

Perkembangan Konsep Kecerdasan atau Inteligensi
Dra. Lilik Aslichati, Psi

Konsep inteligensi atau kecerdasan bukanlah konsep yang statis. Mulai dikembangkan oleh Sir Farncis Galton pada tahun1869 dengan dasar pandangan bahwa kecerdasan pada dasarnya adalah kecerdasan intelektual atau kemudian dikenal dengan istilah IQ. Konsep ini kemudian terus berkembang menjadi EQ (emotional quotient) atau kecerdasan emosional, SQ (social quiotient) atau kecerdasan social, ESQ (emotional social quotient) atau kecerdasan social dan emosional, AQ (adversity quotient) atau kecerdasan adversity, dan yang paling mutakhir kecerdasan kenabian (prophetic intelligence).

Diantara teori-teori Psikologi, konsep inteligensi tidak pernah menempati suatu posisi yang komprehensif, sistematik, dan mantap. Hal ini mungkin disebabkan karena hakekat dasar manusia yang berbeda satu-sama-lain (individual differences), sehingga teori-teori yang dibangun tentang manusia (kecerdasannya) yang umumnya didasarkan pada pengalaman dan studi empirik pada sampel yang terbatas, belum tentu menggambarkan konsep kecerdasan yang sesungguhnya pada semua orang. Penyebab lain, karena tes-tes inteligensi biasanya disusun berdasar teori-teori yang sudah dibangun, sementara pada kenyataannya, ada beberapa hal yang tidak ada dalam teori, sehingga tingkat inteligensi yang diperoleh dari hasil tes itu hanya inteligensi pada konteks teori itu saja. Jadi, konsep inteligensi memang terus-menerus berkembang .

Sampai saat ini ada beberapa konsep inteligensi atau kecerdasan yang sudah berkembang, antara lain: (1). Kecerdasan intelektual (intellectual intelligence / IQ), (2). Kecerdasan emosional (emotional intelligence / EQ), (3). Kecerdasan spiritual (spiritual intelligence / SQ), (4). Kecerdasan emosional spiritual (emotional spiritual intelligence /ESQ), (5). Kecerdasan adversity (adversity intelligence / AQ), dan (6). Kecerdasan kenabian (prophetic intelligence).
1. KECERDASAN INTELIGENSI
Kecerdasan intelektual atau sering disebut dengan istilah IQ (intelligence quotient) sempat dimitoskan sebagai satu-satunya kriteria kecerdasan manusia. Adalah Sir Francis Galton ilmuwan yang memelopori studi IQ dengan mengembangkan tes sensori (1883). Galton berpendapat bahwa makin bagus sensori seseorang makin cerdas dia. Dalam bukunya Heredity Genius (1869) yang kemudian disempurnakan oleh Alfred Binet dan Simon. Dengan kecerdasan intelektual atau rasional kita mampu memahami, menganalisa, membandingkan, dan mengambil hikmah dari setiap masalah, peristiwa, dan kejadian yang terjadi pada masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang. Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya kita menggunakan cara berpikir seperti ini. Bahkan konon, perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat sebagian besar terjadi karena berfungsinya secara optimal cara berpikir rasional. IQ pada umumnya mengukur kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis, daya ingat (memory), daya nalar (reasoning), perbendaharaan kata, dan pemecahan masalah. Mitos ini dipatahkan oleh Daniel Goleman yang memperkenalkan kecerdasan emosional atau disingkat EQ (emotional quotient) dalam bukunya Working with Emotional Intelligence (1990) dengan menunjukkan bukti empirik dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa orang-orang yang IQnya tinggi tidak terjamin hidupnya akan sukses. Sebaliknya orang yang memiliki EQ tinggi, banyak yang menempati posisi kunci di dunia eksekutif. Asumsi ini diperkuat oleh Danah Zohar, sarjana fisika dan filsafat di MIT (Massachussetts Institute of Technology) yang memelopori munculnya kecerdasan spiritual atau disingkat SQ (spiritual quotient) dalam bukunya Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence (2000).

2. KECERDASAN EMOSIONAL
Pada tahun 1995an, berdasar berbagai hasil penelitian para pakar Psikologi dan Neurologi, Daniel Goleman mempopulerkan konsep Kecerdasan Emosional atau populer dengan singkatan EQ. Konsep ini menyatakan bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan rasional atau intelektual; bahkan dalam kehidupan sosial EQ bisa lebih berperan dibanding IQ.
a. Apakah Emosi?
Untuk memahami apa sesungguhnya emosi itu, mari kita simak cuplikan cerita saat-saat terakhir ketika Pak Muhammad Ilham menyelamatkan anak bungsunya tercinta – Ahmad Ridlo – dari seretan air bah tsunami di kota Banda Aceh akhir Desember tahun 2004 lalu. Saat raksasa hitam menjulang tinggi melebihi pohon kelapa datang, Pak Muhammad sedang asyik bercengkeraman bermain pasir di pinggir pantai dengan anaknya semata wayang. Dengan cepat sang raksasa hitam menyambar bapak dan anak itu. Sekuat tenaga Pak Muhammad berusaha memeluk erat anaknya, meskipun timbul-tenggelam dan terbentur-bentur pohon atau puing-puing bangunan yang diseret ombak. Sampai suatu ketika, dengan kuasa Allah swt. Pak Muhammad berhasil meraih sebuah kasur yang terbawa ombak, dan melemparkan anaknya ke atas kasur. Terbanting-banting anaknya dibawa ombak, tetapi akhirnya terdampar di puncak bangunan masjid. Pak Muhammad sendiri, kaki kanannya harus diamputasi, sementara paru-parunya harus dibersihkan dari lumpur hitam.

Kisah Pak Muhammad yang heroik melukiskan suatu momen keberanian yang hampir-hampir seperti mitos. Tidak diragukan lagi bahwa kejadian pengorbanan orang tua semacam itu telah tak terbilang banyaknya, berulangkali terjadi dalam sejarah dan pra sejarah manusia. Bila dilihat dari sudut pandang ahli-ahli biologi evolusi, pengorbanan diri orang tua semacam itu menguntungkan “keberhasilan reproduksi” dalam mewariskan gen-gen seseorang kepada generasi selanjutnya. Tetapi dari sudut pandang orang tua yang membuat keputusan berat pada saat–saat kritis, tindakan tersebut tak bisa lain kecuali cinta.
Sebagai pemahaman akan maksud dan potensi emosi, tindakan teladan kepahlawanan orang tua itu mempertegas peran cinta tanpa pamrih. Ini menunjukkan bahwa perasaan kita yang paling dasar, nafsu, hasrat, merupakan pedoman penting dalam bertindak. Selain itu, ternyata manusia berutang amat banyak kepada kekuatan emosi karena dengan adanya emosilah manusia dapat menunjukkan keberadaannya dalam masalah-masalah manusiawi. Kekuatan emosi ini luar biasa – hanya dengan kekuatan cinta yang luar biasa besarlah yang mendorong Pak Muhammad – dan manusia-manusia lainnya – menyelamatkan anaknya tercinta, bukan menyelamatkan dirinya sendiri. Bila ditinjau dari aspek nalar, pengorbanan diri semacam itu jelas tidak rasional, tetapi bila ditinjau dari aspek perasaan, tindakan itu merupakan satu-satunya pilihan.
Para ahli sosiobiologi menunjuk pada keunggulan perasaan dibanding rasio atau nalar pada saat–saat kritis semacam itu bila mereka menyimpulkan tentang mengapa evolusi menempatkan emosi sebagai pusat jiwa manusia. Pandangan mengenai kodrat manusia yang mengabaikan kekuatan emosi jelas pandangan yang amat picik. Sebutan homo sapiens, atau spesies yang berpikir, merupakan hal yang keliru dalam memahami manusia. Bagaimanapun kecerdasan intelektual tidaklah berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa.

b. Ragam Emosi
Pada dasarnya emosi adalah akar dorongan untuk bertindak. Setiap emosi memainkan peranan khas, sebagaimana diungkapkan oleh ciri-ciri biologis mereka. Dengan menggunakan metode-metode baru untuk meneliti tubuh dan otak, para peneliti menemukan lebih banyak detil fisiologi tentang bagaimana masing-masing emosi mempersiapkan tubuh untuk jenis reaksi yang sangat berbeda.

Bila darah amarah mengalir ke tangan, mudahlah tangan bergerak menyambar senjata atau memukul lawan; detak jantung meningkat dan banjir adrenalin membangkitkan enerji yang kuat untu bertindak dahsyat.

Bila darah ketakutan mengalir ke otot-otot rangka besar, seperti di kaki, maka kaki menjadi mudah diajak mengambil langkah seribu. Bila juga mengalir di wajah, maka wajah menjadi pucat seakan-akan darah tersedot sehingga seakan-akan darah menjadi ‘dingin’. Pada waktu bersamaan, mungkin tubuh menjadi beku. Sirkuit-sirkuit syaraf di pusat emosi memicu produksi hormon-hormon yang membuat tubuh waspada, awas, dan siap bertindak dan perhatian tertuju pada ancaman yang dihadapi, agar reaksi yang muncul semakin tepat.

Cinta, perasaan kasih sayang, dan kepuasan seksual mencakup rangsangan parasimpatetik. Pola parasimpatetik, yang disebut ‘respon relaksasi’ adalah serangkaian reaksi di seluruh tubuh yang membangkitkan perasaan tenang dan puas.

Naiknya alis mata karena terkejut memungkinkan diterimanya bidang penglihatan yang lebih luas dan cahaya yang masuk ke retina. Reaksi ini membuka kemungkinan lebih banyak informasi tentang peristiwa tak terduga, sehingga memudahkan memahami apa yang sebenarnya terjadi dan menyusun rencana tindakan yang terbaik.

Di seluruh dunia, ungkapan rasa jijik tampaknya sama dan memberi pesan yang sama: sesuatu yang rasa atau baunya menyengat. Ekspresi rasa jijik, misalnya bibir atas mengerut ke samping sewaktu hidung sedikit berkerut, memperlihatkan usaha primordial, sebagaimana diamati oleh Darwin, untuk menutup lubang hidung atau untuk meludahkan makanan yang ada di mulut.

Salah satu fungsi pokok rasa sedih adalah untuk menolong menyesuaikan diri akibat kehilangan seperti kematian, kekecewaan, kemalingan. Kesedihan menurunkan enerji dan semangat hidup untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Bila kesedihan itu semakin dalam, maka kesedihan akan memperlambat metabolisme tubuh.

Daftar ini tidak menyelesaikan setiap pertanyaan bagaimana mengelompokkan emosi. Misalnya bagaimana dengan perasaan yang campur aduk seperti iri hati, variasi takut yang juga mengandung perasaan sedih dan takut? Juga bagaimana dengan nilai-nilai klasik seperti harapan dan kepercayaan, keberanian dan mudah memaafkan, kepastian dan ketenangan hati, atau perasaan ragu-ragu, puas diri, lamban, dan sebagainya. Tidak ada jawaban yang jelas, dan sampai saat ini perdebatan tentang penggolongan emosi berjalan terus.
Meskipun demikian, kecenderungan biologis untuk bertindak ini selanjutnya dibentuk oleh pengalaman hidup dan budaya. Misalnya, secara universal, meninggalnya seseorang yang dikasihi akan menumbuhkan rasa sedih dan berkabung. Tetapi cara kita menunjukkan rasa berkabung, ditentukan oleh budaya tempat kita berada. Misalnya, dalam budaya tertentu ekspresi rasa berkabung ditunjukkan dengan cara menangis meraung-raung dan meratap-ratap, sementara pada budaya lain ekspresi berkabung ditunjukkan dengan cara diam, tidak banyak bicara.
c. Ciri Kecerdasan Emosional
Salah satu rahasia psikologi yang telah menjadi konsumsi umum, adalah adanya ketidakmampuan relatif nilai-nilai IQ meramalkan dengan tepat keberhasilan seseorang di masa depan. Yang jelas ada kaitan antara IQ dengan lingkungan tempat tinggal: banyak orang ber IQ rendah pada akhirnya memperoleh pekerjaan-pekerjaan kasar, dan orang-orang yang ber IQ tinggi yang pada akhirnya menjadi karyawan yang bergaji besar. Meskipun demikian, tidak selalu demikian yang terjadi. Ada banyak perkecualian terhadap pandangan yang menyatakan bahwa IQ meramalkan kesuksesan. Bahkan ada beberapa pakar yang mengatakan bahwa sumbangan IQ terhadap kesuksesan seseorang paling tinggi hanya 20%, sedang sisanya adalah sumbangan faktor-faktor lain di luar IQ.

Kecerdasan emosional pada dasarnya merupakan kesadaran atas perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Orang-orang yang cerdas secara emosional memiliki ciri: mampu mengendalikan diri, mampu memotivasi diri, mampu bertahan menghadapi frustrasi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mampu menjaga diri agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, mampu berempati, dan selalu berdoa.

Berbeda dengan IQ yang penelitian tentangnya sudah berumur seratusan tahun dan dilakukan atas ratusan ribu orang, kecerdasan emosional merupakan konsep baru. Sampai sekarang belum ada yang dapat mengemukakan dengan tepat sejauhmana variasi yang ditimbulkannya berpengaruh terhadap perjalanan hidup seseorang. Tetapi data yang ada mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional dapat sama ampuhnya dengan kecerdasan rasional, dan bahwa kecerdasan emosional benar-benar dapat dipelajari dan dikembangkan sejak kanak-kanak.

d. Ciri Utama Pikiran Emosional
Baru pada beberapa tahun belakangan ini muncul model ilmiah yang menjelaskan betapa banyak tindakan dapat kita lakukan karena dorongan emosional – bagaimana kita dapat menjadi begitu rasional di suatu saat dan menjadi begitu emosional atau tidak rasional pada saat lainnya. Penilaian otak emosional itu pertamakali di sampaikan oleh Paul Ekman, Kepala Human Interaction Laboratory di University of California, San Fransisco dan Seymour Epstein, ahli psikologi klinis di University of Massachussets . Mereka berdua memberikan daftar pokok ciri-ciri pikiran emosional.

Respons yang Cepat tapi Ceroboh
Pikiran emosional jauh lebih cepat daripada pikiran rasional, langsung melompat bertindak tanpa mempertimbangkan bahkan sekejappun apa yang dilakukannya. Kecepatannya bertindak itu mengesampingkan pemikiran hati-hati dan analitis yang merupakan ciri khas akal yang berpikir.

Perasaan dulu, baru Pemikiran
Karena pikiran rasional membutuhkan waktu sedikit lebih lama daripada pikiran emosional, maka ‘dorongan pertama’ dalam suatu situasi emosional adalah dorongan hati bukan dorongan otak.
Tetapi ada juga situasi-situasi emosional yang respon emosionalnya lebih lamban, karena responnya lebih dulu digodok dan diolah dalam pikiran sebelum mengalir ke perasaan. Respon ini biasanya lebih bersifat disengaja dan biasanya kita cukup sadar akan gagasan-gagasan yang menimbulkannya. Dalam reaksi emosional jenis ini, pikiran kita memainkan peran kunci dalam menentukan emosi-emosi apa yang akan dikeluarkan. Misalnya, kita melihat seorang bayi yang lucu, lalu kita mengatakan “Aih, lucunya bayi ini”!, baru kemudian menyusul respon emosional yang sesuai – seperti mencubit pipinya dengan gemas, menciumnya, atau mengajaknya tertawa.

Realitas yang Ditentukan oleh Keadaan
Bekerjanya akal emosional sebagian besar ditentukan oleh keadaan, didiktekan oleh perasaan tertentu yang sedang menonjol pada saat itu. Bagaimana kita berpikir dan bertindak pada saat kita berada pada situasi perasaan romantis betul-betul berbeda dengan cara kita berpikir dan bertindak ketika perasaan kita sedang marah. Dalam mekanisme emosi, setiap perasaan mempunyai repertoar pikiran, reaksi, bahkan ingatannya sendiri-sendiri.
Masa Lampau Diposisikan sebagai Masa Sekarang
Apabila sejumlah ciri peristiwa tampak serupa dengan kenangan masa lampau yang mengandung muatan emosi, maka akal emosional akan menanggapinya dengan memicu perasaan-perasaan yang berhubungan dengan peristiwa yang diingat itu. Akal emosional bereaksi terhadap keadaan sekarang seolah-olah keadaan itu adalah masa lampau.

e. Penerapan Kecerdasan Emosional dalam Menangani Prasangka
Prasangka atau prejudice adalah semacam pelajaran emosi yang terjadi pada masa-masa awal kehidupan, sehingga menyulitkan usaha untuk menghapus reaksi-reaksi emosional. Menurut Thomas Pettigrew (dalam Goleman, 2000), emosi prasangka terbentuk pada masa kanak-kanak, sedangkan keyakinan dan pembenarannya muncul belakangan. Mungkin suatu ketika Anda ingin mengubah prasangka Anda, tetapi jauh lebih mudah mengubah keyakinan intelektual daripada mengubah perasaan terdalam. Dr. Vamik Volkan (dalam Goleman, 2000), seorang psikiater dari University of Virginia menceriterakan bagaimana rasanya tumbuh dewasa di tengah keluarga Turki di P. Siprus yang waktu itu tengah diperebutkan antra Turki dan Yunani. Ketika masih kecil Volkan mendengar kabar burung bahwa sabuk pendeta Yunani memiliki simpul-simpul, di mana setiap simpul melambangkan satu anak Turki yang telah mati dicekiknya. Dia juga mengingat betapa dia merasa sangat kecewa karena tetangga-tetangga Yunani-nya makan daging babi, daging yang dianggap najis untuk dimakan dalam keyakinan masyarakat Turki. Kenangan masa kanak-kanak semacam itu memperlihatkan betapa kebencian antarkelompok terus dipelihara selama bertahun-tahun, ketika generasi-generasi yang lebih muda dicekoki dengan prasangka-prasangka yang bersifat memusuhi semacam itu. Secara psikologis, tingginya tingkat loyalitas terhadap suatu etnik dapat menumbuhkan perasaan antipati terhadap etnik lainnya, terutama jika ada riwayat permusuhan antara keduanya.

Kuatnya keyakinan stereotip yang mendukung prasangka, sebagian berasal dari kekuatan yang lebih netral di dalam otak yang membuat segala macam stereotip menjadi semakin mantap (Gaertner dan Davidio, 1987, dikutip Goleman, 2000). Orang lebih mudah mengingat contoh-contoh yang mendukung stereotip dan cenderung meremehkan contoh-contoh yang menentangnya. Simak ilustrasi berikut:

“Bila dalam suatu pesta terdapat seorang Inggris yang secara emosional menunjukkan sikap yang terbuka dan hangat, yang berlawanan dengan stereotip yang menyatakan bahwa orang Inggris dingin dan kaku, maka orang akan mengatakan bahwa orang Inggris tersebut ‘tidak biasanya’ atau bahkan ‘sedang mabuk’.

Melekatnya bias-bias halus ini menjelaskan mengapa – meskipun selama 40 tahun terakhir ini sikap kaum kulit putih Amerika terhadap kaum kulit hitam semakin lama semakin toleran – bentuk-bentuk prasangka yang halus tetap saja bertahan. Orang menyangkal bersikap rasial, namun tindakannya mencerminkan prasangka tersamar. Kalau mereka ditanya, mungkin mereka akan mengatakan bahwa mereka tidak merasa fanatik, tetapi dalam situasi-situasi ambigu (tidak jelas), mereka masih bertindak dengan pola penuh prasangka, meskipun mereka memberi alasan rasional. Contoh kasus prasangka yang bersifat stereotip, dapat kita lihat pada kasus penanganan korban badai Katrina di kota New Orleans, di mana bantuan dan pertolongan lebih dulu diberikan kepada masyarakat kulit putih dan masyarakat kulit hitam cenderung ditelantarkan.

Bias yang sudah mendarah daging tidak dapat disingkirkan begitu saja, yang dapat dilakukan adalah mengubah apa yang mereka lakukan berdasarkan bias tersebut. Caranya antara lain, ubahlah norma kelompok secara tegas dengan aktif melawan setiap tindakan diskriminatif yang didasarkan pada prasangka yang stereotipik. Misalnya, dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa tindakan prasangka dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran yang harus dihukum. Biasnya barangkali tidak dapat dihapuskan ,tetapi setidaknya tindakan prasangka dapat dihilangkan, apabila iklimnya diubah. Begitu pula yang seharusnya dilakukan dalam mengatasi masalah prasangka di lingkungan kerja, dan lingkungan sosial lainnya.

f. Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi
Saat ini, di seluruh dunia, mayoritas lapangan kerja diisi oleh ’orang-orang pintar’ yang produktivitasnya ditandai dengan bertambahnya nilai dalam informasi. Peter Drucker, seorang pakar bisnis, mengatakan bahwa kemahiran pekerja-pekerja semacam itu betul-betul terfokus, dan produktivitas kerjanya tergantung pada upaya mereka yang dikoordinasikan sebagai bagian dari tim organisasi. Kerja tim adalah unit kerja yang utuh, bukan kerja individu-individu. Dalam kerja tim, yang paling berperan bukanlah IQ akademis masing-masing anggota tim, tetapi yang lebih penting adalah ’IQ emosionalnya’. Pekerja yang lebih ’bersinar’ dibanding rata-rata yang lain adalah pekerja yang memiliki ’IQ emosional’ yang lebih bagus. Semakin banyak pekerja dalam tim itu yang memiliki IQ emosional tinggi, semakin besar kemungkinan tercapainya keberhasilan kerja tim tersebut.
Selain itu, sesungguhnya masing-masing kita sebagai karyawan atau pekerja pada akhirnya harus bertanggungjawab dan menjadi chief executive officer (CEO) hidup dan pekerjaan kita sendiri. Sebagai pemimpin, kita dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas dan keahlian menganilisis dalam bidang keuangan, statistik, alokasi sumberdaya, teknologi, sistem informasi, pemasaran, pengembangan produk, manufakturing, dan sebagainya. Kita juga dituntut untuk piawai dalam menulis, berbicara, mendengarkan, bernegosiasi, berstrategi, dan mempengaruhi orang lain. Dalam kapasitas pribadi, kita juga dituntut untuk mampu menunjukkan hampir semua atribut kepemimpinan seperti jujur, percaya diri, ulet, memiliki komitment tinggi, peka, penuh empati, memiliki rasa humor yang memadai, berani, tapi sekaligus rendah hati. Kita juga diharapkan bisa menjadi mentor, pembimbing, pelindung, sekaligus juga sahabat. Kesemuanya itu tidak hanya dapat dipenuhi melalui kecerdasan inteketual yang tinggi, tetapi perlu sekali memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Bukti neurologis terakhir menunjukkan bahwa emosi adalah bahan bakar yang tidak tergantikan bagi otak agar mampu melakukan penalaran yang tinggi (Damasio, 1994, dikutip Cooper & Sawaf, 2000).

g. Cara Mengembangkan Kecerdasan Emosional
Ada satu model pengembangan kecerdasan emosional yang dikembangkan oleh Cooper & Sawaf (2000) yang diberi nama Model Empat Batu Penjuru yang dapat digunakan untuk memindahkan kecerdasan emosional dari dunia analisis psikologis dan teori-teori filosofis ke dalam dunia nyata dan praktis.

Batu Penjuru Pertama, adalah kesadaran emosi (emotional literacy) yang bertujuan untuk membangun tempat kedudukan bagi kepiawaian dan rasa percaya diri melalui kejujuran emosi, enerji emosi, intuisi, rasa tanggungjawab, dan koneksi.

Batu Penjuru Kedua, adalah kebugaran emosi (emotional fitness) yang bertujuan mempertegas kesejatian, sifat dapat dipercaya, keuletan, memperluas lingkaran kepercayaan, meningkatkan kemampuan mendengarkan, mengelola konflik, dan mengelola kekecewaan dengan cara paling konstruktif.

Batu Penjuru Ketiga, adalah kedalaman emosi (emotional depth) yang bertujuan untuk mengeksplorasi cara-cara menyelaraskan hidup dan kerja anda dengan potensi serta bakat unik anda, dan mendukung dengan ketulusan, kesetiaan pada janji dan tanggungjawab, yang pada akhirnya akan memperbesar pengaruh anda tanpa mengobral kewenangan.
Batu Penjuru Keempat, adalah alkimia emosi (emotional alchemy) tempat anda memperdalam naluri dan kemampuan kreatif untuk mengalir bersama masalah-masalah dan tekanan-tekanan, dan bersaing demi masa depan dengan membangun keterampilan untuk lebih peka terhadap kemungkinan-kemungkinan solusi yang masih tersembunyi dan peluang yang masih terbuka.

3. KECERDASAN SPIRITUAL
Pada awal tahun 2000, muncul konsep kecerdasan lain, yakni kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) atau yang lebih dikenal dengan SQ. Tokoh yang mengenalkan konsep kecerdasan ini adalah Danah Zahar dan Ian Marshall yang menuliskannya dalam buku Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence (dikutip Bastaman, 2002). Kecerdasan spiritual adalah suatu ragam konsep kecerdasan yang menyadarkan kita akan makna hidup, yang memungkinkan kita berpikir secara kontekstual dan transformatif sehingga kita merasa sebagai satu pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan ini merupakan sumber dari kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai dan makna hidup, serta memungkinkan secara kreatif menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam kehidupan kita. Kecerdasan spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri secara bertanggungjawab dan mampu memiliki wawasan mengenai kehidupan serta memungkinkan menciptakan secara kreatif karya-karya baru. Konsep kecerdasan spiritual ini mengatakan bahwa ada God Spot pada otak manusia yang menunjukkan aktivitas yang intensif bila berbicara dan memikirkan hal-hal spiritual.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kecerdasan spiritual tidak sama dengan beragama dan tidak perlu berkaitan dengan agama formal. Mungkin bagi sementara orang SQ terungkap melalui agama formal yang dianutnya, tetapi beragama tidak selalu menjamin adanya SQ yang tinggi. Dalam kenyataannya, banyak kaum humanis atau atheis yang memiliki SQ tinggi, sementara sebaliknya tidak jarang orang yang aktif atau taat beragam SQ-nya rendah.

4.KECERDASAN ADVERSITY
Jauh di dalam diri manusia terdapat kekuatan-kekuatan yang masih tertidur nyenyak; kekuatan yang akan membuat mereka takjub, dan yang tidak pernah mereka bayangkan bahwa mereka memilikinya, kekuatan yang apabila digugah dan ditindaklanjuti akan mengubah kehidupan mereka denga cepat. ( Orison Marden)

Adversity Intelligence dikembangkan dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu pengetahuan, yaitu psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, neurofisiologi, kemudian diterapkan dalam dua komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan penerapannya dalam dunia nyata.

Adversity inteligence memiliki tiga bentuk, yaitu: suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua aspek kesuksesan, suatu ukuran untuk mengetahui respon anda terhadap kesulitan, dan serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan.

AQ dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas: Tim, Hubungan atau ikatan kerja, Keluarga, Perusahaan, Perkumpulan, Kebudayaan, Masyarakat.

Pada banyak perusahaan, seperti US West, Minnesota Power, Boehringer Ingelheim, Abbott Labs, dan lain-lain terbukti bahwa karyawan yang memiliki AQ tinggi memiliki kinerja, produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, daya tahan, dan vitalitas yang lebih besar dari pada karyawan yang AQ-nya rendah.

a. AQ versus IQ dan EQ
Tidak diragukan lagi dalam hidup ini ada orang-orang yang lebih berbakat dibanding yang lain; ada yang memiliki kecerdasan luar biasa, jasmani yang sangat kuat, keluarga yang penuh kasih sayang, sumberdaya yang tidak terbatas; sementara ada orang lain kekurangan dalam hal-hal tersebut. Meskipun demikian, mengapa ada orang yang jelas-jelas sangat berbakat gagal menunjukkan potensi mereka, sementara orang lain yang hanya memiliki sepersekian sumberdaya dalam kesempatan yang sama bisa lebih unggul dan mencapai prestasi melebihi yang diharapkan? Inilah pertanyaan tentang kesuksesan.

IQ tidak cukup untuk mencapai kesusksesan.
Perhatikan ilustrasi kasus Ted Kaczynski yang diperiksa atas tuduhan ’pemboman’. Kaczynski memiliki semua ciri orang yang ber IQ tinggi; sejak kecil kecerdasannya sudah menonjol. Ia langsung menempuh pendidikan menengah atas tanpa melewati pendidikan menengah pertama, dan masuk Harvard pada umur 16 tahun dan lulus pada umur 20 tahun. Setelah menyelesaikan master dan doktornya dalam bidang matematika di University of Michigan, dia mengajar di departemen matematika di Universitas paling bergengsi di dunia yakni University of California di Berkeley. Namun 2 tahun kemudian dia meninggalkan pekerjaannya.

Kaczynski terbiasa dididik untuk mengembangkan pikirannya saja, sehingga kemampuan bersosialisasi atau kecerdasan emosionalnya tidak pernah berkembang. Sepanjang masa sekolahnya, dia tidak pernah kelihatan bergaul dengan siapapun dan tidak pernah terlihat menjalin hubungan dalam waktu yang lama. ’Ted mempunyai bakat khusus untuk menghindari pergaulan dengan berjalan cepat melewati orang-orang yang sedang berkumpul dan membanting pintu di belakangnya’ kata Patrick McIntosh salah satu rekan sekamar Kaczynski di perguruan tinggi.
Meskipun Kaczynski sangat lihai menciptakan dan menaruh bom-bomnya sambil menghindari jeratan hukum, dalam pergaulan ia canggung. Satu-satunya kekuatannya adalah kecerdasannya, yang bukannya dia sumbangkan kepada dunia supaya menjadi lebih baik, tetapi ia malah membunuh 3 orang dan melukai 22 orang lainnya.

Di sini jelas, IQ gagal sebagai peramal kesuksesan.
EQ sebagai gagasan baru tentang rumusan kecerdasan.
EQ mencerminkan kemampuan untuk berempati dengan orang lain, menunda rasa gembira, mengendalikan dorongan-dorongan hati, sadar diri, bertahan, dan bergaul secara efektif dengan orang lain. EQ lebih penting daripada IQ, namun seperti halnya IQ, tidak semua orang memanfaatkan EQ dan potensi mereka sepenuhnya. Karena EQ tidak memiliki tolok ukur yang absah dan metode yang jelas untuk mempelajarinya, maka kecerdasan emosional tetap sulit dipahami.

Sejumlah orang memiliki IQ yang tinggi berikut segala aspek kecerdasan emosional, namun tragisnya, mereka gagal menunjukkan kemampuannya. Agaknya bukan IQ dan EQ yang menentukan suksesnya seseorang; meskipun jelas kedua-duanya memainkan peran yang penting. Jadi pertanyannya, mengapa ada orang yang mampu bertahan, sementara yang lain gagal, dan yang lain lagi menyerah?
AQ sebagai peramal global tentang kesuksesan.
Kita dilahirkan dengan satu dorongan inti yang manusiawi: untuk terus Mendaki, yaitu menggerakkan tujuan hidup anda ke depan, apapun tujuan itu.
Dorongan ini merupakan perlombaan naluriah kita melawan jam dalam menyelesaikan tugas hidup sebanyak mungkin. Pendakian tersebut tidak terbatas pada individu, tetapi juga setiap organisasi dan tim kerja berusaha bergerak ke depan dan ke atas.

Seandainya kita sama-sama memiliki dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki, lantas mengapa kita tidak melihat puncak gunung penuh dijejali oleh mereka yang berhasil mencapai puncaknya, dan kaki gunung tidak dihuni oleh manausia? Mengapa justru sebaliknya yang terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat kepada 3 jenis orang yang kita jumpai dalam perjalanan mendaki gunung kesuksesan. Ketiga jenis orang tersebut adalah:

§ The Quitters (mereka yang berhenti)
Sering kita lihat, ada banyak orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka menghentikan pendakian, mereka menolak kesempatan yang diberikan oleh gunung kesuksesan. Mereka mengabaikan, menutupi, atau meninggalkan dorongan inti manusiawi untuk mendaki.
§ The Campers (mereka yang berkemah)
Mereka ini pergi tidak terlalu jauh, lalu berkata ”sejauh ini sajalah saya mampu mendaki (atau ingin mendaki)”. Karena bosan mereka mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat datar yang rata dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka lebih memilih menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan duduk di situ.
Berbeda dengan Quitters, Campers setidaknya sudah menanggapi tantangan pendakian itu, dan mencapai tingkat tertentu. Mereka telah mengorbankan banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk sampai ke tempat yang akhirnya mereka berhenti itu. Pendakian yang tidak selesai itu oleh sementara orang dianggap sebagai ’kesuksesan’. Ini merupakan pandangan keliru yang lazim bagi mereka yang menganggap kesuksesan sebagai tujuan yang harus dicapai, jika dibanding dengan perjalanannya. Namun demikian, meskipun Campers telah berhasil tempat perkemahan, mereka tidak mungkin mempertahankan keberhasilan itu tanpa melanjutkan pendakiannya, karena yang dimaksud pendakian adalah pertumbuhan perbaikan seumur hidup pada diri seseorang.
§ The Climbers (para pendaki)
Climber adalah sebutan untuk orang seumur hidup membaktikan dirinya pada pendakian , tanpa memperhitungkan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Mereka ini selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya.

TIGA BATU PEMBANGUN AQ
Batu 1: Psikologi Kognitif
Batu pembangun ini terdiri dri kumpulan riset yang luas dan terus bertambah, yang berkaitan dengan kebutuhan manusia akan kendali atau penguasaan terhadap hidup seseorang. Batu tersebut mencakup beberapa konsep penting untuk memahami motivasi, efektivitas, dan kinerja manusia.
Batu 2: Ilmu Kesehatan yang Baru
Selama berabad-abad para ilmuwan menganggap dan memperlakukan pikiran dan tubuh sebagai entitas yang terpisah-pisah. Pemikiran dualistik semacam ini telah menimbulkan kritik yang penting terhadap ilmu kedokteran Barat, yang mengobati lebih pada gejalanya bukan orangnya, penyakitnya, atau penyebabnya. Kritik lainnya adalah ilmu kedokteran Barat secara tradisional telah memusatkan perhatian pada penyakit, bukan pada kesehatan.

Ketika para ilmuwan mulai menjajagi kesehatan dan menjadi lebih canggih dalam usaha-usaha mereka untuk menemukan penyebab berbagai macam kondisi medis, banyak yang menemukan dirinya sendiri memasuki wilayah baru dan mempertanyakan cara-cara berpikir lama. Mereka ingin tahu:
Mengapa beberapa orang tampaknya bisa menghadpi operasi besar dengan baik daripada orang lainnya?
Mengapa ada orang yang tetap gagah ketika memasuki usia lanjut sementara yang lainnya, yang warisan genetisnya sama, menjadi sakit dan lemah selagi masih jauh lebih muda?
Bagaimana aktivitas otak mempengaruhi kemungkinan bahwa seseorang akan mengidap kanker, kencing manis, atau penyakit-penyakit berat lainnya.
Efek-efek apa saja yang ditimbulkan oleh pola-pola pikiran tertentu atau emosi pada kesehatan Anda?

Penelitian akhir-akhir ini di bidang psikoneuroimunologi telah menjawab beberapa pertanyaan tersebut, dan telah membuktikan, misalnya, bahwa ada kaitan yang langsung dan dapat diukur antara apa yang anda pikirkan dan rasakan dengan apa yang terjadi di dalam tubuh anda.

Batu 3: Ilmu Pengetahuan tentang Otak
Berkat terobosan-terobosan terakhir dalam ilmu neurofisiologi – ilmu pengetahuan tentang otak – sekarang kita memiliki gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana AQ terbentuk dan apa yang harus anda lakukan untuk mengubahnya, dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan mental seorang Climber.
Jadi AQ adalah kemampuan menghadapi tantangan, hambatan dan kesulitan hidup.
Indikasi dari orang-orang yang memiliki kecerdasan adversiti adalah: Sabar, Tabah, Optimis, Pantang menyerah, Berjiwa besar, Bersungguh-sungguh, Rela berjuang dan berkorban (jihad).

5. KECERDSAN KENABIAN
Jauh sebelum Rene Descartes mencetuskan jargon cogito ergosum (‘aku berpikir maka aku ada), Rasulullah Muhammad SAW telah menyatakan bahwa pusat eksistensi manusia yang menentukan kualitas kediriannya adalah qalb. Acuan Descartes pada cogito (aktivitas berpikir) sebagai penanda eksistensi manusia, sebenarnya telah membatasi potensi kecerdasan manusia pada wilayah kecerdasan intelektual semata. Definisi ‘cerdas’ dan ‘berpikir’ pada manusia hanya dibatasi oleh bekerjanya simpul-simpul syaraf di otak berdasar premis-premis logika yang dipostulatkan sebagai kebenaran. Sementara, sebenarnya manusia memiliki potensi qalb untuk merenung, menyadari, menghayati, memilih mana yang baik dan mana yang buruk, bahkan menembus hijab kediriannya sendiri. Apakah lantas potensi qalb ini diabaikan? Kata qalb yang dalam bahasa Indonesia menjadi ‘kalbu’ ini mengandung pengertian sumber kesadaran batiniah atau dapat disepadankan dengan hati nurani. Inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Muhammad SAW: ‘Ketahuilah bahwa sesunguhnya dalam tubuh ada segumpal darah (mudghah); jika ia baik, baiklah seluruh tubuh, tetapi jika ia rusak, rusak pulalah seluruh tubuh. Ketahuilah, itulah hati nurani (qalb)’. (Muttafaq ‘Alaih).

Kecerdasan intelektual atau sering disebut dengan istilah IQ (intelligence quotient) sempat dimitoskan sebagai satu-satunya kriteria kecerdasan manusia. Adalah Sir Francis Galton ilmuwan yang memelopori studi IQ dalam bukunya Heredity Genius (1869) yang kemudian disempurnakan oleh Alfred Binet dan Simon. IQ pada umumnya mengukur kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis, daya ingat (memory), daya nalar (reasoning), perbendaharaan kata, dan pemecahan masalah. Mitos ini dipatahkan oleh Daniel Goleman yang memperkenalkan kecerdasan emosional atau disingkat EQ (emotional quotient) dalam bukunya Working with Emotional Intelligence (1990) dengan menunjukkan bukti empirik dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa orang-orang yang IQ-nya tinggi tidak terjamin hidupnya akan sukses. Sebaliknya orang yang memiliki EQ tinggi, banyak yang menempati posisi kunci di dunia eksekutif. Asumsi ini diperkuat oleh Danah Zohar, sarjana fisika dan filsafat di MIT (Massachusstts Institute of Technology) yang memelopori munculnya kecerdasan spiritual atau disingkat SQ (spiritual quotient) dalam bukunya Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence (2000).

Di Indonesia, Ary Ginanjar menulis sebuah buku yang berusaha meramu ketiga model kecerdasan tersebut denga berangkat dari rukun Islam dan rukun Iman, sehinga lahirlah ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Sedangkan K.H. Toto Tasmara, seorang dai sufistik sekaligus pendiri Labmend (Laboratory for Management and Mental Development) menggagas kecerdasan ruhaniah (Transcendental Intelligence) yang bertumpu pada cinta (mahabbah), yaitu cinta sebagai keinginan untuk memberi dan tidak memiliki pamrih untuk memperoleh imbalan. Toto Tasmara menegaskan bahwa cinta bukan komoditas tetapi sebuah kepedulian yang sangat kuat terhadap moral dan kemanusiaan.

Melengkapi model–model kecerdasan di atas, KH.Hamdani BDz, seorang praktisi pendidikan, pelatihan, dan konseling spiritual di Jogjakarta, memperkenalkan kecerdasan kenabian atau kecerdasan profetik (prophetic intelligence). Tentunya, istilah ini memiliki keunikan tersendiri yang menjadikannya berbeda dan memiliki signifikansi tersendiri dari model kecerdasan lainnya. Kecerdasan profetik bertumpu pada nurani yang bersih dari penyakit-penyakit ruhaniah, seperti syirik, kufur, nifaq, dan fasik. Dalam kondisi nurani yang sehat itulah Allah SWT menurunkan rasa percaya, yakin, dan takut kepada-Nya. Dari rasa takut itulah lahir kekuatan dankeinginan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan perubahan-perubahan yang positif, lebih baik, dan lebih benar. Pribadi yang sehat ruhani adalah pribadi yang ruhaninya telah berfungsi secara baik di dalam diri hingga dapat memberikan pengaruh positif terhadap seluruh aktivitas mental, spiritual, dan fisik.

Kecerdasan kenabian dapat dipahami sebagai potensi atau kemampuan berinteraksi, menyesuaikan diri, memahami, dan mengambil manfaat serta hikmah dari kehidupan langit dan bumi, ruhani dan jasmani, lahir dan batin, dunia dan akhirat, dengan senantiasa mengharap bimbingan Allah SWT, melalui nurani.
Dengan eksisnya kecerdasan-kecerdasan tersebut di atas, maka setiap diri akan terhindar dari kerusakan dan bencana yang setiap saat mengancam hidup dan kehidupannya. Dengan kecerdasan intelektual (intelligence quotient) diri akan terdidik, terpimpin, dan tersembuhkan dari kebodohan, kebuasan dan kehidupan yang sia-sia. Dengan kecerdasan emosioanal (emotional quotient), diri akan terlepas dari murka Allah, manusia, lingkungan, dan alam semesta. Dengan kecerdasan spiritual (spiritual quotient), diri akan terlepas dari penyakit syirik (menyekutukan Allah), nifaq (mendua), fasiq (meremehkan kebenaran), dan kufur (mendustakan kebenaran) .

Jika seluruh kecerdasan tersebut terhimpun, maka diri akan mudah melakukan interaksi yang seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, baik interaksi terhadap tatanan kehidupan vertikal maupun horizontal.

Dengan pertimbangan bahwa kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual maupun gabungan ketiganya sudah banyak dibahas di banyak forum, maka tulisan ini hanya akan membahas tentang kecerdasan kenabian (prophetic inttligence) disertai dengan cara-cara memperolehnya.
Kesehatan Ruhani sebagai Dasar Pengembangan KECERDASAN KENABIAN
Sebagaimana telah dibahas terdahulu, kesehatan ruhani atau ketakwaan adalah telah bersihnya diri dari penyakit-penyakit ruhaniah seperti syirik, kufur, nifaq, dan fasiq. Dalam kondisi rohani yang sehat itulah Allah SWT menurunkan rasa percaya atau yakin ke dalam diri hamba-Nya, yakni rasa percaya, dan takut kepada-Nya. Dari rasa itulah lahir kekuatan dan keinginan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan perubahan-perubahan yang lebih positif, lebih baik, dan lebih benar. Dengan kata lain, sehat ruhani adalah telah berfungsinya rohani di dalam diri secara baik hingga dapat mempengaruhi aktivitas mental, spiritual, dan fisik. Sedangkan kecerdasan kenabian adalah potensi atau kemampuan berinteraksi, menyesuaikan diri, memahami, dan mengambil manfaat dan hikmah dari kehidupan langit dan bumi, ruhani dan jasmani, lahir dan batin, dunia akhirat.

6 Comments

  1. saya amir dari sekolah tinggi psikologi yogyakarta..
    trimakasih……………
    sekiranya bisa diberikan materi dan seperti apa konsep untuk melakukan penelitian tentang bagaimana perkembamgan pada anak,remaja dan dewasa dalam ruang lingkup yang berbeda..
    dari aspek seseorang itu didalam masyarakat,dunia kerja dsb..
    terima kasih

    amir

  2. mau tanya nich pak…
    bagaimana implementasi SQ dan EQ dalam mengatur keuangan dalam rumah tangga?…
    serta efek keunggulan dalam penerapannya…

    saya mahasiswa yang mau skripsi tentang topik tersebut mohon petunjuknya pak terimakasih banyak…

  3. salam…

    Mw tnya nih Pak. Apakah intelegensi merupakan satu-satunya tolak ukur dalam mengukur kecerdasan anak?

    karena seringkali hal inilah yang menjadi patokan bagi orang tua untuk menyatakan bahwa kecerdasan anaknya dilihat melalui nilai yang bagus.

    Terimakasih atas jawababnnya.

  4. ass,sy sedang bingung ttg substansi yg dibahas dlm psikologi perkembangan kognitif dan jg ttg unsur – unsur yg menjadikan ciri2 perbedaan dg psikologi umum,mohon segera balasannya pak…….sy sangat berharap atas jawaban bapak…terima kasih banyak yg tak terhingga
    wass
    nisa

Tinggalkan komentar