Penyakit Dalam Birokrasi Pemerintahan

Penyakit Dalam Birokrasi Pemerintahan

Tuntutan untuk menciptakan sistem administrasi negara (aparatur pemerintahan) sering dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, serta menjunjung tinggi hukum dalam arti yang sebenarnya. Administrasi negara dapat diartikan sebagai apa yang dilakukan pemerintah atau oleh instansi, mulai dari perencanaan hingga tahap evaluasi, demikian seterusnya. Kegiatan administrasi negara ini juga termasuk kegiatan menyerap aspirasi masyarakat, mengolah data/informasi, dan menyampaikannya kepada policy makers, serta mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi pelaksanaan kebijaksanaan publik. Luasnya cakupan administasi negara dapat dilihat dari keterkaitan antara administrasi negara dengan disiplin ilmu lainnya seperti ilmu ekonomi, politik, sosiologi, hukum, psikologi, pelayanan sosial, enjinering, dan kesehatan (lihat Shafritz dan Russel, 1996).

Demikian pentingnya administrasi negara, sehingga muncul anggapan bahwa baik buruknya kinerja pemerintah atau suatu instansi pemerintah dapat dilihat pertama kali dengan melihat bagaimana pemerintah atau instansi pemerintah tersebut mengadministrasikan (dalam arti yang luas seperti mengelola sumber daya, dan bukan arti yang sempit yaitu pekerjaan kesekretariatan) kegiatan pemerintahan umum dan pembangunan yang diembannya. Pentingnya kegiatan administrasi ini mungkin secara mikro dapat digambarkan dengan kinerja NASA (National Aeronautic and Space Administration) Amerika Serikat, yang berhasil membawa kejayaan program ruang angkasa Amerika mengungguli program ruang angkasa Uni Sovyet atau sekarang Russia sejak tahun 1960an. Sebenarnya, kualitas ahli ruang angkasa Uni Sovyet tidak kalah dibandingkan dengan yang dimiliki Amerika, namun karena NASA melalukan pendayagunaan administrasinya (dalam arti yang luas) untuk mengorganisir dan mendayagunakan semua potensi ahli ruang angkasa dan sumber daya lainnya yang dimilikinya, maka akhirnya program ruang angkasa Amerika hingga saat ini mampu mengungguli program ruang angkasa Russia. “The American won because they had managers – public administrators – who were not necessarily more capable as individuals but decidedly more capable within their political, organizational, and cultural environment” (Shafritz dan Russel, 1996).

Bagaimana dengan sistem administrasi negara di negara-negara berkembang? Nampaknya sulit menemukan administrasi negara yang berkualitas di negara-negara berkembang, dalam arti kualitasnya tidak berbeda jauh dengan negara-negara yang sudah maju (Eropa Barat, Jepang dan Amerika Utara). Singapura, yang kualitas administrasi negaranya dinilai sama dengan negara-negara maju, bisa dianggap bukan lagi sebagai negara berkembang tetapi dapat dikategorikan sebagai negara industri baru atau bahkan negara maju. Menurut laporan Transparency International, lembaga independen Jerman di Berlin, tanggal 31 Juli 1997, tingkat korupsi di lingkungan aparatur pemerintah Singapura relatif sangat kecil, sehingga sistem administrasi negaranya menduduki peringkat ke-9 terbersih (clean) dari korupsi. Peringkat lainnya didominasi oleh negara-negara maju, seperti Denmark (1), Finlandia (2), Swedia (3), Belanda (6), Norwegia (7), Austria (8), dan Luxemburg (10). Sebaliknya, peringkat negara-negara yang memiliki tingkat korupsi yang parah didominasi oleh negara-negara berkembang, antara lain Nigeria, Bolivia, Columbia, Rusia, Pakistan, Mexico, dan Indonesia.

Laporan tersebut dapat saja diperdebatkan kebenarannya. Namun, terlepas setuju atau tidak, gambaran tingkat korupsi tersebut dapat dijadikan masukan atau tolok ukur untuk mengevaluasi kinerja sistem adminstrasi negara suatu negara, termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan, korupsi sangat terkait erat dengan lemahnya sistem administrasi negara, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Bahkan keterkaitan korupsi tidak hanya dengan berbagai elemen yang ada dalam sistem administrasi negara itu sendiri, tetapi juga terkait erat dengan sistem lain diluarnya, misalnya sistem politik, sistem hukum, dan sistem sosial masyarakat. Tingkat korupsi yang sudah sangat merisaukan mungkin juga dapat mencerminkan tingkat sakitnya sistem politik, sistem hukum, dan sistem sosial masyarakat.

Korupsi tidak saja dalam bentuk materi (finansial), tetapi juga kewenangan, tugas pokok dan fungsi, waktu kerja, dan sebagainya. Kritik yang dilontarkan kepada aparatur pemerintah tentang suatu kebijakan sering kurang diperhatikan, atau kalaupun diperhatikan cenderung tidak/enggan ditindaklanjuti. Anggapan diperhatikan ini sering dijadikan sebagai justifikasi bahwa aparatur pemerintah telah melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijaksanaan tertentu. Akibatnya, cepat atau lambat kebijaksanaan tersebut sering tidak mencapai sasarannya. Berbagai kebijaksanaan yang diputuskan sendiri tanpa atau dengan formalitas melibatkan masyarakat dapat dijumpai pada birokrasi pemerintahan kita. Hal seperti ini sama saja dengan menyimpan bom waktu yang pada suatu saat akan meledak. Ini terbukti dengan munculnya fenomena krisis kepercayaan masyarakat kepada aparatur pemerintah, mulai dari kelurahan/desa hingga departemen, dalam setahun terakhir ini yang ditandai dengan maraknya berbagai tuntutan masyarakat terhadap para birokrat atau pimpinan birokrasi pemerintahan. Bahkan ketidakpercayaan tersebut juga dimanifestasikan oleh masyarakat di berbagai daerah dalam bentuk tindakan main hakim sendiri misalnya terhadap sarana hiburan malam akibat tidak jelasnya kebijaksanaan aparatur pemerintah setempat tentang hal tersebut, terhadap beberapa perampok di Jakarta yang tertangkap, dan perusakan/pembakaran kapal pukat harimau oleh nelayan tradisional di Sumatra Utara beberapa waktu lalu.

Penyakit korupsi memang tidak hanya milik dan identik dengan negara-negara berkembang saja, tetapi juga dapat dijumpai di negara-negara maju. Hanya saja, tingkat korupsi di negara-negara maju baik dalam kualitas maupun kuantitasnya relatif kecil. Kuatnya sistem kontrol dari sistem-sistem lainnya (hukum atau yudikatif, legislatif, dan sosial masyarakat dengan berbagai kelembagaannya) terhadap perilaku birokrasi pemerintahan dan juga partai politik yang berkuasa (the ruling party) “memaksa” birokrasi pemerintahan dan partai yang berkuasa untuk berupaya memperbaiki kinerjanya. Tidak jarang kesalahan yang tampak kecil yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan, dapat menjadi isu sosial dan isu politik yang besar, misalnya masalah ketidakadilan dalam alokasi anggaran pendidikan atau masalah pelayanan sosial yang dianggap lambat, dan kasus suap yang dapat membawa ke pengadilan tidak saja pegawai yang menerima suap tetapi juga masyarakat yang memberikan suap tersebut.

Namun demikian, kelemahan-kelemahan tersebut akan dengan mudah diperbaiki oleh aparatur pemerintahannya. Kesadaran aparatur pemerintahan tentang peran dan fungsinya serta kesadaran untuk selalu mencari yang terbaik bagi sistem administrasi negaranya adalah merupakan salah satu faktor utama mengapa reorientasi, revitalisasi, atau reformasi birokrasi pemerintahan tampak demikian mudah dan cepatnya dilakukan oleh negara-negara maju. Misalnya, (a) penyempurnaan pelayanan umum di Inggris melalui program First Steps dan Next Steps masa Margareth Thatcher (sejak 1979) yang dilanjutkan dengan program Citizen’s Charter masa John Major dan Tony Blair; (b) pengenalan istilah dan isu good governance oleh pemerintahan Mitterand di Perancis; dan (c) gagasan reinventing government di Amerika untuk memperbaiki peran birokrasi pemerintahan pada tahun 1990-an. Beberapa negara maju lainnya juga melakukan berbagai penyempurnaan dalam sistem administrasi negaranya. Semua upaya tersebut dimaksudkan terutama untuk meningkatkan kinerja aparatur pemerintahannya agar lebih dapat memberikan kontribusi yang besar kepada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya secara umum, dan juga untuk memenangkan persaingan yang makin tajam dalam era globalisasi. Salah satu fenomena menarik dari birokrasi pemerintahan di negara-negara maju adalah keberadaannya yang tetap stabil dan tetap terorganisasikan dengan baik sehingga tetap mampu konsisten memberikan pelayanan kepada masyarakat walaupun sedang terjadi “perubahan atau konflik” politik yang tajam, misalnya kegiatan pemilu, dan turunnya atau pergantian Perdana Menteri (Ball, 1993). Dengan demikian, tampak kemandirian dan sifat profesionalisme dalam birokrasi pemerintah tersebut, dimana ia tetap konsisten melaksanakan perannya sebagai pelayan masyarakat, dan bukan pelayan atau perpanjangan kekuasaan dari partai yang berkuasa.

Berbeda dengan kondisi di negara-negara maju tersebut, di negara-negara berkembang pada umumnya birokrasi pemerintahannya cenderung sulit untuk berubah kearah yang lebih baik. Birokrasi pemerintahannya masih berada posisi yang kurang atau tidak stabil dan belum menemukan pola kerja yang baik. Perubahan pimpinan negara dan bahkan seorang kepala unit kerja dapat merubah sistem administrasi (negara) kearah yang lebih buruk, atau dengan kata lain ganti pimpinan ganti gaya administrasi mencerminkan posisi sistem administrasi negara di negara maju dan negara berkembang). Berbagai penyakit birokrasi (bureaupathology) termasuk korupsi cenderung sulit disembuhkan. Salah satu penyebabnya adalah karena birokrasi pemerintahan sering digunakan sebagai alat perpanjangan kekuasaan oleh para penguasa untuk mempertahankan kekuasaan secara tidak demokratis dan merugikan masyarakat umum. Akibatnya, peran aparatur pemerintah yang seharusnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, yang mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat umum, cepat atau lambat berubah menjadi pelayan partai atau kelompok yang berkuasa. Selanjutnya, birokrat cenderung berperan sebagai yang dilayani sedangkan masyarakat sebagai yang melayani (patron-client) dengan memberikan imbalan tertentu atas suatu jasa yang diberikan birokrat tersebut.

Kondisi tersebut tidak saja terjadi pada aparatur pemerintah tingkat pusat tetapi juga di daerah-daerah. Berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan sering mengindikasikan keadaan tersebut. Misalnya, kebijakan di bidang perdagangan dan industri serta proses tender proyek fisik disusun untuk menguntungkan kelompok tertentu baik yang ada dalam birokrasi pemerintahan maupun yang di luar tetapi punya kaitan erat dengan para pejabat birokrasi pemerintahan. Pendekatan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok atau partai yang berkuasa kepada birokrasi pemerintahan telah menularkan dan membentuk birokrasi pemerintahan untuk menggunakan pendekatan yang sama dalam berbagai kegiatannya baik di dalam kegiatan internal birokrasi dan terutama pada kegiatan yang melibatkan masyarakat. Demikian kuasanya birokrasi sehingga sikap aparatur pemerintah sering menjadi merasa paling tahu (yang lebih mengetahui diantara yang mengetahui), paling mampu/bisa, dan paling berkuasa. Ketiga sikap ini dapat dikatakan sudah menjadi “stempel atau nilai (values)“ para pegawai birokrasi pemerintahan, dan mencerminkan betapa pendekatan kekuasaan telah dipakai oleh birokrasi. Padahal pendekatan kekuasaan ini cenderung menghambat partisipasi masyarakat dan menghambat munculnya berbagai inisiatif dan alternatif pemecahan permasalahan pembangunan di berbagai sektor kehidupan. Selain itu, pendekatan kekuasaan membuat birokrasi pemerintah kebal terhadap kritikan dan aturan hukum. Sebagai contoh, di Indonesia cukup banyak keputusan peradilan tata usaha negara (PTUN) yang memenangkan tuntutan masyarakat, tetapi pada kenyataannya tidak diindahkan atau dilaksanakan oleh para pejabat birokrasi. Hal ini sesuai dengan anggapan bahwa kekuasaan yang berlebihan atau mutlak cenderung mengarah pada korupsi (absolute power tends to corrupt), tentunya bila kekuasaan tersebut tidak dikontrol atau dikendalikan.

Menurut Heady dan Wallis, sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan di negara-negara berkembang ditandai dengan beberapa kelemahan yang juga merupakan ciri utamanya (Kartasasmita, 1997). Kelemahan atau ciri-ciri tersebut nampaknya relevan dengan kondisi birokrasi pemerintahan kita selama ini.

Heady menyebutkan ada lima ciri:

Pertama, pola dasar (basic pattern) sistem administrasi negaranya merupakan tiruan atau jiplakan dari sistem administrasi kolonial yang dikembangkan negara penjajah khusus untuk negara yang dijajahnya. Biasanya, pola administrasi negara yang diterapkan negara penjajah di negara yang dijajah bersifat elitis, otoriter, cenderung terpisah (sebagai menara gading) dari masyarakat dan lingkungannya. Selain sifat-sifat di atas, dalam birokrasi kita juga dapat dijumpai nilai patron–client yang menempatkan aparatur sebagai pihak yang dilayani dan masyarakat sebagai pihak yang melayani.

Kedua, birokrasi pemerintahan kekurangan sumberdaya manusia yang berkualitas baik dari segi kepemimpinan, manajemen, kemampuan dan keterampilan teknis yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sebaliknya, kondisi yang sering dijumpai adalah banyaknya sumber daya manusia yang kurang berkualitas dengan pembagian tugas yang tidak jelas. Akibatnya, tidak saja terjadi inefsiensi dalam penggunaan sumberdaya manusia, tetapi juga terjadi penumpukkan pegawai dalam satu unit kerja atau instansi.

Ketiga, birokrasi cenderung mengutamakan atau berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok dari pada kepentingan masyarakat atau pencapaian sasaran yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Kelompok ini selain berada di lingkungan internal birokrasi juga yang berada di luar birokrasi dan diuntungkan oleh birokrasi.

Keempat, apa yang dinyatakan baik tertulis maupun lisan oleh birokrasi sering tidak sesuai dengan realitas. Misalnya dalam laporan resmi disebutkan kinerja instansi X dilaporkan secara resmi telah membaik, tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Contoh lain, peraturan tertentu dikeluarkan hanya untuk kebutuhan politis (membuat kesan bahwa pemerintah memperhatikan masalah tersebut), dan bukan untuk dilaksanakan dikarenakan kesulitan tertentu atau juga tidak/kurang adanya political will untuk melaksanakannya.

Kelima, birokrasi cenderung bersifat otonom dalam arti lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini erat kaitannya dengan ciri pertama di atas. Dalam hal ini, birokrasi seakan-akan menjadi menara gading yang tidak tersentuh. Ia bisa memutuskan apa saja tanpa merasa perlu memperhatikan dan mengajak pihak lain (stake holders) untuk merumuskannnya. Akibatnya, sikap peka, responsif dan proaktif terhadap permasalahan pembangunan yang seharusnya dimiliki aparatur pemerintahan menjadi tumpul, dan digantikan dengan sikap mengutamakan diri sendiri atau kelompoknya (selfish), reaktif, dan lamban. Pemanfaatan birokrasi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan partai yang berkuasa cenderung membentuk sikap merasa berkuasa dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat di kalangan birokrat. Salah satu akibatnya, masyarakat umum sering menjadi korban dari “kebijaksanaan” aparatur pemerintah. Kondisi ini cepat atau lambat menimbulkan rasa tidak puas dan bahkan tidak mustahil berkembang menjadi “dendam” dalam diri masyarakat yang suatu saat bisa saja meledak. Maraknya tuntutan mundur, yang seringkali diwarnai kekerasan, terhadap para pejabat pemerintah baik di tingkat pusat, daerah, dan bahkan desa (Kepala Desa) dapat dijadikan contoh fenomena di atas.

Dua ciri lainnya ditambahkan oleh Wallis.
Pertama, administrasi di banyak negara berkembang sangat lamban dan menjadi semakin birokratik. Kondisi ini erat kaitannya dengan kesejahteraan (gaji) mereka yang relatif kecil, sehingga mempengaruhi semangat pegawainya untuk bekerja secara baik. Bahkan, juga tanpa sadar mendorong mereka untuk menciptakan tambahan kesejahteraan antara lain melalui pelaksanaan kewenangan/tugasnya sebagai pegawai. Sebagai contoh, “menambah-nambah” persyaratan dan prosedur pelayanan dengan harapan mendapat atau meminta “imbalan” dari orang yang dilayaninya. Pola pelayanan dengan “imbalan” ini tidak hanya terjadi pada bidang pelayanan umum kepada masyarakat umum, tetapi juga pelayanan bagi atau antarsesama aparatur pemerintah, misalnya “imbalan” bagi pengurusan administrasi kenaikan pangkat pegawai instansi vertikal, dan sebagainya, atau urusan lainnya antarinstansi.

Kedua, aspek-aspek yang non-birokratik (administratif) sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya, hubungan keluarga, hubungan primordial (suku, agama, keturunan, dan sebagainya), golongan atau keterkaitan politik. Keadaan seperti ini cenderung mempersulit birokrasi pemerintahan untuk bertindak dan bekerja secara objektif dan rasional, serta menurut aturan hukum yang berlaku. Bahkan orientasi birokrasi yang seharusnya untuk kepentingan negara dan masyarakat, dapat diganti menjadi untuk kepentingan kelompoknya. Kegiatan-kegiatan yang mudah dijumpai dalam kaitannya dengan aspek-aspek di atas, antara lain dalam rekrutmen dan promosi pegawai dan kegiatan tender proyek. Birokrasi pemerintahan kita juga mengalami hal ini, baik pada masa sebelum tahun 1970an dimana kepentingan berbagai partai politik telah mengkotakkotakkan orientasi kerja para pejabat birokrasi. Sebaliknya, setelah tahun 1970an juga terlihat dominasi satu kelompok politik tertentu dalam birokrasi yang pada akhirnya membawa birokrasi tidak dapat melaksanakan perannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat serta menimbulkan krisis kepercayaan kepada aparatur pemerintahan. Kebiasan membawa “teman” pejabat yang pindah dari satu instansi ke instansi lain secara tidak rasional dengan tujuan “mengamankan” kerja pejabat yang bersangkutan juga cermin dari ciri di atas (mungkin ini lebih tepat dianggap sebagai kronisme yang tidak pada tempatnya). Contoh lain adalah kondisi birokrasi pemerintahan di sebagian besar negaranegara Afrika Sub Sahara yang banyak diwarnai dengan pertentangan kepentingan kelompok suku (ethnic groups).

Baca Tulisan Lain

Ekonomi Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi>>> Baca

Paradigma Pembangunan Berdimensi Manusia >>> Baca

Demokrasi dan Birokrasi Pemerintahan >>> Baca

Pengenalan Manajemen Setrategi>>> Baca

Lingkungan Sosial Budaya >>> Baca

Pengembangan Organisasi >>> Baca

Metodologi Ilmu Pemerintahan

Metodologi Ilmu Pemerintahan

Hasil pengkajian terhadap berbagai metode yang menjadi bahan pembentukan seperangkat pengetahuan tentang metode disebut metodologi.
Yang dimaksud masalah dalam metodologi adalah suatu informasi yang mengandung pertanyaan atau ketidakjelasan.
Metodologi ilmu secara formal melekat di dalam definisi ilmu yang bersangkutan dan secara substantif ditunjukkan oleh aksioma, anggapan dasar, pendekatan, model analisis dan model konstruk pengalaman dan konsep.
Metodologi ilmu pemerintahan pun bergerak ke luar dan ke dalam. Sasarannya adalah:
1.bangsa dan negara;
2.rakyat dan pemerintah;
3.hubungan kerakyatan;
4.daerah;
5.ilmu pemerintahan itu sendiri.
Hubungan antara pemerintahan dengan yang diperintah memuat kegiatan yang disebut pemerintah, sedang peristiwanya disebut peristiwa pemerintahan atau gejala pemerintahan. Sedang perkembangan paradigmatik Ilmu Pemerintahan melalui beberapa tahap, di antaranya:
1.Tahap pertama, gejala pemerintahan dikaji melalui sudut pandang dan cara menurut ilmu yang ada pada masa itu, sehingga pada tahap ini, gejala pemerintahan dipelajari sebagai bagian disiplin ilmu yang bersangkutan.
2.Tahap kedua, gejala pemerintahan dipelajari oleh disiplin ilmu pengetahuan yang ada sehingga terbentuklah spesialisasi disiplin ilmu yang bersangkutan.
3.Tahap ketiga, lahirlah disiplin ilmu pemerintahan eliktrik yang disebut juga ilmu Pemerintahan generasi pertama.
4.Tahap keempat lahirlah Ilmu Pemerintahan yang mandiri dan didukung oleh metodologi, atau disebut juga ilmu Pemerintahan Generasi kedua.
5.Tahap kelima kemandirian suatu disiplin ilmu selain ditandai oleh terbentuknya metodologi ilmu yang bersangkutan, juga ditandai dengan kemampuan denominatifnya atau disebut juga ilmu Pemerintahan generasi ketiga.
Fungsi Ilmu pemerintahan ke dalam adalah untuk menguji, mengoreksi dan mengembangkan disiplin Ilmu Pemerintahan itu sendiri.
Sedangkan fungsi Ilmu Pemerintahan ke luar adalah mengidentifikasi, merekam dan menggambarkan, menerangkan hubungan, menguji pengetahuan lain, dan meramalkan apa yang akan dan dapat terjadi dalam masyarakat atau negara.
Model MIP Satu sampai Tiga
Dari pembahasan tentang Model MIP satu sampai dengan Tiga dapat diberikan rangkuman sebagai berikut:
1.Model MIP Satu: Manusia adalah Makhluk.
Asas yang mendasarinya terletak pada relasi antara khalik dan makhluknya. Pada hubungan ini manusia dianggap dianugerahi nilai-nilai luhur yaitu semua kepercayaan dasar yang bersifat universal.
2.Model MIP Dua: Manusia adalah Penduduk Bumi Peran Pemerintah dalam model ini dapat terlihat nyata di bidang kependudukan, misalnya pendataan penduduk yang selanjutnya diberi tanda pengenal yang disebut KTP.
3.Model MIP Tiga. Manusia adalah warga masyarakat, konsep ini merupakan konsep tradisional Ilmu Pemerintahan menurut kajian Sosiologi Pemerintahan yang dasar diletakkan antara lain oleh Robert Mc Iver: yaitu manusia adalah makhluk sosial, ia hidup bermasyarakat.
Agar manusia tidak bersaing secara bebas tanpa batas dalam mengajar kepentingannya, maka manusia bergabung dengan kelompok dan perserikatan. Tujuannya adalah:
1.untuk memenuhi kebutuhan manusia di berbagai bidang, dan
2.untuk membatasi kompetisi yang tidak sehat, mengendalikan tindakan-tindakan
3.yang akibatnya merugikan dan meringankan akibat-akibat yang timbul dari bermacam-macam pertentangan

Perlunya Reformasi Pemerintahan
Perlunya reformasi pemerintahan disebabkan karena:
1.menurunnya tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah;
2.tuntutan masyarakat akan reformasi politik, pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa sangat mendesak, mengingat pemerintah merupakan aktor utama reformasi ekonomi.
Sebenarnya ada 7 sisi pemerintahan yang bertanggung jawab, yaitu:
1.apakah tanggung jawab;
Spiro mendefinisikan tanggung jawab (responsibility) sebagai accountability, obligation, dan cause.
2.siapa bertanggung jawab; Caroll menjawab ada tiga kemungkinan, yaitu konsumen, produsen, atau kombinasi keduanya.
3.mengapa pemerintah dianggap bertanggung jawab; Spiro menjawab karena:
a.pejabat pemerintah adalah mandatari;
b.konsekuensi jabatannya;
c.ia menerima jabatan tidak dipaksa atau terpaksa.
4.kepada siapa pemerintah bertanggung jawab; Caroll menjawab pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat sebagai konsumen, sedangkan Spiro menjawab bahwa seorang pejabat pemerintahan harus bertanggung jawab kepada atasannya dan konsumennya (rakyat).
5.hal apa yang seharusnya dipertanggungjawabkan atau apa isi Pertanggungjawaban; Yang dipertanggungjawabkan adalah:
a.wewenang (kekuasaan) yang diterima dari sumbernya;
b.janji-janji kepada rakyat (konsumen);
c.komitmen pribadi; dan LI>sumpah jabatan.
6.bagaimana pemerintahan dipertanggungjawabkan; Hal yang harus dipertanggungjawabkan oleh pejabat bukan hanya pelaksanaan tugasnya saja, tetapi juga kondisi dan situasi pada saat pejabat memberikan Pertanggungjawaban atau dimintai tanggung jawab serta kebijaksanaan yang ditempuhnya atas prakarsa sendiri.
7.pada level mana dan kapan sebaiknya Pertanggungjawaban itu berlangsung. Pertanyaan ini dijawab melalui Budaya Warung, yaitu adanya pilihan, kontrol, janji yang terbukti, tanggung jawab, dan adanya kepercayaan konsumen terhadap produsen.
Indonesia adalah negara birokrasi murni, dengan ciri-ciri antara lain:
1.sistem politiknya tertutup;
2.ketatanegaraan sangat formal;
3.Pertanggungjawaban vertical;
4.Pertanggungjawaban tidak bersifat pribadi tetapi jabatan;
5.rakyat dianggap (dipertahankan) sebagai bawahan pemerintah;
6.fungsi eksekutif dan fungsi kontrol berada pada satu lembaga;
7.kekuasaan dianggap given;
8.birokrasi harus selalu diuntungkan,
9.mengendalikan keadaan melalui penyeragaman;
10.informasi tertutup;
11.tidak ada kompetisi/oposisi/mosi tidak percaya;
12.promosi pejabat/pegawai berdasar anugerah pejabat atasan;
13.bawahan hanya bertindak sebagai pelaksana dan merasa kurang bertanggung jawab;
14.ukuran keberhasilan adalah loyalitas terhadap atasan dan kesediaan bekerja sama”;
15.strategi pembangunan bersifat top-down; dan
16.yang dibiayai adalah input sedangkan dampak negatif proyek dijadikan proyek lain.

Membangun Pemerintah Yang Bertanggung Jawab
Untuk kasus di Indonesia, pemerintahan yang bertanggung jawab dapat dibangun berdasarkan strategi RIPE RIGO REGO dengan beberapa anggapan dasar sebagaimana terdapat dalam model-model MIP yang ada.
Adapun langkah-langkah untuk membentuk pemerintah yang bertanggung jawab adalah merubah dari:
1.sistem politik tertutup ke sistem politik terbuka;
2.sistem pemerintahan birokratik partisan ke sistem pemerintahan demokratik dengan pilihan;
3.sistem pemerintahan hypersentralistik ke sistem pemerintahan desentralistik;
4.Pertanggungjawaban vertikal ke Pertanggungjawaban pasar (horizontal);
5.paternalisme despotik ke kontrol sosial anggaran dasar paternalisme;
6.suksesi berdasarkan anugerah ke recruitment;
7.lompatan ke tahapan teknologi;
8.manajemen proyek ke manajemen tugas dan fungsi;
9.budaya epimetheanistik ke budaya prometheanistik;
10.kita menjadi saya;
11.kelurahan/desa dari garis belakang menjadi garis depan;
12.pemberian ke pemberdayaan;
13.sesuai dengan aturan yang berlaku ke sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan jaman;
14.monolog ke dialog.

Mencari dan Mengukuhkan Akar Kerakyatan Membangun Demokrasi
Di Amerika Serikat, gerakan Reinventing Government Management (RIGOM) bertujuan untuk membentuk National Performance Review (NRP) yaitu membangun sebuah pemerintahan dengan bekerja lebih baik dan menekan biaya serendah mungkin. RIGOM ini lahir dari ajaran tentang masyarakat yang disebut civil society (community) yang mempunyai civil rights.
Format politik kerakyatan yang baru merupakan hasil dari usaha untuk mempribumikan semboyan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam masyarakat barat, pemahaman tentang konsep rakyat dari sudut politik kerakyatan akhirnya meluas ke arah pendekatan ekonomi modern, pasar dan entrepreneurship.
Menurut Prof. Dr. HA. Mattulada ada 3 pola kepemimpinan Nusantara, yaitu:
1.Pola kepemimpinan Hindu yang dominan di Jawa yang berakar pada pemikiran Manunggaling Kawula Gusti.
2.Pola kepemimpinan Islam yang dominan di Sumatera, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan pemikiran raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.
3.Pola kepemipinan bahari Nusantara berdasarkan pemikiran kemudi dan jangkar, surut dan pasang.
Pola kedua dan ketiga mempunyai ruangan untuk nilai-nilai dasar kerakyatan.

Membangun Nilai-nilai Demokrasi dan Reformasi
A. Membangun nilai-nilai demokrasi
1.Salah satu kebutuhan manusia sebagai makhluk social pada tataran tertinggi adalah demokrasi. Nilai dasar demokrasi ini terdiri atas: kepercayaan, pilihan, kontrol, dan tanggung jawab.
2.Hubungan antara negara (pemerintah) dengan kelurahan tidak sama dengan hubungan antara perusahaan dengan toko. Toko berada di luar dan berhubungan dengan perusahaan, tetapi kelurahan merupakan bagian integral negara.
B. Membangun ketahanan reformasi
1.Sebagai proses, reformasi bertujuan mengoreksi terus-menerus arah pembangunan bangsa yang selama ini jauh menyimpang untuk kembali ke cita-cita proklamasi dan Bhinneka Tunggal Ika
2.Di Indonesia reformasi dipelopori oleh mahasiswa yang didukung oleh almamaternya. Oleh karena itu agar reformasi tetap bertahan, maka almamater harus juga kuat. Perguruan tinggi dalam masa reformasi harus menjalankan fungsi kontrol.
Sumber Buku Metodologi Ilmu Pemerintahan Karya Taliziduhu Ndraha